Selasa, 25 Februari 2014

ISLAMISASI DINASTI DAN KETURUNAN PRABU SILIWANGI (Rekap)



Islamisasi Dinasti dan Keturunan Prabu Siliwangi (Rekap)

Rajatapura atau Salakanagara (Kota Perak) adalah kota tertua di Pulau Jawa, dengan tokoh awalnya yang berkuasa Aki Tirem Luhur Mulia atau yang dikenal sebagai Angling Darma. Pada tahun 150M kota ini terletak di daerah Teluk Lada Pandeglang dan sampai tahun 362M menjadi Pusat Pemerintahan Raja-raja Dewawarman I s/d VIII. Jayasingawarman adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia adalah seorang Maharesi dari Salankayana, India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Magada.  Jayasingawarman dipusarakan di tepi Kali Gomati, Bekasi.

Kemudian kisah yang dimulai dari Prabu Maharaja Lingga Buana (1340-1357M) yang wafat pada peristiwa BUBAT termasuk putrinya Diyah Pitaloka Citraresmi.  Beliau adalah keturunan ke-30 dari Raja-raja Sunda-Galuh dimana yang no. 1  nya Raja TarusBawa (670-723M) dimana TarusBawa adalah keturunan ke 13 dari Jayasingawarman  (358-382M) pendiri Kerajaan Tarumanagara, yang ibukotanya di Sundapura, terletak antara Jakarta/Batawi-Bekasi.

Mangkubumi Suradipati (1357-1371M) atau Prabu Bunisora yang disebut juga Prabu Borosngora dalam Babad Kerajaan Panjalu, Kawali Ciamis, adalah adik Lingga Buana yang menggantikannya sebagai Raja Sunda Galuh.

Prabu Raja Wastu atau Niskala Wastu Kancana (1371- 1475M)  adalah anak Prabu Lingga Buana yang dinobatkan menjadi raja pada tahun 1371 pada umur 23 tahun.  Dari dua permaisurinya yang berikut:
1.       Lara Sarkati,  putri Lampung lahir Sang Haliwungan, yang setelah dinobatkan menjadi Raja Sunda bergelar Prabu Susuk Tunggal.
2.       Mayangsari, putri sulung Bunisora atau Mangkubumi Suradipati, lahir Ningrat Kancana, yang setelah menjadi Raja Galuh bergelar  Prabu Dewa Niskala atau  Prabu Anggalarang.

Sementara itu di zaman Wastu Kancana ini, agama Islam mulai masuk di daerah Sunda/ Jawa Barat  yaitu dengan didirikannya Pesantren pertama di Jawa Barat yang terletak di Tanjung Pura, Karawang. Pesantren ini didirikan oleh Syekh Hasanuddin, seorang ulama dari Campa sekarang Vietnam, pada tahun 1412 Saka atau 1491 Masehi. Karena pesantrennya yang bernama Quro, Syekh Hasanuddin belakangan dikenal dengan nama Syekh Quro. Syekh Quro atau Syekh Hasanuddin adalah putra Syekh Yusuf Sidik. Awalnya, Syekh Hasanuddin datang ke Pulau Jawa sebagai utusan datang bersama rombongannya dengan menumpang kapal yang dipimpin Laksamana Cheng Ho dalam perjalanannya menuju Majapahit. Dalam pelayarannya, suatu ketika armada Cheng Ho tiba di daerah Tanjung Pura Karawang. Sementara rombongan lain meneruskan perjalanan, Syekh Hasanuddin beserta para pengiringnya turun di Karawang dan menetap di kota ini. Di Karawang, Syekh Hasanuddin menikah dengan gadis setempat yang bernama Ratna Sondari yang merupakan puteri Ki Gedeng Karawang. Di tempat inilah, Syekh Hasanuddin kemudian membuka pesantren yang diberi nama Pesantren Quro yang khusus mengajarkan Alquran. Inilah awal Syekh Hasanuddin digelari Syekh Quro atau syekh yang mengajar Alquran. Dari sekian banyak santrinya, ada beberapa nama besar yang ikut pesantrennya. Mereka antara lain Putri Subang Larang yang diberi gelar pesantren sebagai Nyi Subang Karancang, anak Ki Gedeng Tapa, penguasa kerajaan Sing Apura, sebuah kota pelabuhan di sebelah utara Muarajati yang sekarang dinamakan Cirebon. Adapun kedudukan Ki Gedeng Tapa adalah sebagai Syahbandar di Cirebon. menggantikan Ki Gedeng Sindangkasih setelah wafat. Ki Gedeng Tapa dikenal pula dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati. Persahabatan Ki Gedeng Tapa dengan Syekh Quro, menjadikan putrinya, Subang Larang masantren di Pesantren Syekh Quro.
Di Cina Dinasti Ming (1363-1644) memberikan kesempatan orang-orang Islam untuk duduk dalam pemerintahan. Laksamana Muslim Cheng Ho ditugaskan oleh Kaisar Yung Lo memimpin misi muhibah ke-36 negara. Antara lain ke Timur Tengah dan Nusantara (1405-1430). Membawa pasukan muslim 27.000 dengan 62 kapal. Di Cirebon Laksamana Cheng Ho membangun mercusuar. Di Semarang mendirikan Kelenteng Sam Po Kong. Misi muhibah Laksamana Cheng Ho tidak melakukan perampokan atau penjajahan. bahkan memberikan bantuan membangun sesuatu yang diperlukan oleh wilayah yang didatanginya. Seperti Cirebon dengan mercusuarnya. Oleh karena itu, kedatangan Laksamana Cheng Ho disambut gembira oleh Ki Gedeng Tapa sebagai Syahbandar Cirebon. Karena sangat banyak kapal niaga muslim yang berlabuh di pelabuhan Cirebon, kapal niaga dari India Islam, Timur Tengah Islam dan Cina Islam, pembangunan mercusuar di pelabuhan Cirebon memungkinkan tumbuhnya rasa simpati Ki Gedeng Tapa sebagai Syahbandar Cirebon terhadap Islam.

Kesuksesan Syekh Hasanuddin menyebarkan ajaran Islam adalah karena ia menyampaikan ajaran Islam dengan penuh kedamaian, tanpa paksaan dan kekerasan. Begitulah caranya mengajarkan Islam kepada masyarakat yang saat itu berada di bawah kekuasaan raja Pajajaran yang didominasi ajaran Hindu. Karena sifatnya yang damai inilah yang membuat Islam diminati oleh para penduduk sekitar. Tanpa waktu lama, Islam berkembang pesat sehingga pada tahun 1416, Syekh Hasanuddin mendirikan pesantren pertama di tempat ini.

Berdirinya pesantren ini menuai reaksi keras dari para resi. Pesatnya perkembangan ajaran Islam membuat para resi ketakutan agama mereka akan ditinggalkan. Berita tentang aktivitas dakwah Syekh Quro di Tanjung Pura yang merupakan pelabuhan Karawang didengar Prabu Angga Larang yakni Prabu Dewa Niskala. Karena kekhawatirannya ia pernah melarang Syekh Quro berdakwah ketika sang syekh mengunjungi pelabuhan Muara Jati di Cirebon. Sebagai langkah antisipasi, Prabu Angga Larang kemudian mengirimkan utusan untuk menutup pesantren ini. Utusan ini dipimpin oleh putera mahkotanya yang bernama Raden Pamanah Rasa atau Jayadewata. Namun baru saja tiba ditempat tujuan, hati Raden Pamahan Rasa terpesona oleh suara merdu pembacaan ayat-ayat suci Alquran yang dilantunkan Nyi Subang Larang. Putra mahkota (yang kemudiannya nanti setelah dilantik menjadi Raja Pajajaran bergelar Prabu Siliwangi itu) dengan segera membatalkan niatnya untuk menutup pesantren tersebut. Ia justru melamar Nyi Subang Larang yang cantik. Lamaran tersebut diterima oleh Nyi Santri dengan syarat maskawinnya haruslah Bintang Saketi, yaitu simbol "tasbih" yang ada di Mekah. Pernikahan antara Raden Pamanah Rasa dengan Nyi Subang Karancang atau Nyi Subang Larang pun kemudian dilakukan di Pesantren Quro atau yang saat ini menjadi Masjid Agung Karawang. Syekh Quro bertindak sebagai penghulunya.

Setelah Wastu Kancana wafat pada tahun 1475, kerajaan Sunda Galuh dibagi dua dalam kedudukan sederajat:
1.       Prabu Susuk Tunggal menjadi Raja Sunda, dan
2.       Prabu Dewa Niskala atau Prabu Anggalarang menjadi Raja Galuh.

Prabu Anggalarang mempunyai putra yang pada masa mudanya dikenal dengan nama Raden Pamanah Rasa. Sejak kecil beliau diasuh oleh Ki Gedeng Sindangkasih, seorang penguasa pelabuhan Muara Jati di kerajaan Sing Apura, Muara Jati (sebelum bernama kota Cirebon). Setelah Raden Pemanah Rasa dewasa dan sudah cukup ilmu yang di ajarkan oleh Ki Gedeng Sindangkasih, beliau kembali ke kerajaan Gajah atau Galuh untuk mengabdi kepada ayahandanya Prabu Angga Larang/ Dewa Niskala.
Setelah itu Raden Pemanah Rasa menikahi Putri  Ki Gedeng Sindangkasih, yang bernama Nyi Ambet Kasih.
Ketika itu Kerajaan gajah Galuh dalam pemerintahan Prabu Dewa Niskala atau Prabu Angga Larang sedang dalam masa keemasannya. Wilayahnya terbentang Luas dari Sungai Citarum di Karawang yang berbatasan langsung dengan kerajaan Sunda, sampai sungai Ci-pamali atau Kali Brebes berbatasan dengan Majapahit.

Raden Pamanah Rasa, yang juga bernama Jayadewata menikahi Subang Larang seorang wanita Muslimah putri Ki Gedeng Tapa, Raja Sing Apura, penguasa Syahbandar Muarajati, Cirebon.  Juga Jayadewata memperistri  Nyi Kentring Manik Mayang Sunda putri dari Prabu Susuk Tunggal.  Jadilah antara Raja Sunda dan Raja Galuh yang se-ayah ini menjadi besan, karena Jayadewata dan Kentring Manik adalah sama-sama cucu dari Wastu Kancana. Ada istri-istri lainnya dari Jayadewata yaitu Nyai Aciputih putri Ki Dampu Awang (Tuban) dan juga Nyi Ratu Buniwangi  Ratu Ayu Rambut Asih Sekar Arum Rutjiwati Kantjana (Limbangan) putri dari Prabu Layaran Wangi atau Sunan Rumenggong.   

Pada tahun 1482 Prabu Dewa Niskala menyerahkan Tahta Kerajaan Galuh kepada Jayadewata, putranya.  Demikian pula dengan Prabu Susuk Tunggal menyerahkan Tahta Kerajaan Sunda kepada Jayadewata, menantunya. Dengan demikian  Kerajaan warisan Wastu Kencana kembali berada pada satu tangan, di bawah Jayadewata yang diberi gelar Sri Baduga Maharaja dan dikenal sebagai Prabu Siliwangi (1482-1521M).   Jayadewata memilih untuk berkedudukan di Pakuan sebagai “Susuhunan”, karena ia telah lama tinggal di sini menjalankan pemerintahan sehari-hari, mewakili mertuanya. Sekali lagi, Pakuan menjadi pusat pemerintahan. Zaman Pajajaran diawali oleh pemerintahan  Jayadewata yang bergelar Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi yang memerintah selama 39 tahun. Prabu Siliwangi seorang raja besar pilih tanding sakti Mandraguna, Arif  dan  Bijaksana memerintah rakyatnya di Kerajaan Pakuan Pajajaran. Pada masa Sri Baduga Maharaja  tidak ada satupun kerajaan2 daerah di Jawa Barat yang memberontak, karena Raja-raja Daerah saat itu sangat kagum, cinta dan hormat pada beliau. Pada masa inilah Kerajaan Pakuan mencapai puncak perkembangannya.

DINASTI Sang Prabu Siliwangi pada abad ke-15, menjadikan Islam sebagai agamanya secara aman dan damai, diawali dengan sebab adanya pernikahan kedua Sang Prabu Siliwangi dengan Subang Larang putri Ki Gedeng Tapa, Syah Bandar Cirebon. Dinasti Sang Prabu Siliwangi dari pernikahannya dengan Subang Larang, terlahirlah tiga orang putra putri. Pertama, Pangeran Walangsungsang, kedua Nyai Rara Santang dan ketiga Raja Sangara. Ketiga-tiganya masuk Islam.

Proses masuknya Islam (Islamisasi) di seluruh tanah Pasundan atau tatar Sunda  Jawa Barat adalah tiga orang keturunan raja Pajajaran, yaitu Pangeran Cakrabuana alias Pangeran Walangsungsang, Syarif Hidayatullah yang adalah anak dari Rara Santang - Syarifah Mudha’im, jaitu cucunya Prabu Siliwangi dan Raja Sangara yang ada yang nyebut sebagai Prabu Kian Santang barangkali ini salah satunya; Wallaho Alam.
Cerita legenda dongengeng tentang Prabu Kian Santang itu ada banyak versinya antara lain termasuk Sunan Rohmat Suci atau Sunan Godog yang wafat pada tahun 1419 dimakamkan di Makam Karamat Godog Garut, tidak jauh dari Mesjid Pusaka Karamat Godog.  Adalagi versi lain tentang seorang Putra Mahkota Raja Wisnuwarman (434-455M) yang sakti mandraguna bernama Gagak Lumayung yang pada tahun 450 M, mampu mengusir dan mengalahkan armada pasukan Dinasti Tang yang hendak menaklukkan Tarumanagara, sehingga ia dijuluki Ki An San Tang atau “Penaluk Pasukan Tang”.

Adapun Pangeran Walangsungsang atau Ki Samadullah atau Abdullah Iman atau Pangeran Cakrabuana atau Sri Mangana dilahirkan sekitar tahun 1423 M, ia merupakan anak pertama dari tiga bersaudara hasil perkawinan Prabu Siliwangi dengan Nyai Subang Larang atau Nyai Subang Karancang yang sudah masuk Islam; anak yang kedua Nyai Rara Santang atau Nyai Hajjah Syarifah Mudhaim lahir sekitar tahun 1426 M dan Raja Sangara lahir sekitar tahun 1428 M.
Subang Larang tidak mungkin mengajari Islam putra-putrinya sendiri di istana Pakuan Pajajaran. Diizinkan putra pertamanya Pangeran Walangsungsang dan juga putrinya Rara Santang untuk berguru ke Syekh Dzatul / Datuk Kahfi di Gunung Amparan Jati, Sumedang. Di sini Pangeran Walangsungsang diberi nama Samadullah.   Atas anjuran Syekh Datuk Kahfi,  Pangeran Walangsungsang dan Rara Santang pergi Naik Haji. Ternyata dalam masa Ibadah Haji di Mekkah,  Rara Santang dipersunting oleh Maulana Sultan Mahmud yang disebut pula Maulana Ishaq Syarif Abdullah seorang penguasa Kota Ismailliyah Mesir. Rara Santang setelah haji dikenal dengan nama Syarif ah Mudha’im. Dari pernikahannya dengan Syarif Abdullah, lahir putranya, Syarif Hidayatullah pada 12 Maulud/Rabiul Awwal 852H atau 15 Mei 1448  dan putra kedua Syarif  Nurullah, yang kemudian mengganti kedudukan Syarif Abdullah  di Mesir yang wafat tidak lama kemudian, karena Syarif  Hidayatullah memilih untuk ikut menyebarkan Islam bersama ibunya di Cirebon. Syarif Hidayatullah dikenal pula setelah wafat dengan nama Sunan Gunung Jati.
Walangsungsang setelah haji, dikenal dengan nama Haji Abdullah Iman. Karena sebagai Kuwu di Pakungwati, dikenal dengan nama Cakrabuana. Prestasi Cakrabuana yang demikian menarik perhatian Sang Prabu Siliwangi, diberi gelar Sri Mangana. Pengakuan Sang Prabu Siliwangi yang demikian ini, menjadikan adik Walangsungsang yakni Raja Sangara masuk Islam dan naik haji kemudian berubah nama menjadi Haji Mansur.

Syekh Dzatul / Datuk Kahfi (dikenal juga dengan nama Syekh Idhofi atau Syekh Nurul Jati) adalah tokoh penyebar Islam di wilayah yang sekarang dikenal dengan Cirebon dan leluhur dari raja-raja Sumedang. Rombongannya datang di Muara Jati tahun 1420. Beliau pertama kali menyebarkan ajaran Islam di daerah Amparan Jati, Sumedang.  Beliau adalah buyut dari Pangeran Santri (Ki Gedeng Sumedang), penguasa di Kerajaan Sumedang Larang, Jawa Barat. Syekh Datuk Kahfi bin Syekh Datuk Ahmad adalah keturunan dari Nabi Muhammad saw., dari putrinya Fatimah Az-Zahra yang menikah dengan Ali bin Abi Thalib yang berputra Imam Hussain cucu Nabi Muhammad SAW yang syahid terbunuh dalam pembantaian di Padang Karbala, Iraq. Syekh Datuk Kahfi merupakan guru dari Pangeran Walangsungsang dan Nyai Rara Santang (Syarifah Mudha'im), yaitu putera dan puteri dari Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi), raja Kerajaan Pajajaran, Jawa Barat. Syekh Datuk Kahfi wafat dan dimakamkan di Gunung Jati, bersamaan dengan makam Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), Pangeran Pasarean, dan raja-raja Kesultanan Cirebon lainnya.

Sunan Gunung Jati memiliki nama asli yaitu Syarif Hidayatullah putera Maulana Ishaq Syarif Abdillah seorang penguasa dari kota Ismailiah, Arab Saudi. Sunan Gunung Jati bukan Fatahilah atau Faletehan ulama dari Aceh sebagaimana sering dibahas dalam buku-buku sejarah Wali Sanga. Sunan Gunung Jati adalah Syarif Hidayatullah. Hal ini dapat dibuktikan bahwa di samping makam Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah terdapat makam Tubagus Pasai Fathullah yang tidak lain adalah Faletehan. Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah hidup pada zaman Adipati Raden Patah Sultan Demak pertama (1500-1518M), sedangkan Fatahilah datang dari Aceh pada masa pemerintahan Sultan Trenggono (1521-1546M), Raja / Sultan ketiga dari Kesultanan Demak.

Sunan Gunung Jati adalah putra Nyi Ratu Rara Santang atau Syarifah Mudha’im dengan Maulana Ishaq Syarif Abdillah penguasa kota Isma’iliyah. Maulana Ishaq Syarif Abdillah dikaruniai dua putera, yaitu Syarif Hidayatullah yang lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati dan Syarif Nurullah. Keduanya diperintah ayahnya untuk menimba ilmu seperti ilmu agama, ilmu sosial, dan ilmu tasauf dari ulama Baghdad. Pada saat Syarif Hidayatullah berumur 20 tahun ayahnya meninggal dunia maka ia ditunjuk untuk menggantikan memerintah Kota Isma’iliyah. Syarif Hidayatullah tidak bersedia karena sudah bertekad untuk melaksanakan harapan ibunya menjadi mubaligh di Caruban (Cirebon). Pemerintahan kota Isma’iliyah dilimpahkan kepada adiknya Syarif Nurullah.

Setelah pengangkatan Syarif Nurullah sebagai penguasa Kota Isma’iliyah maka ibunda Syarifah Muda’im beserta Syarif Hidayatullah untuk pulang ke tanah Jawa dan singgah dibeberapa tempat dan baru pada tahun 1475 sampai di Caruban. Syarif Hidayatullah ingin dekat dengan tempat makam gurunya yaitu Syekh Dzatul Kahfi. Ia meminta ijin kepada Pangeran Cakrabuana dan diijinkannya untuk tinggal bersama anaknya di Pertamanan Gunung Sembung sambil mengajarkan agama Islam sebagai penerus Paguron Islam Gunung Jati. Pangeran Cakrabuana kemudian menikahkan putrinya Nyi Ratu Pakungwati dengan Pangeran Syarif Hidayatullah, dan pada tahun 1479 Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekua/saan atas negeri Caruban ke menantunya yaitu Syarif Hidayatullah dengan gelar Sunan Gunung Jati. Dengan dinobatkannya Syarif Hidayatullah sebagai pemimpin tertinggi Nagari Caruban di Istana atau Keraton Pakungwati  ini menambah besarnya nama Caruban serta pesatnya penyebaran agama Islam.

Selanjutnya Syarif Hidayatullah ingin menyebarkan agama Islam di sekitar Cirebon, seperti Talaga dan Rajagaluh. Dan ia kembali lagi ke Gunung Sembung guna menata agama Islam di Pasambangan, yaitu menjadi guru Agama Islam di Paguron Pasambangan. Pada tahun 1568 warga kesultanan Cirebon berduka atas wafatnya Syarif Hidayahtullah (Sunan Gunung Jati). Ketika meninggal Sunan Gunung Jati berusia 120 tahun. Bersama ibunya Syarifah Mudha’im dan Pangeran Cakrabuana, beliau dikebumikan di Pertamanan Gunung Sembung. 

Tadi, dengan dipersatukannya kembali Kerajaan Sunda dan Galuh oleh Jayadewata, membuat beliau dipandang mewarisi kebesaran kakeknya, Prabu Wastukancana alias Prabu Wangi. Maka, pemberian gelar Siliwangi bagi Prabu Jayadewata memiliki arti pengganti atau pewaris Prabu Wangi. Jadi, Raja Sunda Pajajaran yang dimaksud dalam sejarah sebagai Prabu Siliwangi adalah Prabu Jayadewata yang berkuasa dari tahun 1482-1521.

Adapun dari istrinya Prabu Siliwangi yang bernama  Nyi Ratu Buniwangi  Ratu Ayu Rambut Asih Sekar Arum Rutjiwati Kantjana putri dari Prabu Layaran Wangi atau Sunan Rumenggong  Limbangan, berputra amtara lain Raden Prabu Hande Limansenjaya, yang selanjutnya beliau berputra Raden Wijaya Kusumah atau Prabu Adipati Djaja – Sunan Cipancar; inilah cucunya Prabu Siliwangi yang masuk Islam pada tahun 1525M.  Pangeran Papak Wangsa Muhammad Da'i Islam di Cinunuk, Wanaraja Garut (W: 26-6-1899) adalah keturunan ke-X dari Sunan Cipancar.

Setelah meninggalnya Prabu Siliwangi, ternyata, masih ada lima raja lagi yang memerintah sepeninggal Prabu Jayadewata, sebelum benar-benar Kerajaan Pajajaran runtuh 58 tahun kemudian yaitu pada tahun 1579M:
1.)   Prabu Surawisesa (1521-1535)
2.)   Prabu Ratu Dewata (1535-1543)
3.)   Ratu Sakti (1543-1551)
4.)   Prabu Nilakendra (1551-1567)
5.)   Prabu Raga Mulya (1567-1579)
Pada masa pemerintahan Raga Mulya inilah, tepatnya pada tanggal 8 Mei 1579 M, Kerajaan Pajajaran mengalami kehancuran akibat serangan pasukan Kesultanan Banten yang dipimpin Maulana Yusuf. Prabu Raga Mulya beserta para pengikutnya yang setia tewas dalam pertempuran mempertahankan ibukota Pajajaran yang ketika itu telah berpindah ke Pulasari, kawasan Pandeglang sekarang.
Adapun bekas istana Kerajaan Pajajaran di kawasan Pakuan, daerah Batutulis Bogor sekarang, terutama sekali bekas tempat duduk yang ditinggikan untuk Raja Pajajaran itu kemudian menjadi sarang sejumlah besar harimau.

Kamis, 20 Februari 2014

SEJARAH JEMAAT AHMADIYAH CABANG KAWALU-TASIKMALAYA



Bismillahirrahmanirrahiim
SEJARAH  JEMAAT  KAWALU  CABANG  NO.  119  TH. 1985

Jemaat Ahmadiyah Cabang Jakarta (Cabang No. 01) didirikan pada tahun 1932 dengan Ketua dan Sekretarisnya Abdul Razak dan Simon Sirati Kohongia; diikuti Cbg Bandung No. 02  dan Bogor No. 03.  Salah satu penantang sengit Ahmadiyah adalah organisasi "Persis"(Persatuan Islam) yang dipimpin oleh A. Hassan yang lebih dikenal dengan "Hassan Bandung" guru dari Almarhum Mohammad Natsir mantan Ketua Rabithah Alam Islami dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Setelah berkali-kali terjadi surat menyurat dan diskusi antara Ahmadiyah dan "Pembela Islam" yang merupakan media Persis itu, menghasilkan kesepakatan diantara kedua belah pihak untuk mengadakan suatu pertemuan yang ketika itu disebut "Openbare Debatvergadering” (Pertemuan Debat Terbuka) yang pertama kalinya diadakan pada tanggal 14-15-16 April tahun 1933, bertempat di gedung Sociteit "Ons Genoegen" Naripanweg, Bandung, dengan topic utama “Masalah hidup matinya Nabi Isa a.s.”  Debater dari Ahmadiyah:  Maulana Rahmat Ali HAOT , Maulana Abubakar Ayub HA  dan Maulana Muhammad Sadiq HA.  Di dipimpin oleh Muhammad Syafi'i dari PSII Bandung denganVerslaggever: Taher Gelar Sutan Tumenggung. Jumlah pengunjung k.l. 1000 orang
Perdebatan ini mendapat perhatian luar biasa dari pengunjung yang terdiri dari orang-orang Ahmadi dan masyarakat Islam kota Bandung. Ketika perdebatan berlangsung selama beberapa hari di Bandung beberapa media pers di Bandung dan Jakarta meliput peristiwa yang jarang terjadi ini. Nama Ahmadiyah semakin terkenal dan hal demikian sangat menguntungkan tablighnya. Banyak diantara pengunjung memuji ketangguhan Ahmadiyah dalam perdebatan itu, tetapi tidak sedikit juga diantara mereka yang memutar balikkan fakta dengan mengatakan Ahmadiyah telah dikalahkan oleh A. Hassan. Beberapa Ulama-ulama dari Bandung, Singaparna, Tasikmalaya, Garut, Cianjur dan Sukabumi yang dipelopori oleh Anwar Sanusi dan Al-Hadad lewat surat kabar “Al-Mukmin” mencaci maki habis-habisan Ahmadiyah. Sebagai hasil dari perdebatan itu telah diterbitkan buku "Verslag Debat resmi" yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak yang berdebat, Pemimpin Sidang dan Verslaggevernya.
Sementara itu masih ada pihak-pihak yang belum puas dengan hasil perdebatan itu dan mereka berusaha mempertemukan kembali kedua belah pihak itu dalam suatu perdebatan yang kedua. Setelah diadakan persiapan-persiapan seperlunya maka ditetapkanlah bahwa perdebatan kedua itu akan diadakan di Gedung Permufakatan Nasional di Gang Kenari, Jakarta dengan acara-acara sebagai berikut: Tanggal 28 September 1933: Hidup matinya Nabi Isa a.s.  Tanggal 29 September 1933: Ada tidaknya Nabi sesudah Nabi Muhammad SAW.; Tanggal 30 September 1933: Kebenaran pendakwaan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s.
Debaters pihak Ahmadiyah:  Maulana Rahmat Ali HAOT.  dan  Maulana Abubakar Ayyub HA.
Debaters pihak Pembela Islam : A. Hassan cs.  Pemimpin: R. Muhyiddin; Verslaggever: M. Saleh SA.    dengan jumlah pengunjung lebih kurang 2000 orang. Sebagai akibatnya banyak orang yang bai’at masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah, seperti R. Muhyiddin yang kemudian menjadi Ketua Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah (Qadian) yang pertama
 (1), dan juga Entoy Mohammad Toyib (1900-1981) asal Singaparna, seorang pegiat dan penganut aliran Sosialis-Komunis yang pernah dibuang ke Boven Digul, sampai tahum 1935.
Pada tahun 1933-1935 pedagang dari Tasik – Indihiang - Singaparna biasa datang ke Jakarta  untuk menjual kerajinan tangan Tasik dan menginap di Hotel Mataram Molenvliet atau Jl. Hayamwuruk sekarang, dimana mereka sudah banyak mendengar tentang Ahmadiyah terutama dengan telah terjadinya perdebatan di Gg Kenari Jakarta Pusat  (dengan membaca “officieel verslag debat”) sehingga mempermudah pembicaraan Pa Entoy Toyib dengan orang-orang Tasik dan Singaparna itu.  Pada tahun 1935 Mln Rahmat Ali menugaskan Entoy Toyib untuk melakukan pertablighan kepada orang-orang Tasikmalaya dan sekitarnya.
Tahun 1935 Muballigh Jemaat Ahmadiyah Mln. Rahmat Ali HAOT mendirikan Komite Ahmadiyah di Indihiang (di rumah Wendy Endi sepuh, saudagar muda biasa bisnis ke Jakarta) untuk memperkuat daya tarik Ahmadiyah kpd orang2 di Tasikmalaya dan menunjuk Entoy Mohammad Toyib (dan Uwen Juansah juga) sebagai ahli debatnya. 
Pada tanggal 22 April 1936 tiba di Garut Abdul Wahid, seorang pemuda muballigh asal Sumatra dan dengan disokong oleh saudagar Amat bin Abdullah bergotong-royong membangun Mesjid Pertama Jemaat Ahmadiyah di Sanding Garut (Cabang No. 05). Selanjutnya pada tahun 1938 berdiri Ranting Samarang.  Orang-orang Garut yang pertama-tama masuk Ahmadiyah antara lain Basyari Hasan, yang menjadi Ketua Ranting Samarang (5), Sukri Barmawi Guru HIS yang masuk Jemaat pada tahun 1939 dan diikuti oleh kakaknya Hasan Ahya Barmawi pada tahun 1940, yang adalah Wedana Jatibarang.
Perdebatan di Singaparna  berlangsung pada tahun 1939-1940 dengan datangnya Mln. Rahmat Ali HAOT.,  Abdul Wahid HA,  bersama Entoy Mohammad Toyib; dan pada tahun 1942  Jemaat Ahmadiyah Cabang Singaparna  (No. 11)  didirikan oleh Muballigh Ahmadiyah Mln. Rahmat Ali HAOT., dengan ketuanya yang pertama Abah E. Argadiraksa putranya H. Zakaria – Lurah Desa Cipakat Singaparna, yang membangun Mesjid Baiturrahim Babakan Sindang, Cipakat – Singaparna (mulai dibangun tahun 1925 – diresmikan tahun 1940).
Cabang Ahmadiyah Tasikmalaya (No. 04) didirikan pada tanggal 1 Mei 1941 yang selanjutnya membangun mesjid di atas tanah Rasli dan diresmikan oleh Muballigh asal India Malik Aziz Ahmad Khan pada tahun 1942.  Malik Aziz Khan menikah dengan Tatan Khasanah asal Garut yang salah satu anaknya (Munawar Ahmad)  menjadi menantu Brigjen Polisi Ahmad Suriahaminata, yang adalah Ketua dan/atau Wakil Ketua PB Jemaat Ahmadiyah sampai tahun 1980. (3) (4),  Tokoh Jemaat Tasik lainnya antara lain Bapak dan Ibu Darma, ortunya Popon w/o Suriahaminata. Ibu Darma pendonor utama pembangunan Mesjid Mubarak Jl. Pahlawan Bandung.
Pada tahun 1938, H. Zaenal Abidin Sengkol Kawalu, pengusaha toko bahan bangunan  yang bai’at setelah terjadi perdebatan di Bandung, maka Jemaat Ahmadiyah mulai berkembang di Kawalu yaitu dengan bai’atnya Maman Lukman bin Yudawinata (8) (9) bin Yudapradja dan Enop Abdul Manan bin Sulaeman bin Yudapradja,  bersama istri-istrinya masing-masing yaitu Enah Hunaenah dan Edoh Jubaedah binti H. Djahuri & Siti Eha Julaeha; mereka bai’at pada tahun 1939. Kedua pemuda tadi adalah asal Pesantren Sukamanah, yang  ikut dalam Gerakan Pemuda atau GP Ansor NU, yang awalnya ditugaskan untuk  menjegal gerakan Ahmadiyah di Tasikmalaya dan Kawalu, tetapi ternyata kalah argumentasi dalil..
Dari keluarga Maman Lukman bai’at guru Ibrahim dan istrinya Uwe Djuariyah, Obing (kakak iparnya Maman L) & istrinya Piyoh,  ysng kemudian menjadi w/o Iwa Bogor, ayahnya Jamhur  Bandung Humas PB.
Kehebohan orang-orang di Desa Tanjung – Kawalu terjadi dengan baiatnya Maman Lukman c.s. tadi, akhirnya keluarga Maman Lukman dan Ibrahim diusir dari rumah orang tuanya di Desa Tanjung dan dijemput dengan 2 delman yang diiringi dengan sorak-ramai orang-orang kampung, anak laki-laki Maman Lukman, Endang Hidayath yang baru umur 2 tahun  dipanggilnya dengan penghinaan kicrik-kicrik! Mereka dibawa dan diamankan oleh Jemaat di Sukapura; yang kemudian mereka pindah ke Tasikmalaya kota (1942). 
Dari keluarga Abdul Manan & Edoh bai’at Encen Winata Tasik, paman Edoh,  Oyo Karyo polisi menantu Encen, Oyo Karyo polisi yang ayahnya Dody Karyadi .  Juga ikut  Nenek Kayah w/o Sulaeman, Acin Kuraesin bin Sulaeman (w/o Husen – Bus Aman Abadi Ciamis), Momon Ahmad Makmun bin Sulaeman, dan Bu Kioh bin Sulaeman.  Acin Kuraesin punya anak Ema Rohimah (w/o Sulaeman Muchtar/ Sulaeman Dolar) dan Memet Rahmat Pusdik Parung. Hampir semua anak-anak dan cucunya masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah. Juga keluarga adik-adik Edoh Jubaedah (w/o E Abdul Manan), Yuyu bai’at th. 1952  (tahun 1961 menjadi w/o Ali Mukhayat) dan Aa Siti Hafsah (w/o Abdul Manan; setelah Edoh wafat).  Ali Mukhayat bai’at waktu kuliah di Yogja karena membaca buku Ahmadiyah di Perpustakaan, kemudian bekerja di Semarang dan bersama Yasin Al Hadi - Salatiga, Ahmad Dimyati - Tasik dan Suryaman menjadi perintis Jemaat Semarang Cabang  No. 26.
Dari keturunan Erpol – Lurah Kersamenak, yang cucunya Dalem Sawidak, bai’at Enjum w/o Uca Muhammad Musa simpatisan pendiri Koperasi Tasik, tidak bai’at  tetapi selalu membela Ahmadiyah, yang adalah ortunya Arif Dastaman Pusdik Parung,  Makmur suami Atik Suwartika d/o Uca Muhammad Musa, Elon Dahlan dan istrinya Enok Kuraesin, Siti Eha Julaeha yang ibunda Edoh Jubaedah,  Diding Endang Rusyud & Djodjoh Jakarta – Cimahi.  Selain itu bai’at juga Sarimun polisi, M. Jaffar Mantri Polisi Kawalu, kemudian menjadi Pejabat Kantor Kabupaten Tasikmalaya, Adang Havid bin Didi Kantadireja - Sukapura, Lili Ramli dll.
Tadinya orang-orang Jemaat Ranting Kawalu masuk Cabang Tasikmalaya, sampai diresmikan menjadi Cabang Kawalu No.  119  pada tahun 1985 dengan Ketuanya pertama Makmur, kemudian Oyo Karyo, kemudian E. Abdul Manan, yang tadinya ketika tinggal di Jakarta,  A. Manan sampai tahun 1984 menjadi Sekretaris Tabligh II PB, atau Asisten Sektab I PB.  Pipip Sumantri (2).  Selanjutnya M. Jaffar  menjadi Ketua Cabang Kawalu menggantikan Abdul Manan. Ketua Jamaat Kawalu yang sekarang: Iyon Sofyan.

Catatan kaki:  “Sejarah Jemaat Kawalu – Tasik” (dan Garut serta Manislor juga)
(1)     Ketika pulang dari debat hari terakhir itu ada orang yang menimpuki Mln Rahmat Ali c.s. dengan batu; salah satu contohnya adalah Tamim  dari Panaragan – Gunung Batu Bogor;  namun sesampainya di rumah ia berpikir: Mengapa saya melempari Muballigh Ahmadiyah yang telah memberikan dalilnya dengan benar itu?  Ia sadar dan merasa menyesal, maka esok harinya ia menemui Mln Rahmat Ali, berdikusi dan bai’at. Asyik, anaknya Tamim, bekerja di Warehouse Stanvac Sungagerong. Tamim teman Ahmadi dengan mertua saya yang dulu, Nanie Sudarma – Majalah Sunda “Warga”  Bogor. Nanie Sudarma kalau ke Mesjid Petojo sering membawa istri saya yang dulu, menjumpai Rahmat Ali. Katanya Rahmat Ali suka bagi2 uang kepada anak2, kalau kepada anak2 yang yang lain 2,5 sen atau sebenggol, kepada istri saya setalen, 25 sen.
(2)     Sekitar tahun 1982 Abdul Manan Sektab II PB melaporkan kepada Sektab I PB bahwa, di Indonesia satu-satunya (rencana) pembangunan Mesjid/Mushalla Ahmadiyah yang diresolusi oleh masyarakat adalah yang di Kawalu–Sindangwangi, Tasik.
(3)     Sebelum Rules & Regulations Anjuman Tahrik Jadid (1987 / Tertulis) diterapkan kepada Jemaat di Indonesia, Pemilihan Pengurus Besar diadakan melalui pemilihan 3 orang Formateur dalam “Kongres”.  Yang Biasa terpilih adalah Moertolo SH., pejabat tinggi Kejaksaan Agung, Brig.Jen. Ahmad Suriahaminata dari Mabes Polri dan Kolonel Hasan Muhammmad HS. Formateur-lah yang kemudian menunjuk / memilih / menetapkan anggota PB dan melaporkannya ke Pusat. Ada beberapa kali, Moertolo dan Ahmad Suriahaminata bergiliran menjadi Ketua atau Wakil Ketua-nya di  PB.
(4)     Raffi Faridz Ahmad (actor / presenter),  lahir 17 Februari 1987 anak dari Munawar Ahmad bin Malik Aziz Ahmad Khan dengan ibunya Amy Qanita anak Brigjen Pol. Ahmad Suriahaminata.
(5)     Basyari Hasan Ketua Ranting Ahmadiyah Samarang-Garut yang Kepala Desa Sukarasa pada tahun 1953 memberikan ceramah Isra’-Mi’raj di Cirebon, yang dihadiri oleh Soetardjo Mantri Polisi Kec. Jalaksana Kuningan, yang merasa tertarik kemudian bersama Bening, Kuwu Manislor (ayah Rastam Ahmadi) dan Soekrono saudaranya, mengundangnya ke Manislor.  Selama 4 hari ada 450 orang Manislor bai’at masuk Ahmadiyah. Cabang Manislor No. 13 dan Cirebon No. 14. 
(6)     Di zaman Perjuangan Kemerdekaan R.I. pada Clash 1 (1947 pertempuran di Ambarawa) dan Clash II (1948 - Yogya diduduki tentara Belanda) tersiar kabar bahwa akan datang Imam Mahdi dan Ratu Adil.  Satu kali anak-anak kecil disuruh mencari dan mengumpulkan 7 macam bunga untuk menyambut Imam Mahdi katanya. Sementara itu terdengar kabar burung sampai di Jalaksana bahwa ada orang2 Manislor yang suka puasa mati-geni selama 40 hari di atas loteng.
(7)     Ketika masih duduk di S R (SD sekarang), sebelum pindah ke Bogor (1950), penulis  ikut sembahyang Jum’at-nya di Mesjid dekat Alun-alun Desa Jalaksana. Khutbahnya disampaikan dalam Bahasa Arab (mana orang bisa ngerti?). Yang memulai khutbah dalam bahasa Sunda adalah Basyari Hasan di Manislor tadi.  Saya recek kepada paman istri saya Tubagus S (ghair, tadinya pernah bai’at.tapi dipaksa keluar oleh anak2-nya, yang sedang maju duniawinya) yang umurnya 2 tahun lebih tua dari penulis;  ia katakan memang benar begitu; ia menambahkan bahkan sekarang pun masih ada mesjid2 yang khutbahnya pakai bahasa Arab; bahkan katanya pula, selesai Salat Jum’at itu ada Iqamat dan salat Zuhur lagi; barangkali mereka anggap salat Jum’at yang 2 raka’at itu kurang afdhal. Begitulah keadaan mereka yang belum mengikuti Imam Zaman.
(8)     Maman Lukman Yudawinata adalah cicit atau grand-grand son dari Pangeran Papak Wangsa Muhammad, yaitu dari anaknya Siti Aniyah Sutriyah (W 1925 di Kawalu) & Mama Kopral (Cianjur), Madsari – Lurah di Cikebo & Enot cucu Dalem Sawidak kakaknya Erpol, kemudian Siti Mariyah Tanjung (W 1982) &Yudawinata s/o Yudapradja.
(9)     Pangeran Papak Wangsa Muhammad (W 26-6-1899) Da-i Islam di Cinunuk Wanaraja Garut; yang mengajarkan kepada murid-muridnya “Jangan lupa solat 5 waktu dan harus banyak berdzikir mengingat Allah”.  Pangeran Papak adalah keturunan ke-12 Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi (1482-1521) dari istrinya Ratu Ayu Rambut Kasih Sekar Arum Rutjitawati Kancana – Limbangan, yang berputra diantaranya Prabu Hande Limansenjaya; Hande berputra a.l. Raden Wijaya Kusumah atau Sunan Cipancar inilah cucu Prabu Siliwangi yang masuk Islam pada tahun 1525 M.
(10)  Cabang-cabang Jema’at perintis di Indonesia: 01 Jakarta (1932), 02 Bandung, 03 Bogor, 04 Tasik (1941), 05 Garut, 06 Sukabumi, 07 Cianjur, 08 Ciandam, 09 Gondrong, 10 Kebayoran, 11 Singaparna (1942). 12 Cikalongkulon, 13 Manislor (1953), 14 Cirebon,  15 Ciparay, 16 Leuwimanggu, 17 Sindangkerta, 18 Cisalada, 19 Wanasigra, 20 Rangkasbitung, 21 Purwokerto, 22 Kebumen, 23 Yoyakarta, 24 Surabaya, 25 Banjarnegara, 26 Semarang, 27 Panyairan ……
(11)  Penyebutan “nama-nama”  di atas mengingat ada pasangannya dan saudara-i-nya atau anak-keturunannya yang menjadi jauh atau tidak/ belum  mengikuti jejak perintis pendiri/ pejuang Jemaat Islam hakiki, Ahmadiyah, semoga mendapatkan taufik.