DUA AHMADIYAH : QADIAN dan
LAHORE (yang memisahkan diri dari Khilafat)
1)
Khwaja Kamaluddin (Lahir di Punjab India 1870 –
December 28, 1932) seorang Ahli Hukum keluaran Forman Christian College, Lahore. Pada tahun 1893 ia masuk Ahmadiyah dan menjadi teman dekat Mirza Ghulam
Ahmad Pendiri Jemaat Ahmadiyah. Sebelum masuk Jemaat ia tadinya
ingin dibaptis masuk Kristiani tetapi ia dapat diyakinkan oleh Mirza Ghulam
Ahmad untuk tidak masuk Kristiani. Sementara itu, di Eropa Barat ada sebuah Mesjid Shah Jahan di Woking, terletak 30 Mil di luar kota London yang dibangun
pada tahun 1889 oleh Shah Jahan Begum dari Bhopal, India. Mesjid ini
ditinggalkan dan terkunci antara tahun 1900 – 1912. Khwaja Kamal-ud-Din, yang tiba di London pada tahun 1913
di-instruksikan oleh Maulvi Nuruddin Khalifatul Masih I untuk meng-akusisi
mesjid Woking tsb. dan mendirikan Woking Muslim Mission.
2) Maulana Muhammad Ali dan Khwaja Kamaluddin sebagai ulama Ahmadiyah yang
pintar, tersohor pernah tinggal dan berkhidmat di Qadian; beliau pun bai’at
kepada Khalifatul Masih I Hazrat Maulana Al-Haj Nuruddin. Namun sehubungan
wafatnya Maulana Nuruddin (13 Maret 1914), kemudian dengan terpilihnya Hazrat
Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad – umur 25 tahun, lahir 12 Januari 1889 - putra Pendiri Jemaat Ahmadiyah Mirza Ghulam
Ahmad a.s. sebagai Khalifatul Masih II, mereka merasa kecewa dimana Muhammad
Ali, Khawaja Kamaluddin dan kelompoknya a.l. Dr. Jacub Baig dan Dr. Mohammad
Hussein memilih memisahkan diri dari Nizam Khilafat Jemaat Ahmadiyah Qadian dan
pindah ke Lahore dengan mendirikan organisasi non-Khilafat yang dinamakan
“Ahmadiyya Anjuman Isya’ati Islam” Lahore atau yang dikenal dengan “Ahmadiyah Lahore”.
3) Ahmadiyah
Lahore, karena
organisasinya hanya merupakan “Anjuman” yang keluar atau memisahkan diri dari
“Nizam Khilafat”, maka mereka perlu mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad hanyalah seorang Mujjadid atau Pembaharu / Reformer. Barangkali dengan
beritikad demikian, mereka pikir, mereka
bisa lebih mudah beradaptasi dengan mayoritas Islam Mainstream, dan yang tidak
terikat dengan aturan Jemaat atau Nizam Khilafat.
4) Perselisihan dan perpecahan dalam
agama selalu ada. Agama suci Islam ketika baru saja Nabi Muhammad Rasulullah
saw. wafat terjadi perselisihan besar di antara kaum Syi’ah Rafidhah (rafidah “yang meninggalkan” kata kaum Sunni) dan
mazhab “Ahli Sunnah wal Jama’ah”
atau kaum “Sunni”; perselisihan dan
bahkan saling bunuh atau peperangan terus berlangsung sampai sekarang, terutama
di Iraq, Iran, Afghanistan dan Pakistan. Perpecahan dalam Islam ni tidak
berarti bahwa agama Islam dan Rasulullah saw. itu na’udzubillah min dzalik
tidak benar, dan dipakai alasan untuk menolak kebenaran Nabi Muhammad saw.
Perselisihan dan/ atau perpecahan hanyalah merupakan ujian atau trial bagi para pemgikutnya, untuk memilih mazhab atau
partai mana yang benar-benar mengikuti keinginan dan wasiyat dari Nabi yang
Utusan Allah tersebut. Perselisihan terjadi juga dalam pengikut Nabi Isa a.s.
antara Katolik Roma, Katolik Yunani, Protestan, Protestan lawan Katolik
terutama di Irlandia Utara dan Scotlandia, ada juga Sekte Unitarian (Ketuhanan
yang Esa) dll.
5) Perbandingan persentase pengikut
Syi’ah dan Sunni di dunia saat ini adalah 10% berbanding 90%. Pada hakikatnya, Jemaat Ahmadiyah yang memiliki
seorang Imam dan/atau seorang
Khalifah Islam untuk seluruh dunia serta
mengamalkan secara konsekwen 100% Sunnah (Tradisi dan Hadits) Nabi saw. dan
mengamalkan Ajaran Alqur’an-ul Karim, adalah secara hakiki merupakan Mazhab “Ahli Sunnah wal Jama’ah”, yang
tidak terdapat pada golongan Islam manapun atau Sekte Islam lainnya, yang sekarang
menamakan dirinya sebagai “Islam Mainstream”.
Jemaat Ahmadiyah pada tahun 2013 sudah ada di 204 negara di dunia yang
jumlahnya setiap saat terus bertambah.
6)
Tahun
1924 dua pendakwah Ahmadiyah Lahore Mirza
Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad Berkat Rahmatullah,
datang ke Yogyakarta. Minhadjurrahman Djojosoegito,
seorang sekretaris di organisasi Muhammadiyah, mengundang Mirza dan Maulana untuk
berpidato dalam Muktamar ke-13 Muhammadiyah, dan menyebut Ahmadiyah sebagai
"Organisasi Saudara Muhammadiyah". Djojosoegito dikeluarkan
dari Muhammadyah dan mendirikan “Gerakan Ahmadiyah Lahore”; yang bergerak di
bidang pendidikan dengan mendirikan Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia
(PIRI) di Yogja dan menerbitkan terjemahan buku-buku Ahmadiyah ke dalam Bahasa
Indonesia. Sebelumnya tahun 1960 Djojosoegito pun sudah menterjemahkan Alqur’an
Ahmadiyah ke dalam Bahasa Belanda, yang banyak dipakai sebagai rujukan oleh
orang2 tua dulu di sini.
7)
Pada tahun 1935 Pak Nanie Sudarma
sebagai wartawan “Sipatahunan”, ketika akan keluar pintu rumah koppel ditanya
oleh tetangga sebelah mau kemana dan dijawab akan meliput Muktamar Ahmadiyah
(Lahore ) di Naripan Bandung, tetangga
tadi mengatakan bahwa dalam menghadapi orang Ahmadiyah sih harus pakai bedog /
golok. Perkataan tetangganya itu membuat Nanie Sudarma penasaran dan
terheran-heran. Selanjutnya beliau mendapat kiriman satu peti buku2 Ahmadiyah
(Lahore) dan dibaca siang malam sehingga bai’at masuk Ahmadiyah Lahore. Ketika
Nanie Sudarma (Pemimpin Majalah Sunda “WARGA” Bogor) kemudian menjadi mertua
penulis di Bogor (1961) Pak Sudarma sudah menjadi pengikut Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (Qadian) yang pada tahun 1940-an sering berhubungan dengan Maulana
Rahmat Ali HA OT (Gelar Sarjana “Honour in Arabic & Oriental Training”) dan
Kartaatmaja di Petojo Udik Jakarta dan Bahrum Rangkuti juga, yang pengikut
Ahmadiyah Qadian.
8)
Maulana Rahmat Ali HAOT tiba di Tapaktuan
Aceh Barat pada tanggal 2 Oktober 1925, naik kapal dari Calcutta menuju Penang
kemudian turun di Pelabuhan Sabang. Beliau berangkat dari Qadian tanggal 17
Agustus 1925 atas perintah Khalifatul Masih II Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad memenuhi permohonan 19 orang
pelajar asal Sumatra yang sedang belajar di Qadian - yang nama-namanya tersebut pada butir 12 di
bawah - untuk mengirimkan Muballigh Ahmadiyah ke Sumatra dst.
9)
Kisah
sebelumnya ialah: Pada tahun 1922 banyak murid-murid lulusan “Sumatra
Thawalib” Padang Panjang pimpinan Dr. H. Karim Amarullah (Ayahanda Buya
Hamka) yang berangkat ke luar negeri untuk melanjutkan pelajaran agama Islam di
Perguruan Tinggi “Al-Azhar” di Kairo, Mesir.
Tetapi dua orang lulusan Sumatra Thawalib, yakni Abubakar Ayyub dan Ahmad Nuruddin mengikuti nasihat guru mereka, Zainuddin El Yunusi Labai dan Syeikh Ibrahim Parabek, yang mengatakan
bahwa di Hindustan banyak perguruan yang
tinggi mutunya, lagipula ke Mesir sudah banyak orang yang pergi kesana.
10) Tujuan 2 pelajar itu pertamanya
adalah kota Lucknow, mereka hanya minta kepada kusir delman untuk ditunjukkan
tempat Ulama atau Madrasah yang paling terkenal, maka diturunkanlah di Madrasah
Nizhamiyah “Darun Nadwah”; sementara itu teman mereka Zaini Dahlan menyusul sehingga mereka menjadi bertiga. Karena
merasa kurang puas, mereka tinggal di sana hanya selama 3 bulan dan mencari
tempat lainnya. Ketika di Sumatra mereka
pernah membaca dari “Cahaya Sumatra” tentang
Khawaja Kamalud Din yang
pernah menjadi Imam Mesjid di London (Woking) datang ke Jawa memberikan pidato
tentang kebesaran dan ketinggian Islam. Seingat mereka Kamalud Din tinggal di
Lahore, karena itu mereka berusaha
mencari alamat dari Islamic College dekat
kerumah-nya. Karena Khwaja Kamalud Din
sedang berada di London, ketiga pemuda ini diterima oleh Assistennya seorang
Hafidz Qur’an bernama Maulana Abdussatar, yang ternyata diam2 adalah pengikut
Ahmadiyah Qadian yang mencari nafkah sebagai korektor tulisan Muhammad Ali,
Ahmadiyah Lahore.
11) Walaupun dilarang oleh Pimpinan
Ahmadiyah Lahore, ketiga pelajar Sumatra ini memaksa untuk berangkat berziarah
ke tempat suci Qadian tempat kelahiran Imam Mahdi, Mirza Ghulam Ahmad Pendiri Jema’at Ahmadiyah; dan ternyata mereka langsung diterima untuk
belajar di Madrasah Ahmadiyah Qadian, dengan belajar bahasa Urdu selama 6 bulan
terlebih dahulu.
12) Setelah beberapa saat lamanya
belajar di Qadian, ketiga pelajar ini tampaknya sangat menikmati pengalaman
belajarnya; mereka merasa betah dan mendapatkan kemantapan dalam hati. Lalu
ketiganya mulai berkirim surat kepada teman-temannya di Sumatra. Ternyata, tidak
disangka banyak teman2nya yang tertarik dan menyusul ke Qadian. Di antara yang
berangkat ke Qadian adalah H. Mahmud (Padang Panjang), Muhammad Nur (Lubuk
Basung), Abdul Qayyum (Tapaktuan) Abdul Wahid juga, Muhammad Samin (Tapaktuan),
Samsuddin (Rengat), Samsuddin Rao-rao (Batusangkar), Muhammad Jusyak (Sampur),
Muhammad Ilyas (Padang Panjang), Hajiudin (Rengat), Abdul Aziz Shareef
(Padang), Muhammad Idris dan Abdul Samik (Padang Panjang).
Kisah lebih rinci ada di “SEJARAH MASUKNYA
AHMADIYAH DI INDONESIA” (Pipip Sumantri, Kawalu –
Tasikmalaya; Jum’at 14-2-2014; ketika
Gunung Kelud di Jatim meletus; yang
abunya sampai juga di Tasik jam 9 pagi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar