Bismillahirahmanirrahiim
SEJARAH
MASUKNYA AHMADIYAH di INDONESIA (Nusantara)
Menyambut
Seratus Tahun Ahmadiyah di Indonesia (1925 – 2025)
Pada tahun 1922 banyak
murid-murid lulusan “Sumatra Thawalib” Padang Panjang pimpinan Dr. H. Karim Amarullah (Ayahanda Buya Hamka) yang berangkat ke luar
negeri untuk melanjutkan pelajaran agama Islam di Perguruan Tinggi “Al-Azhar”
di Kairo, Mesir. Tetapi dua orang
lulusan Sumatra Thawalib, yakni Abubakar
Ayyub dan Ahmad Nuruddin mengikuti
nasihat guru mereka, Zainuddin El Yunusi
Labai dan Syeikh Ibrahim Parabek,
yang mengatakan bahwa di Hindustan
banyak perguruan yang tinggi mutunya, lagipula ke Mesir sudah banyak
orang yang pergi kesana.
Dari
Padang mereka berangkat menuju Medan dan dari Pelabuhan Belawan menyeberang
menuju Penang-Malaysia. Dari Penang belayar selama 6 hari – 6 malam tiba di
Calcutta, India. Tujuan pertama mereka adalah Lucknow. Karena tidak tahu tempat
ulama atau madrasah, oleh kusir delman mereka dibawa ke sebuah Madrasah di
Faranggi Mahal, kemudian mereka tinggal dan belajar di Madrasah Nizhamiyah “Darun
Nadwah”; sementara itu teman mereka Zaini
Dahlan menyusul sehingga mereka menjadi bertiga. Karena merasa kurang puas,
mereka tinggal di sana hanya selama 3 bulan dan mencari tempat lainnya. Ketika di Sumatra mereka pernah membaca dari
“Cahaya Sumatra” tentang Khawaja Kamalud Din yang pernah menjadi
Imam Mesjid di London (Woking) datang ke Jawa memberikan pidato tentang
kebesaran dan ketinggian Islam. Seingat mereka Kamalud Din tinggal di Lahore, karena itu mereka berusaha mencari
alamat dari Islamic College dekat
kerumah-nya. Karena Khwaja Kamalud Din
sedang berada di London (1),
ketiga pemuda ini diterima oleh Assistennya seorang Hafidz Qur’an bernama Maulana
Abdussatar. Maulana memberikan pelajaran
kepada mereka dengan tidak menggunakan kitab2 tafsir yang conventional seperti
yang biasa mereka temukan, tetapi memberikan dalil-dalil dan agumentasi yang
membuat pemuda2 ini terkesan dan membangkitkan rasa kekaguman mereka.
Ketika
sampai pada ayat tentang Nabi Isa a.s., Mln. Abdussatar bertanya bagaimana
pendapat guru2 mereka dan para ulama di Indonesia, yang mereka jawab bahwa ada
dua pendapat yaitu 1) Nabi Isa masih hidup dengan badan kasarnya di langit,
seperti pendapat H.A. Karim Amarullah,
tetapi kemudian berubah, seperti tercntum dalam “Al-Qaulus Shahih” yang
menyatakan bahwa Nabi Isa telah wafat. Dan pendapat 2) Nabi Isa mungkin
diangkat ke langit, dan mungkin juga pergi entah kemana dan meninggal entah dimana; ini pendapat
Zainuddin Labai Al-Yunusi.
Abdussatar
menerangkan bahwa sesungguhnya ada 3 pendapat, yaitu; 1) Orang Yahudi menganggap
Isa ibnu Maryam, Jesus adalah seorang manusia biasa; 2) orang Muslim
mengganggap Jesus adalah seorang Nabi
Utusan Tuhan dan 3) Orang Kristiani mengganggap bahwa Jesus
adalah Tuhan. Mln. Abdussatar selanjutnya Maulana menjelaskan bahwa (1)
Nabi Isa telah wafat seperti semua Nabi-nabi lainnya dan (2) Keadaan dunia
sekarang sudah rusak dan membutuhkan seorang dokter rohani. Dokter rohani itu
ialah Imam Mahdi yang dijanjikan.
Pemuda2
Indonesia itu tidak menerima begitu saja pendapat Maulana Abdussatar tersebut,
mereka mengirim surat kepada ulama-ulama di Sumatra meminta fatwa dan
keterangan untuk menangkis pendapat Maulana tersebut dan ditekankan minta
pandangannya agar jangan sampai terkecoh.
Tetapi surat2 mereka tidak berbalas, kecuali dari Syeikh Ibrahim Parabek
yang menyatakan bahwa Nabi Isa telah wafat. Oleh karena mereka tidak mempunyai senjata lagi
untuk menangkis Maulana akhinya mereka bertekuk lutut dan membenarkan faham
tersebut.
Ketiga
pemuda ini yaitu Abubakar Ayyub, Ahmad
Nuruddin dan Zaini Dahlan
akhirnya bai’at bersama-sama di tangan Maulana
Muhammad Ali, pemimpin Ahmadiyah Lahore (2) (3) (4) (6) pada bulan Juli tahun
1923.
Pada
suatu ketika timbul keinginan mereka untuk berziarah ke makam dan tempat
kelahiran Hazrat Imam Mahdi di Qadian.
Abdussatar menasihatkan mereka agar minta izin terlebih dahulu kepada
Sekretaris Jemaat Ahmadiyah Lahore
bernama Babu Manshuur. Ketika mereka menyatakan keinginannya, berubahlah
air muka Sekretaris yang biasanya berseri-seri itu menjadi kecut. Ia mengatakan
tidak baik kalau mereka pergi ke Qadian.
Sikap Sekretaris itu menjadi tanda
tanya; mengapa tidak baik untuk mengunjungi tempat kelahiran Imam Mahdi? Apa
salahnya berziarah ke tempat yang dianggap suci?
Hal ini
disampaikan kepada gurunya, Maulana Abdussatar, dengan desakan supaya mereka
diizinkan pergi; karena desakan itu Abdussatar
tidak dapat menyembunyikan lagi apa yang harus dirahasiakannya. Ia
berkata: “Kalau kalian berhasrat betul-betul ingin belajar, tinggalkanlah Lahore
dan pergilah ke Qadian, sebab di sanalah terdapat Pusat Ahmadiyah.” Diakuinya bahwa ia hanya mencari nafkah
bekerja pada Ahmadiyah Lahore sebagai korektor karangan2 Mln. Muhammad Ali. Ia
sendiri bai’at di tangan Hazrat Khalifatul Masih II.
Sementara
itu datanglah dari Qadian 10 orang pelajar Ahmadi yang akan ikut menempuh ujian
gelar H.A. (Honour in Arabic) di Lahore. Mereka telah mendengar kedatangan
Abubakar Ayyub dan kawan-kawan ke Lahore. Mereka datang menemui ketiga pemuda
dari Sumatra itu di asramanya dan terjadi diskusi dan tanya-jawab antara lain
mengnai fasilitas pendidikan di Qadian. Pemuda2 Sumatra ini semakin tertarik
dan tidak sabar lagi untuk berangkat. Maka mereka meminta izin kepada pemimpin2
Ahmadiyah Lahore; umumnya mereka merasa sedih. Ketika mereka meminta izin
kepada Dr. Mohammad Hussein, ia tampak marah dan melarang mereka pergi ke
Qadian. Akan tetapi pemuda2 kita tetap pada pendiriannya, dengan alasan ingin
belajar secara teratur. Diterangkan juga bahwa mereka tidak terikat dan bebas
memilih tempat belajar.
Pada
bulan Oktober 1923 berangkatlah mereka menuju Qadian. Dari Lahore naik
kereta-api sampai Batala yang jaraknya 70 mil;
dan dari Batala ke Qadian mereka harus menempuh 11 mil lagi. Hujan
menyebabkan jalan sangat becek, namun
ada suatu keanehan yang mereka rasakan; ada perasaan senang dan tenteram
di dalam hati mereka. Yang mula-mula mereka lihat dari kejauhan adalah sebuah
menara yang menjulang di atas sebuah bukit kecil, itulah yang dinamakan “Minaratul Masih”.
Kedatangan
mereka diterima baik oleh keluarga Khalifatul Masih II dan keesokan harinya
bisa bertemu langsung dengan Hazrat Khalifatul Masih II dan diberi izin untuk
belajar di Madrasah Ahmadiyah, dengan harus terlebih dahulu belajar Bahasa Urdu
selama 6 bulan, sebelum benar-benar memasuki Madrasah Ahmadiyah.
Setelah
beberapa saat lamanya belajar di Qadian, ketiga pelajar ini tampaknya sangat
menikmati pengalaman belajarnya; mereka merasa betah dan mendapatkan kemantapan
dalam hati. Lalu ketiganya mulai berkirim surat kepada teman-temannya di
Sumatra. Ternyata, tidak disangka banyak teman2nya yang tertarik dan menyusul
ke Qadian. Di antara yang berangkat ke Qadian adalah H. Mahmud (Padang
Panjang), Muhammad Nur (Lubuk Basung), Abdul Qayyum (Tapaktuan) dalam
potret ada pelajar Abdul Wahid duduk
bersimpuh di depan Hazrat Khalifatul Masih dan M. Rahmat Ali, Muhammad Samin
(Tapaktuan), Samsuddin (Rengat), Samsuddin Rao-rao (Batusangkar), Muhammad
Jusyak (Sampur), Muhammad Ilyas (Padang Panjang), Hajiudin (Rengat), Abdul Aziz
Shareef (Padang), Muhammad Idris dan Abdul Samik (Padang Panjang).
Singkat
cerita, pada bulan Juli 1924 di masa studynya orang2 Sumatra di Qadian itu,
Hazrat Khalifatul Masih II Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad mengadakan lawatan ke
London, tepatnya di Wembley, beliau menghadiri konperensi keagamaan dan
membawakan makalah “Ahmadiyyat or The True
Islam”. Khalifah kembali ke Qadian
pada tanggal 24 Nopember 1924, seusai lawatannya di Inggris dan ke beberapa Negara lainnya di Eropa Barat.
Seperti
kebiasaan di Qadian, para pelajar Sumatra mengundang Hazrat Khalifah dalam
suatu jamuan teh sambil mendengarkan oleh-oleh muhibahnya. Para pelajar kita dengan permohonan dalam
pidato seorang pelajar dengan suara yang amat memelas mengharapkan bahwa Huzur
selain mengadakan kunjungan ke Barat, tetapi ke Timur juga. Ini direspon oleh
Huzur dalam Bahasa Arab: “Bergembiralah dan janganlah berputus asa
seperti mereka yang tidak beriman berputus asa. Sebagaimana wahyu Allah Taala kepada Imam Mahdi a.s., Isa yang dijanjikan
adalah personifikasi dari Dzulkarnain, saya adalah Khalifah dari Dzulkarnain. Sebagaimana
Allah Taala telah memberi kekuatan rohani untuk menaklukkan Timur dan Barat,
maka sebagai Khalifah berkewajiban untuk mewujudkannya. Yakinilah, dengan izin
Allah Taala akan mengirimkan muballigh ke Negara Tuan-tuan”.
Sebagai
realisasi dari pidato Huzur maka tidak lama kemudian diaturlah rencana
pengiriman seorang muballigh muda –kelahiran tahun 1893- yang potensial bernama
Rahmat Ali ke Sumatra. Rahmat Ali lulusan pertama Madrasah Ahmadiyah Qadian
tahun 1917. Ia menjadi guru Bahasa Arab dan guru Agama di Ta’limul Islam High
School di Qadian dan pada tahun 1924 dipindahkan ke Nizarat Da’wah Tabligh. Sebelum berangkat, selama sebulan Rahmat Ali
belajar bahasa Melayu dari buku “Empat Serangkai” yang dipesan oleh pelajar2
dari Sumatra.
Pada
tanggal 15 Agustus 1925 berlangsung upacara pelepasan mujahid pertama untuk
“Indonesia”, Maulvi Rahmat Ali H.A. O.T.
dengan wejangan yang tak ternilai harganya dari Imam Jema’at sebagai
pegangan bagi Maulvi Rahmat Ali khususnya dan juga untuk mujahid-mujahid lainnya Intinya
pidato wejangan itu adalah antara lain sebagai berikut:
1.
Jangan memakai cara-cara
berdebat.
2.
Berbicaralah dengan ulama-ulama
yang memiliki ilmu.
3.
Bicaralah dengan ulama-ulama yang
memusuhi secara ber-empat mata.
4.
Bertablighlah kepada pemuka-pemuka
masyarakat.
5.
Bertablighlah secara bertahap dan
teratur. Pertama kepada golongan orang baik-baik dan kemudian kepada orang yang
kurang / tidak baik.
6.
Setia dan taatlah pada
kebijaksanaan pemerintah.
7.
Jangan mengambil muka kepada
pemerintah, tetapi mintalah apa yang menjadi hak kamu.
8.
Dimana telah ada orang-orang
Ahmadi bentuklah badan pengurus.
9.
Sibuklah berdoa setiap waktu.
10. Kirimlah laporan secara teratur kepada ku
(Khalifatul Masih) supaya situasi dapat dipantau.
11. Ciptakanlah
kebiasaan bertabligh pada orang-orang Ahmadi baru dan jadikanlah mereka contoh
yang baik supaya orang-orang mengerti hakikat Ahmadiyah.
12. Ciptakanlah
perdamaian untuk keamanan umum dan pemerintah.
13. Jauhilah
politik supaya dapat berhubungan dengan masyarakat secara bebas.
14. Bertablighlah
dengan surat-menyurat. Tentukan tempat pertablighan.
15. Jangan
lalai dalam menjalankan tugas.
16. Jagalah
kewibawaan dan kehormatan diri sendiri dengan keagungan iman. Orang-orang akan
masuk Ahmadiyah setelah melihat contoh yang baik.
17. Majukan
Jemaat dengan penuh keikhlasan.
Pada
tanggal 17 Agustus 1925 Maulana Rahmat Ali dilepas oleh Hazrat Khalifatul Masih
dan handai taulan dan semua para pelajar Sumatra. Berangkat mulai dari Stasiun Kereta api
Qadian yang baru selesai dibangun menuju Batala, kemudian dengan kereta-api ekspres
menuju Calcutta, untuk selanjutnya menumpang kapal laut menuju Penang,
Malaysia. Ketika menyeberang ke Sabang, Sumatra sempat ditahan oleh polisi
untuk selama 15 hari karena banyak membaw buku-buku dalam Bahasa Arab dan Urdu,
yang dicurigai bermuatan doktrin komunis. Setelah selesai diperiksa dan
dibebaskan, Rahmat Ali melanjutkan perjalanan ke Tapaktuan Aceh Barat dan tiba di sana pada tanggal 2 Oktober 1925. Demikianlah seorang mujahid muda Islam Ahmadiyah memulai perjalanan pengembaraannya seorang
diri di kepulauan Nusantara, yang
sama sekali ia tidak kenal, meninggalkan istri, anak yang masih kecil, orang
tuanya yang sudah renta dan meninggalkan sanak saudara.
Pendiri Jemaat Ahmadiyah berucap:
“Aku datang selaku penebur benih,
dan telah kusemaikan benih itu. Benih itu sekarang akan berkembang dan akan
membesar, dan tiada seorang pun akan dapat mencegahnya.”
Keberadaan Ahmadiyah di dunia ini
sudah lewat satu abad, bahkan pada tahun 2014 ini sudah 125 tahun, satu
jangka waktu yang cukup menjadi tolok ukur untuk menguji ke-absahannya menjadi
suatu kekuatan yang mengukir sejarah, dan ternyata bisa berhasil menanggulangi
tantangan zaman melalui evolusi dramatis dengan motto “Love
for All and Hatred for None”.
Catatan kaki:
1) Khwaja Kamaluddin (Punjab India 1870 – December 28, 1932) seorang Ahli Hukum keluaran Forman
Christian College,
Lahore. Pada tahun 1893 ia masuk
Ahmadiyah dan menjadi teman dekat Mirza Ghulam
Ahmad Pendiri Jemaat
Ahmadiyah. Sebelum
masuk Jemaat ia tadinya ingin dibaptis masuk Kristiani tetapi ia dapat
diyakinkan oleh Mirza Ghulam Ahmad untuk tidak masuk Kristiani. Di Eropa Barat
ada sebuah Mesjid Shah Jahan di Woking,
30 Mil di luar kota London dibangun pada tahun 1889 oleh Shah Jahan Begum dari
Bhopal, India. Mesjid ini ditinggalkan dan terkunci antara tahun 1900 – 1912. Khwaja Kamal-ud-Din, yang tiba di London pada tahun 1913 di-instruksikan oleh
Maulvi Nuruddin Khalifatul Masih I untuk meng-akusisi mesjid Woking tsb. dan
mendirikan Woking Muslim Mission.
2)
Maulana Muhammad Ali dan Khwaja Kamaluddin sebagai ulama Ahmadiyah yang
pintar, tersohor pernah tinggal dan berkhidmat di Qadian; beliau pun bai’at
kepada Khalifatul Masih I Hazrat Maulana Al-Haj Nuruddin. Namun sehubungan wafatnya
Maulana Nuruddin (13 Maret 1914), kemudian dengan terpilihnya Hazrat Mirza
Basyiruddin Mahmud Ahmad – umur 25 tahun, lahir 12 Januari 1889 - putra Pendiri Jemaat Ahmadiyah Mirza Ghulam
Ahmad a.s. sebagai Khalifatul Masih II, mereka merasa kecewa dimana Muhammad
Ali, Khawaja Kamaluddin dan kelompoknya a.l. Dr. Jacub Baig dan Dr. Mohammad
Hussein memilih memisahkan diri dari Nizam Khilafat Jemaat Ahmadiyah Qadian dan
pindah ke Lahore dengan mendirikan organisasi non-Khilafat yang dinamakan “Ahmadiyya
Anjuman Isya’ati Islam” Lahore atau yang dikenal dengan “Ahmadiyah Lahore”.
3)
Ahmadiyah
Lahore, karena organisasinya hanya merupakan
“Anjuman” yang keluar atau memisahkan diri dari “Nizam Khilafat”, maka mereka perlu
mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad
hanyalah seorang Mujjadid atau Pembaharu
atau Reformer. Barangkali dengan beritikad
demikian, merek pikir, mereka bisa lebih
mudah beradaptasi dengan mayoritas Islam Mainstream, dan tidak terikat dengan
aturan Jemaat atau Nizam Khilafat.
4)
Perselisihan dan perpecahan dalam
agama selalu ada. Agama suci Islam ketika baru saja Nabi Muhammad Rasulullah
saw. wafat terjadi perselisihan besar di antara kaum Syi’ah Rafidhah atau “yang meninggalkan” dan mazhab “Ahli Sunnah wal Jama’ah” atau kaum “Sunni”; perselisihan dan bahkan sampai
peperangan terus berlangsung sampai sekarang, terutama di Iraq, Iran,
Afghanistan dan Pakistan. Perpecahan dalam Islam ni tidak berarti bahwa agama
Islam dan Rasulullah saw. itu na’udzubillah min dzalik tidak benar, dan dipakai
alasan untuk menolak kebenaran Nabi Muhammad saw. Perselisihan dan/ atau
perpecahan hanyalah merupakan ujian atau
trial bagi para pemgikutnya, untuk memilih mazhab atau partai mana yang
benar-benar mengikuti keinginan dan wasiyat dari Nabi yang Utusan Allah tersebut.
Perselisihan terjadi juga dalam pengikut Nabi Isa a.s. antara Katolik Roma,
Katolik Yunani, Protestan, Protestan lawan Katolik terutama di Irlandia Utara
dan Scotlandia, ada juga Sekte Unitarian (Ketuhanan yang Esa) dll.
5)
Perbandingan persentase pengikut Syi’ah
dan Sunni di dunia saat ini adalah 10% berbanding 90%. Pada hakikatnya, Jemaat
Ahmadiyah yang memiliki seorang Imam
dan/atau seorang Khalifah dalam Islam untuk seluruh dunia serta mengamalkan secara konsekwen 100% Sunnah
(Tradisi dan Hadits) Nabi saw. dan mengamalkan Ajaran Alqur’an-ul Karim, adalah
secara hakiki merupakan Mazhab “Ahli
Sunnah wal Jama’ah”, yang tidak terdapat pada golongan Islam manapun Sekte Islam
lainnya, yang sekarang menamakan dirinya sebagai “Islam Mainstream” itu. Jemaat Ahmadiyah pada tahun 2013 sudah ada di
204 negara di dunia yang setiap saat senantiasa terus bertambah.
6)
Tahun 1924 dua pendakwah Ahmadiyah Lahore Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad
Berkat Rahmatullah,
datang ke Yogyakarta. Minhadjurrahman Djojosoegito, seorang sekretaris di organisasi Muhammadiyah, mengundang Mirza dan Maulana untuk
berpidato dalam Muktamar ke-13 Muhammadiyah, dan menyebut Ahmadiyah sebagai
"Organisasi Saudara Muhammadiyah". Djojosoegito dikeluarkan
dari Muhammadyah dan mendirikan “Gerakan Ahmadiyah Lahore”; yang bergerak di
bidang pendidikan dengan mendirikan Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia
(PIRI) di Yogja dan menerbitkan terjemahan buku-buku Ahmadiyah ke dalam Bahasa
Indonesia. Sebelumnya tahun 1960 Djojosoegito pun sudah menterjemahkan Alqur’an
Ahmadiyah ke dalam Bahasa Belanda, yang banyak dipakai sebagai rujukan oleh
orang2 tua dulu di sini yang biasa ngomong Walanda.
7)
Pada
tahun 1935 Pak Nanie Sudarma sebagai wartawan “Sipatahunan”, ketika akan keluar
pintu rumah koppel ditanya oleh tetangga sebelah mau kemana dan dijawab akan
meliput Muktamar Ahmadiyah (Lahore ) di
Naripan Bandung, tetangga tadi mengatakan bahwa dalam menghadapi orang Ahmadiyah
sih harus pakai bedog / golok. Perkataan tetangganya itu membuat Nanie Sudarma penasaran
dan terheran-heran. Selanjutnya beliau mendapat kiriman satu peti buku2
Ahmadiyah (Lahore) dan dibaca siang malam sehingga bai’at masuk Ahmadiyah
Lahore. Ketika Nanie Sudarma (Pemimpin Majalah Sunda “WARGA” Bogor) kemudian
menjadi mertua penulis di Bogor (1961) Sudarma sudah menjadi pengikut Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (Qadian) yang pada tahun 1940-an sering berhubungan dengan
Mln. Rahmat Ali HA OT dan Kartaatmaja di Petojo Udik Jakarta dan Bahrum
Rangkuti juga.
8)
Daftar
rujukan: “Suvenir Peringatan Seabad
Gerhana Bulan & Gerhana Matahari Ramadhan 1894-1994” – Bukti Tanda Samawi di
Langit tentang kedatangan Imam Mahdi sesuai Hadits Nabi saw. , “Souvenir A
Glimpse of Ahmadiyya in Indonesia” – 1995, “Syarif Ahmad Saitama Lubis DARI
AHMADIYAH UNTUK BANGSA” – 2006. “KEBENARAN AL-MASIH AKHIR ZAMAN” M. Rahmat Ali
H.A.O.T. 1947”, “Google - Wikipedia”
PPSi
/ Kawalu, Tasikmalaya – Jum’at 14 Februari 2014.
2 komentar:
Ahmadiyah memang banyak dipertanyakan
Keberadaan Ahmadiyah di Indonesia masih menjadi perdebatan, komentar balik ya ke blog saya www.goocap.com
Posting Komentar