Rabu, 09 Januari 2008
Ahmadiyah Sikap Islam jelas. ''Laa ikrooha fiddin,'' artinya tidak ada paksaan dalam urusan agama; dan ''Lakum diinukum waliyadin,'' atau bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Maka, bagi Majelis Ulama Indonesia (MUI), kelompok-kelompok seperti Ahmadiyah atau Al-Qiyadah atau apa pun berhak hidup di dunia ini, tapi mereka harus menanam di ladang sendiri, bukan dalam Islam.
Sikap MUI semestinya adalah pencerahan terhadap kelompok-kelompok yang keliru mencemaskan kebangkitan Islam dan bersikap agresif. Bahkan, kalau kita meminjam diksi favorit mereka, MUI justru sedang bersikap sesuai dengan asas kebebasan dan amat menghargai hak asasi manusia. MUI tidak sedang menghukum Ahmadiyah atau organisasi sejenis.
Lembaga ini beranggotakan para ahli agama yang berasal dari berbagai kelompok pemikiran dan ormas Islam di Tanah Air. Dengan keanekaragaman sumber daya itu, MUI sedang menjalankan tugas, melalui kesepakatan para ulama, untuk membimbing kaum Muslim di negeri ini agar tetap menganut ajaran Islam secara benar.
Fatwa MUI tidak meminta masyarakat untuk menyerang pondok Ahmadiyah atau menganiaya para anggotanya. MUI hanya berusaha menjelaskan kepada masyarakat bahwa keyakinan Ahmadiyah berada di luar Islam karena mereka meyakini adanya nabi baru setelah Nabi Muhammad SAW bernama Mirza Ghulam Ahmad. Dan, ini bukan sikap baru. Pakistan, asal Ahmadiyah, telah mengeluarkan fatwa serupa. Rabithah Alam Islami punya fatwa senada pada 1981.
Pemerintahan yang peragu telah membiarkan situasi saat ini menjadi tidak terkendali. Kejaksaan sebagai ketua Bakorpakem telah menunda-nunda masalah dan lebih suka menyalahkan MUI. Padahal, fatwa soal Ahmadiyah adalah produk lama yang di masa lalu tidak menimbulkan penyerangan (dan, patut dicatat, sampai saat inipun, tidak jelas siapa pelaku kekerasan dalam bentrokan di Kuningan akhir tahun lalu).
Jadi, mari kita dudukkan persoalan pada posisi sesungguhnya. Tidak ada serangan MUI terhadap kelompok minoritas sebagaimana digembar-gemborkan kelompok-kelompok tertentu. Justru yang terjadi kini adalah upaya delegitimasi oleh kelompok-kelompok itu kepada MUI. Perbedaan pendapat membuat mereka begitu ingin menghapuskan MUI dari ranah ''nasihat-menasihat i dalam kebenaran dan kesabaran'' di kalangan umat Islam.
Telah muncul kecemasan tertentu terhadap peningkatan kesalehan umat Islam Indonesia. Ini jelas hal yang ahistoris. Sejarah umat Islam di negeri ini justru berisikan kisah-kisah tentang toleransi. Persis dengan ajaran ''laa ikrooha fiddin'' dan ''lakum diinukum waliyadin''.
Dengan demikian, terasa berlebihan kalau sekelompok orang dari luar Islam turut serta dalam aksi-aksi menentang keyakinan umat Islam. Ini adalah tindakan menabur angin, namun kita yakin umat Islam tidak akan terpancing. Umat Islam akan memperkuat diri dari dalam dan tidak akan menari di atas genderang orang lain. Kita pun saling menjaga, agar tak ada lagi tindak kekerasan terhadap penganut Ahmadiyah.
__._,_.___
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar