NABI
/ RASUL - NIKMAT ALLAH
TERBESAR BAGI UMAT MANUSIA
MENGINGKARI KENABIAN = MENGINGKARI NIKMAT ALLAH
TERBESAR
Dalam
QS. Al-Baqarah 2: 47 Allah SWT berfirman kepada Bani Israil: Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan
kepada kamu dan (ingatlah) bahwa Aku
telah melebihkan (memuliakan) kamu di
atas seluruh alam (segala umat). Peringatan
Allah SWT ini diulangi lagi dalam ayat 2:122, dan pada ayat sebelumnya pun 2:40
sudah diingatkan tentang nikmat dari Allah ini.
Bayangkan
saja betapa kelebihannya umat Bani Israil ini dibandingkan dengan umat-umat
lainnya, sebab dari 31 Nabi-nabi atau
Rasul Utusan Allah SWT dan terdapat dalam Alquran, itu hanya beberapa Nabi saja yang tidak
berkaitan secara langsung dengan Bani Israil, yakni yang mulai dari Ismail a.s. dan keurunannya. Inilah
rinciannya dari semua Nabi-nabi Allah tersebut
(alaihis salaam) yang hampir semuanya berkaitan langsung dengan Bani Israil, kecuali yamg NAMA-NAMANYA
pakai HURUP BESAR: 1 Adam, 2 Tsits, 3 Idris,
4 Nuh, 5 Hud, 6 Shalih, 7 Ibrahim, 8 Luth, 9 ISMAIL, 10 Ishaq 11 Ya’qub,
12 Yusuf, 13 Syu’aib, 14 Ayyub, 15 Zulkifli, 16 Musa, 17 Harun, 18 Luqman (QS
31:12), 19 Daud, 20 Sulaiman, 21 Ilyas, 22 Ilyaza, 23 Yunus, 24 Ezekiel / Al Kifl,
25 Daniel. 26 Uzair / Ezra (QS 9:29), 27
Zakaria, 28 Yahya, 29 Isa/ Jesus, 30 MUHAMMAD
SAW, dan 31 M G AHMAD (QS 61:6 & 62:3). Demikianlah dari 31 nama Nabi itu – kecuali 3 nabi
- semuanya diturunkan kepada Bani
Israil; di situlah kelebihannya nikmat
Allah kepada Bani Israil dibandingkan kepada umat / bangsa lainnya.
Tetapi, karena pembangkangan umat Bani Israil belakangan ini,
padahal sudah berkali-kali diingatkan oleh Tuhan Maha Kuasa, setelah
diturunkannya Nabi/ Rasul Allah pembawa agama Islam, maka nikmat Allah tersebut
beralih kepada ummatnya Nabi Muhammad saw., yakni orang Islam. Apalagi dalam sehari semalam orang Islam
diwajibkan minimum shalat 5X = 17 raka’at = 17X membaca Surah
al-Fatihah, termasuk doa:
“Ihdinash
shiraathal mustaqiim, shiraathal ladziina an’amta ‘alaihim … - Tunjukkanlah
kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka…”
Apakah jalan yang lurus itu? Apakah nikmat yang telah
dianugerahkan kepada mereka dan apakah kita juga dapat meraih nikmat-nikmat
tersebut seperti kaum-kaum yang terdahulu, seperti Bani Israil? Inilah jawaban Al-Qur’an
mengenai hal tersebut.
… walau annahum
fa’aluhuu maa yuu’azhununa bihii la kanaa khairal lahum wa asyadda tatsbitaa
……. Wa may yuthi’illaaha wa rasuula fa ulaa-ika ma’al ladziina an’amallaahu
‘alaihim minan nabiyyiina wash shiddiiqiinaa ….. dan sekiranya mereka
mengerjakan apa yang dinasihatkan kepada mereka, niscaya (hal itu) akan
lebih baik bagi mereka dan lebih meneguhkan. Dan, jika demikian tentu
akan Kami berikan kepada mereka ganjaran besar dari sisi Kami; Dan niscaya
akan Kami bimbing mereka ke jalan yang
lurus. Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul ini maka mereka ini termasuk di antara orang-orang yang kepada mereka
Allah memberikan nikmat, yakni: NABI-NABI,
shiddiq- shiddiq,
syahid-syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah
sahabat yang sejati. Inilah karunia dari Allah, dan memadailah Allah
sebagai Zat Yang Maha Mengetahui.“ (4:66-70)
Maka di zaman kita ini, inilah kelebihan Hz. Rasulullah
s.a.w. dibandingkan dengan nabi-nabi/rasul-rasul lainnya. Ayat ini sangat
terang benderang dan mudah dipahami. Sesungguhnya Allah Sendiri yang akan
memasukkan kita ke dalam golongan para Nabi,
shiddiq, syahid dan orang-orang
shaleh. Bagaimana mungkin pintu kenabian sama sekali tertutup bagi
umat Islam?
Penolakan terhadap
pintu kenabian, yaitu tidak akan ada lagi nabi dalam bentuk apa pun juga
dalam umat Muhammad, secara langsung
juga berarti penolakan terhadap kemungkinan umat Islam tidak dapat meraih
ketinggian martabat sebagai shiddiq,
syahid dan shaleh. Dengan kata lain, tidak ada lagi para shiddiq,
syahid dan orang-orang shaleh dalam umat Islam. Hadhrat Mirza
Ghulam Ahmad a.s. bersabda mengenai kecintaannya kepada junjungan beliau yaitu Hadhrat
Muhammad Rasulullah s.a.w. Khaataman Nabiyyiin sebagai berikut:
“Bagiku tidak mungkin meraih nikmat ini seandainya aku tidak
mengikuti jalan yang ditempuh majikanku, anutanku, kebanggaan para anbiya,
insan yang terbaik, Muhammad Musthafa s.a.w. Apa pun yang kuperoleh,
telah diperoleh Nabi Muhammad s.a.w.
karena mentaatinya. Aku mengetahui dari pengalaman pribadi dan berdasar ilmu
yang sempurna bahwa siapa pun tidak dapat mencapai kedekatan kepada Tuhan tanpa
mentaati nabi ini dan mustahil pula meraih makrifat yang sempurna. Sekarang aku
beritahukan pula bahwa sesudah orang mentaati Rasulullah s.a.w., dengan
sesungguh-sungguhnya dan sesempurna-sempurnanya, ia dianugerahi hati yang
cenderung kepada kebajikan, suatu hati yang sehat, yakni tidak ada kecintaan
kepada dunia dan mulai mendambakan kelezatan abadi dan lestari. Kemudian
sebagai gantinya, hatinya sekarang layak memperoleh kecintaan yang
semurni-murninya dan sempurna - kecintaan Ilahi. Semua nikmat ini
diperoleh sebagai warisan berkat
ketaatan kepada Rasulullah s.a.w.” (Ruhani Khazain, jld. 22; Haqiqatul
Wahyi, hlm. 24-25).
Perlu diingat dan boleh dibuktikan bahwa tidak
ada satu ayat pun dalam Alqur’an yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad s.a.w. adalah nabi terakhir
dan/ atau tidak ada nabi setelahnya, namun yang ada hanyalah gelar kata pujian khaatam.
Sebaliknya, di bawah ini diberikan beberapa dalil Al-Qur’an
mengenai adanya Nabi/ Rasul setelah Nabi Muhammad s.a.w. sebagai berikut:
44:5-6 (Ad Dukhaan) Amram min ‘indinaa inna kunnaa mursiliin
– Dengan perintah dari sisi Kami. Sesungguhnya, Kami selalu mengutus
Rasul-rasul.
Rahmatam
mir rabbika innahuu huwas sami’ul ‘aliim – sebagai rahmat dari Tuhan-mu.
Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.
Allah Ta'ala bersifat mursil (yang mengutus Rasul-rasul-Nya). Sifat Allah Ta'ala ini akan selalu dan terus bekerja
selama-lamanya. Sifat ini tidak terikat dengan tempat dan waktu. Jadi,
adanya kenabian setelah Nabi Muhammad s.a.w. adalah tidak mustahil dengan
mempertimbang-kan salah satu sifat Allah Ta'ala ini.
22:75 (Al Hajj)
Allaahu yashthafii minal malaa-ikati rusulaw wa minan naasi
innallaaha samii’um bashiir – Allah memilih dari antara Malaikat-malaikat,
Rasul-rasul dan dari antara manusia. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha
Melihat.
“Allah senantiasa
memilih rasul-rasul-Nya dari antara Malaikat- malaikat dan dari antara
manusia.” Perkataan yashthafii (memilih) dalam ayat
ini, menurut peraturan bahasa Arab adalah fi'il
mudhari, yaitu menunjukkan pekerjaan yang sedang atau akan dilakukan.
Jadi, Allah S.w.t. sedang atau akan
memilih rasul-rasul-Nya menurut keadaan zaman atau menurut keperluannya. Dengan
kata lain ayat ini tidak terikat
dengan tempat dan waktu.
3:179 (Aali ‘Imraan) Maa kaanallaahu li yadzaral mu’miniina
‘alaa maa antum ‘alaihi hattaa yamiizal khabiitsa minath thayyibi wa maa
kaanallaaha li yuthli’akum ‘alal ghaibi wa laakinnallaaha yajtabii
mir rusuulihii may yasyaa-u fa aaminuu billaahi wa rusulihii wa in tu’minuu wat
tattaquu fa lakum ajrun ‘azhiim - Allah
tidak mungkin membiarkan orang-orang mukmin di dalam keadaan kamu sekarang
sampai Dia memisahkan yang buruk dari yang baik. Dan Allah tidak akan memberitahukan
yang ghaib, tetapi Allah memilih di antara Rasul-rasul-Nya, siapa yang
Dia kehendaki. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Dan jika
kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu ganjaran yang besar.
Dalam ayat tersebut terdapat perkataan yadzara, yamiidza, yuthli'a, yajtabii. Bentuk
perkataan tersebut adalah fi'il
mudhari yang dipakai untuk zaman kini dan zaman yang akan datang. Jadi
maksud ayat ini adalah Allah S.w.t. akan (terus) mengirimkan utusan-utusan-Nya untuk
memisahkan yang baik dari yang buruk dan untuk memberitahukan tentang
kabar-kabar ghaib.
7:35 (Al A’raaf)
Yaa banii aadama immaa ya’tiyannakum rusulum minkum yaqush-
….. -
Wahai Bani Adam, jika datang kepadamu Rasul-rasul dari antaramu yang …..
Dalam ayat ini: “Wahai anak cucu Adam, jika datang
kepadamu Rasul-rasul dari antaramu ...”
Yang dimaksudkan anak cucu Adam adalah umat manusia. Baik
umat manusia terdahulu sebelum Nabi Muhammad s.a.w. dan umat manusia setelah
Nabi Muhammad s.a.w. tetap akan didatangi oleh Rasul-Rasul Allah dari antara
anak cucu Adam (umat manusia). Dengan kata lain ayat ini tidak terikat dengan
tempat dan waktu.
23:51 (Al Mu’minuun) Yaa
ayyuhar rusulu kuluu minath thayyibaati wa’ maluu shaalihaan innii bi maa
ta’maluuna ‘aliim – Hai Rasul-rasul, makanlah dari barang-barang yang baik dan
berbuatlah amal shaleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui …
Kata ar-rusulu,
berlaku juga bagi masa yang akan
datang. Artinya, setelah Rasulullah s.a.w. akan datang Rasul-rasul
lain yang diperintahkan untuk memakan makanan yang baik dan mengerjakan
amal-amal shaleh.
37:71-72 (Ash Shaaffaat) Wa laqad dhalla qabluhum aktsarul
awwaliin. Wa laqad arsalnaa fiihim
mundziriin - Dan sesungguhnya telah
sesat sebelum mereka banyak sekali kaum terdahulu. Dan Kami telah mengutus di
antara mereka Pemberi-pemberi ingat (Rasul-rasul).
Ayat ini menjelaskan apabila di dunia telah merajalela
kesesatan dan kemungkaran, maka Allah S.w.t. senantiasa mengirimkan
Utusan-utusan-Nya. Dan Allah tidak mendatangkan azab sebelum mengutus seorang
rasul (17:15) …. Wa maa kunnaa mu’adzdzibiina hattaa
nab’atsa rasuulaa - … Dan Kami tidak
akan mengazab sebelum Kami mengirimkan seorang Rasul.
6:124 Wa idzaa
ja’a a-at-hum aayatun qalaa lan nu’minua hattaa nu’taa mitsla maa uutiya
rusuulullaahi allaahu ‘alamu haitsu yaj’alu risaalatahuu sa yushiibul
ladziina ajramuu shaghaarun ‘indallaahi wa wa ‘adzaabun syadiidum bi maa kaanuu
yamkuruun - Dan apabila datang kepada
mereka suatu Tanda, berkata mereka, ‘Kami sekali-kali tidak akan beriman
sebelum kami diberi seperti apa yang telah diberikan kepada Rasul-rasul Allah.’ Allah Maha Mengetahui di mana Dia akan menempatkan
Risalat-Nya. Akan ditimpakan kehinaan kepada orang-orang yang berdosa di
sisi Allah, dan azab yang keras disebabkan mereka telah mengerjakan tipu-daya.
Ayat ini tidak terikat dengan tempat dan waktu. Ayat ini
menjelaskan bahwa hanya Allah Ta'ala yang lebih mengetahui di mana Dia
menempatkan tugas kerasulan. Hak prerogatif
Allah Ta’ala ini tidak
terikat dengan tempat dan waktu. Adanya pernyataan Allah Ta'ala ini
adalah karena manusia [suka] mengatakan: “Kami
sekali-kali tidak akan beriman sebelum kami diberi seperti apa
yang telah diberikan kepada rasul-rasul Allah.”
4:136 (An Nisaa’)
Yaa ayyuhal ladziina aamanuu aaminuu billaahi wa rusuulihii wal kitaabil
ladzii nazzala min qablu wa may yakfur billaahi wa malaa-ikatihii wa kutubihii
wa rusulihii wal yaumil aakhiri fa qad dhalla dhalaalam ba’iida – Hai
orang-orang yang beriman, berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan Kitab yang
telah diturunkan sebelumnya. Dan siapa yang ingkar kepada Allah dan
Malaikat-malaikat-Nya dan Kitab-kitab-Nya dan Rasul-rasul-Nya dan Hari
Kemudian, maka sesungguhnya sesatlah ia dengan kesesatan yang jauh.
Ini adalah ayat Rukun
Iman di dalam ajaran Islam. Salah satunya adalah beriman kepada
rasul-rasul-Nya. Perintah beriman kepada rasul-rasulNya ini tidak terikat
dengan tempat dan waktu. Perintah ini
berlaku untuk selama-lamanya bagi tiap umat manusia di setiap zaman.