Rabu, 05 Januari 2011

AHMADIYAH Kebangkitan kembali Islam (Kisah Hdr Ahmad)

HMADIYYAT THE RENAISSANCE OF ISLAM
AHMADIYYAH KEBANGKITAN KEMBALI ISLAM

Kisah Hadhrat Mirza Ghulam a.s.; Kesaksiannya sering diminta/dipercayai orang.

Ketika Masa Anak-anak:

Ayahnya, bernama Mirza Ghulam Murtadha; seorang yang kaya-raya, menguasai banyak Desa-desa di sekitar Qadian, seorang expert Physician; yang membangun Mesjid Aqsa di Qadian. Mirza Ghulam Murtadha meninggal tahun 1876 M pada umur 80 – 85 tahun ketika sedang membangun Mesjid (Mubarak) di tengah kota Qadian, dan sesuai permintaan wasiyatnya, beliau minta dikuburkan di satu sudut Mesjid ini seperti yang ditunjukkan oleh beliau, agar beliau selalu dapat mendengar Nama Allah di-Agungkan oleh orang-orang.

Ibunya Charagh Bibi (Lady of the Lamp) dari keluarga Moghul – Aima, Hoshiaspur, seorang wanita yang pemurah, baik hati, senang menjamu dan periang yang merupakan contoh seorang wanita yang shaleh. Beliau wafat pada tahun 1868, waktu itu Hdr. Mirza Gulam Ahmad sedang bekerja di Sialkot menuruti keinginan ayahandanya untuk bekerja di sebuah kantor District.

Mirza Ghulam Ahmad lahir kembar, pada hari Jum’at 13 Pebruari 1835 – 14 Syawal 1250 H; kakak kembar perempuannya meninggal beberapa hari kemudian (Menurut Ulama Hadhrat Muhyiddin ibn Arabi: Imam Mahdi akan dilahirkan kembar).
Kakak laki-laki Mirza Ghulam Qadir (lahir tahun 18.. wafat pada tahun 1883 M).

Ketika Hadhrat Ahmad berumur 6 atau 7 tahun, pendidikan dasarnya diberikan di rumah; di mana ayahandanya memanggil seorang guru bernama Fazal Ilahi yang mengajarinya Kitab Suci Alqur-aan dan beberapa buku Bahasa Persia. Pada umur sekitar 10 tahun seorang guru lainnya – bernama Maulvi Fazal Ahmad sahib – diminta untuk mengajarinya gramatika dan mata pelajaran bahasa-bahasa yang asalnya sama (cognate). Pada umur 17 -18 tahun beliau belajar kepada Maulvi Gul Ali Shah di Qadian yang mengajari beliau gramatika, logika dan filsafat mengikuti syllabus. Juga membaca buku-buku ayahandanya tentang obat-obatan, medicine.

Ketika masa Remaja

Sesuai kebiasaan di sana, Hadhrat Ahmad yang masih muda itu dinikahkan kepada saudari perempuan sepupu pertamanya yang bernama Hurmat Bibi dan memperoleh dua anak laki-laki: Mirza Sultan Ahmad dan Mirza Fazal Ahmad yang lahir masing-masing pada tahun 1853 dan 1855, jadi ketika Hadhrat Ahmad baru berumur 18 dan 20 tahun; ketika itu beliau masih sedang belajar study kepada Tutor Maulvi Gul Ali Shah, di Qadian untuk sementara yang kemudian pindah ke Batala sehingga Hadhrat Ahmad pun ikut tinggal di Batala untuk bisa terus belajar dari tutornya. Selain mempelajari literature-literatur Islam, beliau juga membaca literature agama lainnya termasuk buku Kristiani. Hadhrat Ahmad merasa sangat kesal membaca tulisan polemic di mana agama Kritiani itu sangat menyudutkan Islam dan merendahkan Nabi Muhammad Rasulullah s.a.w. Teman belajarnya antara lain Lala Bhim Sen seorang Hindu Ahli Hukum. Olahraga kesukaan Hadhrat Ahmad adalah berenang, naik kuda dan berjalan cepat.

Pada tahun 1864 Hadhrat Ahmad tinggal di Sialkot, memenuhi keinginan ayahandanya untuk bekerja di bagian Administrasi sebuah kantor District di Sialkot. Walaupun sebenarnya beliau lebih senang mempelajari dan menekuni agama, tetapi demi untuk menyenangkan ayahandanya itu Hadhrat Ahmad melakukan pekerjaan duniawinya dengan rajin dan tekun. Beberapa teman dekatnya adalah Lala Bhim Sen yang dulu pernah belajar bersama, Maulvi Syed Mir Hasan Sahib seorang Ulama dan Guru dan Mir Hussamuddin Sahib seorang physician yang juga pernah diajari oleh Mirza Ghulam Ahmad. Di Sialkot ini Hadhrat Ahmad berkenalan dengan 2 – 3 orang Missionaris Kristiani, al. Revd. Mr Butler MA, seorang pendeta yang terpelajar, dengan siapa Hadhrat Ahmad mengadakan banyak bertukar pikiran mengenai agama. Hadhrat Ahmad disuruh ayahandanya berhenti bekerja di Sialkot untuk kembali ke Qadian ketika ibundanya, Charagh Bibi wafat pada tahun 1868, dan Hadhrat Ahmad pun pulang ke Qadian dengan segera.

Sekembalinya di Qadian pada tahun 1868 Hadhrat Ahmad disuruh mengurusi tanah kekayaan milik ayahandanya, walaupun ia tidak menyukai urusan pekerjaan duniawi ini, seperti halnya ketika bekerja di kantor Pemerintahan Inggris di Sialkot sebelumnya itu, ia masih tetap melaksanakannya dengan sebaik-baiknya demi untuk menyenangkan hati dan berbakti kepada ayahandanya, demi untuk meraih kebaikan spiritual dan bukannya untuk kepentingan duniawi, karena urusan penghidupannya sendiri sudah dicukupi dari penghasilan orang tuanya itu, yang memiliki banyah tanah ladang dan mendapat upah serta uang pensiun dari pekerjaannya pada Pemerintahan ikut dalam Angkatan Bersenjata Maharaja.

Kesan selama bekerja beberapa tahun di Sialkot itu Hadhrat Ahmad melihat bahwa sangat sedikit sekali orang yang mengamalkan kewajiban agamanya sebagaimana mestinya, sedikit saja dari mereka yang menghindarkan diri dari kegemaran mengejar barang haram. Hadhrat Ahmad mengatakan: Saya sungguh heran melihat cara kehidupan mereka itu. Saya melihat mereka itu senang mengumpulkan uang baik yang halal maupun yang haram juga, di mana dalam masa hidup yang singkat ini usaha mereka ditujukan pada kepentingan duniawi belaka. Saya menemukan hanya sedikit saja orang-orang yang merefleksikan ke-Agungan Ilahi, dengan menanamkan nilai-nilai ahlak yang tinggi, seperti kelembutan dan kesabaran, kemuliaan, kesucian dan kesederhanaan, kerendahan hati dan perasaan simpati terhadap sesama. Saya mendapatkan kebanyakan mereka itu terkena penyakit sombong, kelakuan yang tidak senonoh, melalaikan nilai-nilai keagamaan dan segala macam ahlak perilaku yang buruk. Hadhrat Ahmad mengatakan, adalah kebijakan Allah Maha Kuasa yang telah menakdirkan kepada saya untuk mendapatkan pengalaman dengan berbagai macam tipe orang-orang, di mana saya itu harus berteman dengan mereka yang dari bermacam-macam jenis orang ini. (Dalam Kitabul Barriyah).

Ketika saya kembali kepada ayah di Qadian, saya disibukkan dengan urusan pengelolaan tanah-tanah kami, tetapi sebagian terbesarnya dari waktu saya diabdikan pada mempelajari Kita Suci Alqur-aan dan Tafsir Alqur-aan serta Hadits-hadits Nabi Muhammad Rasulullah s.a.w. Seringkali saya membacakan bagian dari buku-buku tersebut kepada ayah saya untuk menghibur beliau yang sangat bersedih hati dihari tuanya yang tinggal sendirian itu dikarenakan tidak bisa mengambil kembali harta-harta warisan leluhurnya, walaupun sudah mengeluarkan banyak uang. Kami telah kehilangan desa-desa tersebut sejak lama sekali dan usaha untuk mendapatkannya kembali hanyalah merupakan gagasan yang yang sia-sia dan tidak masuk akal. Ayahnya mengatakan, kalau sejak dulu ia berjuang dan bekerja keras untuk keimanan dan agama seperti halnya ia telah berjuang dan berusaha keras untuk dunia, maka mestinya beliau sudah bisa menjadi seorang saint, seorang yang suci.Hari-hari terakhir dalam kehidupannya penuh dengan rasa sedih, karena merasa bahwa ia akan bertemu dengan Sang Khalik-nya itu dengan tangan kosong. Ia merasa menyesal karena telah menyia-nyiakan hidupnya untuk tujuan duniawi yang sia-sia belaka. Ayahnya berceritera satu kali bermimpi melihat YM Rasulullah saw., datang mengunjungi rumah ayah dengan keagungan laksana seorang Raja Maha Agung. Ayah saya datang untuk menyambut Nabi s.a.w. dan ketika sudah dekat teringat bahwa ia ingin memberikan sesuatu hadiah kepada Nabi s.a.w. serta merogoh sakunya dan menemukan sebuah coin satu rupee dan ketika diperhatikan ternyata hanyalah satu coin yang palsu. Melihat hal ini, mata ayah saya menjadi basah; dan mimpi ini di-interpretasikan bahwa kecintaan kepada Tuhan dan kecintaan kepada Rasulullah s.a.w. dengan ambisi keduniawian hanyalah merupakan sebuah coin palsu belaka.

Di masa tuanya itu ayah kesedihan ayah saya bertambah-tambah dan menjelang akhir hayatnya beliau berusaha membangun sebuah mesjid di tengah kota Qadian, di mana beliau memesankan agar ia dikuburkan di satu sudut mesjid seperti yang ia tunjukkan, agar beliau selalu bisa mendengar nama Allah di-Agungkan dengan harapan Tuhan akan mengampuni dosa-dosanya. Menjelang selesai pembangunan mesjid itu ayah saya meninggal karena penyakit disentri di mana beliau dikuburkan sesuai dengan yang diwasiatkan.

Setelah kembali ke Qadian, yang terjadi pada tahun 1869 ketika Maulvi Muhammad Husain pulang ke kampungnya di Batala sebagai seorang Maulvi setelah belajar Ilmu Theology di Delhi. Dia termasuk golongan Ahli Hadits yang pandangannya tidak disetujui oleh sebagian besar penduduknya di sana yang mengikuti Mazhab Hanafi. Dari kedua golongan tersebut mengirimkan utusannya ke Qadian yang meminta dengan sangat kepada Hadhrat Mira Ghulam Ahmad untuk datang ke Batala di mana akan diadakan diskusi dengan Maulvi Muhammad Hussain tentang perkara-perkara pokok perbedaan antara Ahli Hadits dengan orang-orang Hanafi. Hadhrat Ahmad menyetujuinya dan datang hadir di Mesjid di mana akan diadakan diskusi tersebut.

Maulvi Muhammad Husain membuka acara tersebut dengan menyatakan doktrin-doktrin yang ia percayai. Setelah mendengar pernyataan tersebut Hadhrat Ahmad menyatakan bahwa tidak ada hal yang perlu disangkal atau dibantah. Ini menimbulkan kegemparan; orang-orang dari Mazhab Hanafi merasa sangat kecewa, dan merasa dijatuhkan dan dihinakan. Jadi Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad telah membuat ketidaksenangan kepada kedua pihaknya, tetapi beliau acuh tak acuh saja atas reaksi dari kedua belah pihak itu.

Bagi Hadhrat Ahmad, kecintaannya akan kebenaran dan kejujuran tidaklah terpengaruh oleh persetujuan atau ketidak-setujuan pihak teman atau pihak lawannya. Beliau siap untuk menerima penghinaan dan tidak-dihormati itu dengan wajah yang selalu ceria demi kebenaran. Malam itu kepada beliau diberikan khabar gembira dan dihibur dengan melalui wahyu bahwa Tuhan merasa senang dengan sikap beliau yang diperlihatkan dalam diskusi siang tadi bahwa Dia akan memperoleh berkat-berkat yang besar sekali, sedemikian rupa bahwa Raja-raja akan mencari berkat dari baju beliau. Kepada beliau diperlihatkan pemandangan kasyaf ada beberapa orang Raja-raja, 6 atau 7 Raja yang datang dengan menunggang kuda.

Di masa remajanya itu Hadhrat Ahmad banyak kali memperoleh pemandangan kasyaf atau mimpi yang benar, yang semuanya menjadi sempurna dan hal ini disampaikan kepada teman-teman yang menyaksikan kebenarannya a.l. dua orang Hindu terkemuka Lala Sharmpat, Sekretaris Arya Samaj Qadian dan Lala Mulawa Mal. Satu kali Lala Mulawa Mal menderita penyakit TBC dan minta kepada Hadhrat Ahmad untuk kesembuhannya; yang beliau telah kerjakan dan dikatakan kepada Lala Mulawa Mal bahwa beliau memperoleh indikasi bahwa doanya diterima. Lala Mulawa Mal sembuh dari penyakitnya dan baru meninggal pada tahun 1951 pada umur 95 tahun.

Mulai dari tahun 1872 dan seterusnya, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad mulai muncul sebagai pahlawan pembela Islam, membela dan mempertahankan Islam dari serangan Kristiani, Arya Samajist dan Bramho Samajist dengan menyajikan keindahan dan ketinggian ajaran Islam di dalam segala aspek. Beliau melakukan hal ini dengan menulis artikel-artikel untuk diterbitkan antara lain dalam Surat-surat Kabar dan Majalah.

Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad diminta bersaksi dan selalu Membela Kebenaran.

Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad selalu memberikan kesaksian sesuai fakta apa adanya, sesuai kebenaran; seringkali kesaksiannya yang selalu benar itu di hadapan Pengadilan bahkan bisa merugikan ayahnya, atau keluarganya sendiri. Karena selalu berkata benar maka orang-orang selalu meminta untuk mengundang Hadhrat Ahmad untuk memberikan kesaksian, pihak mana atau siapa yang benar, di mana setelah itu mereka akan menerima keputusannya.

Setiap kali menghadiri sidang pengadilan untuk mewakili ayahnya, Mirza Ghulam Ahmad tidak ambil perduli akan apa hasilnya dari perkara tersebut; ia hanyalah selalu berpegang pada kebenaran di dalam semua keadaan itu, beliau selalu sangat hormat kepada setiap orang dan menjunjung tinggi tujuan prinsipnya yakni menegakkan dan memperkuat hubungan dengan Tuhan. Seringkali terjadi bahwa pihak lawan dalam perkara tersebut mengatakan kepada Majlis Pengadilan bahwa mereka akan mengikuti statement yang diberikan oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad mengenai fakta di dalam perselisihan tersebut. Maka, kemudian ia pun dipanggil untuk memberikan pernyataan di mana beliau akan menyajikan fakta-fakta yang ada, yang seringkali berakibat perkara tersebut diputuskan bertentangan dengan kepentingan dari ayahnya. Satu kali ayahnya menjadi upset dan memarahinya dengan keras serta mengusirnya keluar dari rumah. Mirza Ghulam Ahmad pun pergi dan diam di Batala untuk selama beberapa bulan, sampai ayahnya memanggilnya kembali untuk pulang ke Qadian. Semua kejadian ini beliau tuliskan.

Hadhrat Ahmad menulis: Anak saya Sultan Ahmad mengajukan perkara terhadap seorang Hindu yang digugat karena mendirikan bangunan di tanah milik kami dan meminta untuk dibongkar. Fakta-fakta dalam perkara tersebut adalah jika diuntungkan bagi pihak tergugat, yang berakibat penolakan atas gugatan tersebut maka perkara itu akan menyebabkan kerugian bagi Sultan Ahmad dan kami berdua. Pihak tergugat meminta saya sebagai saksi dalam perkara tersebut dan saya pun pergi ke Batala untuk memberikan kesaksian. Setibanya di sana Pengacaranya Sultan Ahmad menemui saya dan mengatakan nampaknya perkara ini akan segera disidangkan dan bertanya kepada saya statement apa yang akan saya berikan. Saya katakan kepadanya bahwa saya akan kemukakan apa fakta yang sebenarnya. Atas jawaban ini pengacara tersebut mengatakan kalau begitu Tuan tidak perlu masuk ke ruang Pengadilan. Ketika perkara tersebut disidangkan ia masuk ke dalam dan menarik kembali perkara tersebut (Ayena Kamalati Islam).

Mirza Ghulam Qadir, kakaknya Hadhrat Ahmad mengajukan perkara terhadap seorang Hindu penduduk Qadian untuk pembongkaran sebuah anjungan yang didirikan disamping rumah tergugat tetapi termasuk dalam tanah penggugat. Tergugat dalam pembelaannya mengatakan bahwa bangunan tersebut sudah lama berdiri di sana untuk membatasi tanah tergugat. Sebagai buktinya ia memanggil Hadhrat Ahmad yang membuat statement yang mendukung pembelaan tergugat, yang sebagai akibatnya maka gugatan kakaknya itu ditolak. Kakaknya menjadi sangat sedih dan kecewa dan memperlihatkan ketidak-senangan yang besar terhadap Hadhrat Ahmad, yang menjawab bahwa ia tidak akan bisa diharap untuk mengingkari sesuatu kebenaran.

Satu kali Hadhrat Ahmad harus pergi ke Batala dalam urusan pengadilan sipil mewakili ayahnya. Ketika sedang menunggu sidang, datang waktunya untuk Shalat Zhuhur. Beliau pergi ke belakang mencari tempat kosong di mana melaksanakan ibadah Shalat. Ketika saat itulah sidang perkara dimulai dan tergugat meminta kepada Hakim agar perkara itu ditolak karena yang bersangkutan tidak hadir (in default), tetapi Hakim menolak permintaannya. Setelah mempelajari berkas-berkasnya dan mengajukan beberapa pertanyaan kepada tergugat, maka diputuskanlah perkara tersebut. Ketika Hadhrat Ahmad datang kembali ke ruangan, seorang pegawai pengadilan mengatakan bahwa perkaranya sudah disidangkan selagi beliau tidak hadir dan sudah diputuskan. Beliau masuk ke ruangan pengadilan dengan membayangkan bahwa perkara tersebut telah ditolak (dismissed in default) serta berkata kepada Hakim bahwa ketika perkara itu dipanggil beliau sedang beribadah melakukan Shalat Zhuhur. Hakim tersenyum dan mengatakan kepada beliau bahwa ia telah memutuskan perkara tersebut. (Hayat-en-Nabi).

Pada tahun 1878 Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad mengirimkan naskah sebuah artikel untuk diterbitkan kepada Vakil Press, Amritsar dengan pos paket yang dibubuhi perangko sebagai sebuah paket. Beliau pun menaruh secarik surat di dalam pos paket tersebut yang dialamatkan kepada Manager Penerbitan, berisikan instruksi tentang artikel tersebut. Hal ini melanggar ketentuan undang-undang per-Pos-an dengan ancaman hukuman penjara atau denda. Penerbitan ini kepunyaan Ralya Ram, seorang Pengacara yang adalah seorang Kristiani yang fanatic. Ia mengadukan Hadhrat Ahmad kepada Otoritas Pos dan membuat pendakwaan terhadap Hadhrat Ahmad. Hadhrat Ahmad dipanggil ke Gurdaspur untuk menjawab dakwaan tersebut bersama seorang teman yang menjadi Pengacara untuk menjadi pembelanya.
Pengacaranya menasihatkan dengan sangat agar beliau mengingkarinya bahwa beliau telah menaruh surat itu di dalam pos paket tersebut. Hadhrat Ahmad dengan perasaan empati menolak nasihat dari Pengacaranya tersebut dan berkata bahwa beliau tidak bisa mengingkari apa yang benar biar sekecil apa pun. Pengacaranya mengatakan bahwa ia akan dijatuhkan bersalah, sehingga tidak ada gunanya bagi seorang Pengacara untuk membela beliau. Hadhrat Ahmad menyayangkan terhadap keputusan Pengacaranya yang meninggalkan beliau sendirian, tetapi apa boleh buat. Ketika perkara tersebut disidangkan, Hadhrat Ahmad tampil di depan Majlis Pengadilan tanpa Pengacara; jaksa yang mengadilinya seorang Superintendent Kantor Pos Bangsa Eropa; Majlis Hakimnya juga orang Eropa. Dalam menjawab pertanyaan Pengadilan, Hadhrat Ahmad mengatakan bahwa paket dan surat tersebut memang telah dikirimkan oleh beliau, tetapi tidak dimaksudkan untuk melakukan pelanggaran atau melakukan perbuatan yang merugikan Kantor Pos; karena isi dari surat tersebut adalah berkaitan dengan petunjuk penjelasan tentang naskah yang dimaksud di mana beliau berkeyakinan bahwa surat itu adalah merupakan bagian dari naskah dimaksud. Jaksa bersikukuh bahwa hal tersebut jelas merupakan pelanggaran terhadap undang-undang Pos, di mana pernyataan dari terdakwa telah membuktikan kesalahannya, yang untuk itu terdakwa harus dinyatakan bersalah dan harus dihukum. Hakim menolak permintaan dari Jaksa tersebut dan membebaskan Hadhrat Ahmad.

Jadi Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad tidak mau menggunakan dalih (subterfuge) dan merasa bahwa tidak ada pilihan lainnya kecuali menyatakan kebenaran. (Imam Mahdi - Hakaman ‘Adalan).

Prediksi Nyata Terjadi, Kesederhanaan Hadhrat Ahmad dan Wafatnya Ghulam Murtadha

Ketika sedang tinggal dan bekerja di Sialkot (sekitar tahun 1865) Hadhrat Ahmad tidur di lantai 2 rumah bersama beberapa orang teman lainnya; pada suatu malam Hadhrat Ahmad mendengar suara dari balok atap rumahnya yang gemeretak seolah-olah dipatuki oleh burung; ia berpikir balok atap itu akan patah sehingga atapnya bisa jatuh. Hadhrat Ahmad membangunkan teman-temannya yang sedang tidur supaya segera bangun dan lari ke luar bersama dia tetapi teman-temannya tetap saja terus tidur dan mengatakan barangkali hanya suara tikus yang sedang berjalan. Tidak lama kemudian suara gemeretak itu terdengar kembali dan Hadhrat Ahmad pun membangunkan teman-temannya, tetapi temannya tetap tidak menaruh perhatian. Hadhrat Ahmad mendengar kembali suara yang sama, kali ini ia memaksa dengan keras teman-temannya supaya lari keluar, dan Hadhrat Ahmad adalah yang terakhir keluar dari kamar tersebut. Baru saja beliau melangkah keluar, atap ruangan kamar itu ambruk jatuh ke bawah yang disusul dengan ambruknya lantai kamar yang merupakan atap dari lantai satu bangunan tersebut. Maka selamatlah semuanya dari kecelakaan yang bisa menimpa mereka itu.

Perintah Untuk Puasa
Menjelang di penghujung tahun 1975 Hadhrat Ahmad mendapat nasihat dari Malaikat yang datang dalam kasyaf mimpi supaya mengikuti contoh dari banyak Nabi-nabi, yaitu seyogianya beliau melakukan puasa selama beberapa lama. Mengikuti nasihat yang diterimanya itu Hadhrat Ahmad berniat untuk melakukan ibadah puasanya secara diam-diam, tidak menceriterakannya kepada siapa pun juga. Beliau mengatur pendistribusian makanan jatahnya yang biasa diterima kepada anak-anak miskin yang disuruhnya datang pada waktu-waktu tertentu setiap harinya. Beliau hanya makan satu kali yaitu setelahnya matahari terbenam; tetapi setelah latihan ini berjalan dua – tiga minggu beliau mengurangi jumlah yang dimakannya juga, dan di akhir latihan puasanya itu beliau hanya makan beberapa ounces roti saja selama dalam 24 jam itu. Beliau menceriterakan kisah dari disiplin puasanya itu, antara lain:

Saya terus menjalani disiplin ini selama 8 – 9 bulan dan betapa pun dengan kurangnya asupan yang saya makan ini, Tuhan Maha Kuasa melindungiku dari segala macam penyakit (disorder), (padahal penyakit tetap yang biasanya dirasakan itu adalah migraine dan diabetes).
Selama menjalani disiplin puasa saya mendapatkan banyak kali misteri spiritual; saya mimpi berjumpa dengan beberapa orang Nabi terdahulu dan beberapa orang Wali Islam terkenal yang sudah meninggal. Satu kali, dalam keadaan sama sekali terbangun, saya melihat Y.M. Nabi Muhammad saw., yang ditemani oleh dua cucu beliau (Hasan dan Hussain), Fatimah dengan saudari sepupunya, dan menantunya Hadhrat Ali (r.a. untuk semua).

Saya melihat kolom cahaya spiritual warna-warni, putih hijau dan merah yang sangat indah sekali, yang keindahannya tidak bisa dilukiskan; hati saya merasa gembira luar biasa (ecstasy) yang tidak ada bandingannya. Saya membayangkan bahwa berkas kolom-kolom cahaya ini merupakan ilustrasi dari cinta-kasih mutual love antara Tuhan dengan manusia; satu berkas cahaya mencuat dari hati dan menuju ke atas sedangkan berkas cahaya lainnya turun ke bawah, ketika kedua berkas cahaya ini bertemu sehingga menjadi berbentuk kolom. Pengalaman spiritual ini, yang di luar ilmu pengetahuan orang duniawi ini, tetapi ada juga orang-orang yang dikarunia ilmu dengan pemandangan spiritual seperti ini.

Contohnya ialah: Hadhrat Ahmad biasa mengunjungi orang-orang shaleh, ulama-ulama terkenal Islam dan bertukar pandangan. Maulvi Abdullah Sahib dari Ghazni, Afghanistan adalah seorang ulama Islam yang terkenal. Ia ditindas dan dianiaya oleh orang-orang sekampungnya yang fanatic, dinyatakan sebagai kaafir dan diusir dari Ghazni (tahun 1874). Ia tiba di Punjab dan tinggal dekat Amritsar. Mirza Ghulam Ahmad dua kali bertemu beliau dan meminta doa untuk kesejahteraan dan kemajuan Islam. Maulvi Abdullah Sahib memenuhi permintaan Hadhrat Ahmad dan menyampaikan kemudian bahwa ia telah memperoleh wahyu: “Anta mauulanaa fan shurnaa ‘alal qaumin kaafiriin” – “Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami terhadap orang-orang yang ingkar kepada-Mu”. Pada kesempatan lainnya Maulvi Abdullah Sahib menyatakan bahwa beliau telah melihat pemandangan kasyaf bahwa seberkas cahaya dari Langit telah turun di Qadian, tetapi keturunannya gagal untuk meraih manfaatnya dari itu.
(Ket:: Istri Hadhrat Ahmad yang pertama, dan juga kedua anaknya dari istri pertama itu tidak seia-sekata, tidak cenderung pada agama dan tidak mendukung kegiatan Hadhrat Ahmad, yang akhirnya diceraikan, sebelum tahun 1880. Sehingga setelahnya itu Hadhrat Ahmad mendedikasikan seluruh waktunya untuk beribadah menyembah Ilahi, dan tidak ada keinginan untuk berumah tangga lagi; dikarenakan kesehatannya yang kurang baik dengan penyakit diabetes dan migraine, sehingga tidak ada minat pada seks. Keadaan ini sampai tahun 1881, di mana pada umur Hadhrat Ahmad yang ke-46 tahun beliau menerima wahyu: “Kami beri khabar suka kepada engkau tentang seorang anak laki-laki yang tampan”. Wahyu ini diceriterakan oleh Hadhrat Ahmad kepada teman-teman yang ditemuinya, yang semuanya merasa heran, karena Hadhrat Ahmad sudah menceraikan istrinya, beliau pun tidak berminat untuk menikah yang kedua kalinya, dan keadaan kesehatannya pun tidak fit. Tetapi demikianlah taqdir Ilahi, pada tanggal 17 Nopember 1884 Hadhrat Ahmad, 49 tahun, menikah dengan Nusrat Jahan Begum, yang artinya Ibu yang menolong seluruh dunia, dari keluarga terkemuka Syed di Delhi. Walaupun teman-temannya menegur beliau, tetapi semuanya itu diatur sesuai dengan mimpi dan wahyu-wahyu, termasuk obat yang diilhamkan, sehingga dari istri kedua ini Hadhrat Ahmad memperoleh 4 orang anak).

Selanjutnya manfaat lain dari latihan berpuasa tersebut Hadhrat Ahmad mengatakan: Saya menemukan bahwa, jika keadaan memerlukan, dalam keadaan darurat, saya bisa bertahan tanpa makan untuk waktu yang lama, sehingga merasa seandainya saya diajak bertanding dengan seorang pegulat yang gemuk dan kuat, siapa yang kuat bertahan tanpa makan, maka ia akan mati duluan, jauh sebelumnya saya perlu memakan makanan. Saya juga merasa bahwa jika tubuh seorang manusia itu tidak dapat bertahan dalam menghadapi kesukaran yang sedemikian, maka orang semacam ini tidak akan mampu untuk meraih pengalaman misteri spiritual yang tinggi.

Tetapi Hadhrat Ahmad tidak menganjurkan orang lain untuk mencoba latihan disiplin puasa semacam itu, karena saya pun -kata beliau- tidak melakukannya atas keinginan sendiri, saya melakukannya itu mengikuti petunjuk Ilahi yang disampaikan kepadaku melalui kasyaf yang jelas. Saya berhenti disiplin berpuasa itu setelahnya 8 – 9 bulan, dan sejak itu saya melakukannya hanya sekali-sekali saja.

Wafatnya Mirza Ghulam Murtadha
Pada tahun 1876 ketika Hadhrat Ahmad sedang berada di Lahore melihat dalam mimpi yang meng-indikasikan bahwa kematian ayahnya itu sudah dekat. Beliau mengatakan:
Saya bergegas pulang ke Qadian. Ayahku terkena penyakit disentri, tetapi saya tidak melihat bahwa beliau akan meninggal keesokan harinya, karena kenyataannya keadaannya menjadi lebih baik dan beliau pun tabah. Esok harinya ketika kami kumpul bersama beliau, ia menasihatkan kepadaku untuk pergi beristirahat; pada bulan Juni itu udara sedang panas-panasnya dan saya pun berbaring di lantas dan pembantu mulai memijiti kakiku. Dalam keadaan setengah tertidur saya menerima wahyu: “Kami bersaksi dengan Langit dari mana semua taqdir itu bermula, dan Kami bersaksi bahwa yang akan terjadi itu setelah matahari terbenam.” Saya mengerti bahwa apa yang akan terjadi setelah matahari terbenam, adalah wafatnya ayahandaku, dan bahwa wahyu ini merupakan semacam ucapan bela-sungkawa atas nama Tuhan Maha Kuasa. Maha Suci Allah! Betapa Mulianya Allah, Dia mengucapkan duka-cita-Nya berkenaan dengan orang yang akan mati yang bersedih hati dikarena telah menyia-nyiakan hidupnya, dengan mengejar duniawi.

Dengan menerima wahyu tersebut, yang menandai akan wafatnya ayahku, sebagai manusia ada terpikir olehku bahwa beberapa jalan penghasilan yang biasa diterima oleh ayahku itu nanti akan tertutup; mungkin nanti saya akan menghadapi kesulitan. Setelah itu saya menerima wahyu:
‘A laisallaahu bi kaafin ‘abdahuu’ – ‘Apakah Allah tidak mencukupi bagi hamba-Nya?’
Wahyu ini disampaikan dengan rasa senang yang besar kepadaku, yang membuat hatiku teguh. Dia bersaksi bahwa Dia Sendiri yang akan menggenapi wahyu yang membuat saya senang ini, dengan cara yang tidak bisa dibayangkan. Dia mencukupi segala keperluanku di mana tidak ada seorang ayah yang dapat menyediakan segalanya bagi setiap orang. Saya terus menerus menerima kemurahan, kebaikan dan kebajikan-Nya yang tidak mungkin untuk dapat dihitung.

Ayahku meninggal dunia pada hari itu juga setelah waktu Maghrib. Inilah hari pertama saya memperoleh wahyu di mana saya mendapatkan pengalaman satu Tanda dari Rahmat Tuhan melalui wahyu, yang tentang itu saya tidak dapat membayangkannya, yang tidak akan ada henti-hentinya dan akan terus berlangsung selama hidupku. Hampir 40 tahun lamanya kehidupan saya dilewati dengan pemeliharaan dan biaya dari ayahku, dan dengan kepergiannya beliau dari dunia ini, saya mulai menerima wahyu-wahyu Ilahi secara terus menerus (Kitabul Bariyyah).

Mirza Ghulam Qadir
Dengan wafatnya ayahhandanya maka kakak Hadhrat Ahmad yang bernama Mirza Ghulam Qadir menjadi kepala keluarga dan mengambil alih semua urusan administrasi. Waktu itu Mirza Ghulam Qadir bekerja di kantor sipil di Gurdaspur dan seringkali datang ke Qadian. Mirza Ghulam Ahmad berhak untuk menguasai separuh dari harta peninggalan ayahnya, tetapi beliau sama sekali tidak menaruh perhatian akan perkara ini, dan membiarkan kepada kakaknya untuk menguruskan penghasilan dari harta tersebut, di mana beliau sendiri sudah akan merasa puas dengan keperluannya yang sederhana dan minimal itu. Beliau tidak banyak meminta kepada kakandanya, memakai pakaian apa yang seadanya dan memakan makanan apa saja yang dikirimkan oleh istri kakandanya. Seringnya beliau membagikan makanan tersebut di antara orang-orang miskin, dan untuk dirinya sendiri ia hidup dengan gram bakar yang dibelinya tidak lebih dari ¼ sen; atau kadangkala Hadhrat Ahmad sama sekali tidak punya makanan apa-apa pun.

Atas pilihannya sendiri Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad menjalani kehidupannya yang bukan saja sederhana tetapi cermat dan ketat juga; beliau menyibukkan diri terutamanya dengan beribadah menyembah Allah, berdzikir mengingat Tuhan, mempelajari dan merenungkan Kitab Suci Alqur-aan dan literature keagamaan lainnya. Beliau berlangganan satu dua buah Surat Kabar, dan satu kali beliau mengajukan permintaan kepada kakandanya sedikit uang kecil untuk membayar Surat Kabar tersebut, yang ditolak dengan dasar bahwa membaca Surat Kabar itu hanya membuang waktu yang sia-sia saja dan mengeluarkan uang untuk itu dianggapnya berlebih-lebihan.

Kakandanya itu menghormati beliau dan merasa senang untuk menyediakan segala keperluan hidup baginya; tetapi merasa bahwa pengabdiannya terhadap agama itu adalah hobi yang tidak ada gunanya; kakandanya menasihati agar Hadhrat Ahmad mencari pekerjaan untuk mendapatkan hasil. Dalam beberapa tahun selama kakandanya hidup itu (1876 – 1883), hidupnya Mirza Ghulam Ahmad sangat terkekang dan dibatasi dalam beberapa aspek. Anggota-anggota keluarga lainnya tidak ada minat atas cara hidupnya Hadhrat Ahmad, beberapa dari mereka bahkan tidak bisa menyembunyikan rasa permusuhannya dan rasa jijiknya atas arah kehidupan Hadhrat Ahmad; tetapi beliau tidak membiarkannya hal ini mengganggu kenteraman cara hidupnya, beliau menerima apa saja yang datang dengan spirit bertawakal penuh gembira, menganggap bahwa hal itu adalah ujian yang ditakdirkan oleh Tuhan untuk dapat bertahan.

Demikianlah antara lain kisah dari Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad terutama di masa anak-anak dan usia muda, sebelumnya beliau mendapatkan penunjukan atau pengangkatan resmi dari Allah SWT melalui wahyu-wahyu yang diterimanya:

· Tahun 1882 sebagai Mujaddid atau Reformer pada permulaan Abad ke-14 Hijriah.
· Tahun 1889 sebagai Imam Mahdi.
· Tanggal 23-3-1889 mendapat perintah untuk menerima Bai’at, yang dilaksanakan di Ludhiana.
· Tahun 1890 – 1891 Sebagai Imam Mahdi dan Nabi Isa (a.s.) yang dijanjikan kedatangannya dalam Nubuatan Nabi Muhammad Rasulullah s.a.w.


Himbauan:
Semoga jika para “detractor”, tukang pencela dan tukang fitnah sempat membaca tulisan ini, ia (mereka) akan berpikir sebelumnya melemparkan penghinaan dan fitnah kepada Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s., di manakah letaknya bahwa Jemaat Ahmadiyah itu adalah buatan Inggris yang katanya untuk menghancurkan Islam, didukung bantuan Pemerintah Amerika, antek Zionis Yahudi, antek Komunis dan PKI dan tuduhan fitnah dusta semacam itu yang terus menerus dilemparkan kepada Jemaat Ahmadiyah dan Pendirinya. Kita menasihatkan kepada mereka: “Takutlah kepada Allah SWT.”, “Takutlah akan hukuman dari Tuhan Maha Kuasa Pemberi Hukuman Pembalasan”.


PPSi – Mersela / Jak. Bar.; Kamis 6 Januari 2011

http://www.marsela-ppsi.blogspot.com

Tidak ada komentar: