Islamisasi Dinasti dan Keturunan Prabu Siliwangi (Rekap)
Rajatapura
atau Salakanagara (Kota Perak) adalah kota tertua di Pulau Jawa, dengan tokoh awalnya yang
berkuasa Aki Tirem Luhur Mulia atau yang dikenal sebagai Angling
Darma. Pada tahun 150M kota ini terletak di daerah Teluk Lada Pandeglang
dan sampai tahun 362M menjadi Pusat Pemerintahan Raja-raja Dewawarman I s/d
VIII. Jayasingawarman adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia
adalah seorang Maharesi dari Salankayana, India yang mengungsi ke
Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta
dari Kerajaan Magada. Jayasingawarman
dipusarakan di tepi Kali Gomati, Bekasi.
Kemudian kisah yang dimulai dari Prabu Maharaja Lingga Buana (1340-1357M)
yang wafat pada peristiwa BUBAT termasuk putrinya Diyah Pitaloka
Citraresmi. Beliau adalah keturunan
ke-30 dari Raja-raja Sunda-Galuh dimana yang no. 1 nya Raja TarusBawa (670-723M) dimana TarusBawa
adalah keturunan ke 13 dari Jayasingawarman (358-382M) pendiri Kerajaan
Tarumanagara, yang ibukotanya di Sundapura, terletak antara
Jakarta/Batawi-Bekasi.
Mangkubumi
Suradipati (1357-1371M) atau Prabu Bunisora yang disebut juga Prabu
Borosngora dalam Babad Kerajaan Panjalu, Kawali Ciamis, adalah adik
Lingga Buana yang menggantikannya sebagai Raja Sunda Galuh.
Prabu Raja
Wastu atau Niskala Wastu Kancana (1371- 1475M) adalah anak Prabu Lingga Buana yang
dinobatkan menjadi raja pada tahun 1371 pada umur 23 tahun. Dari dua permaisurinya yang berikut:
1. Lara Sarkati, putri Lampung lahir Sang
Haliwungan, yang setelah dinobatkan menjadi Raja Sunda bergelar Prabu
Susuk Tunggal.
2. Mayangsari, putri
sulung Bunisora atau Mangkubumi Suradipati, lahir Ningrat Kancana, yang
setelah menjadi Raja Galuh bergelar
Prabu Dewa Niskala atau Prabu Anggalarang.
Sementara itu di zaman Wastu Kancana ini, agama Islam mulai masuk di
daerah Sunda/ Jawa Barat yaitu
dengan didirikannya Pesantren pertama di Jawa Barat yang
terletak di Tanjung Pura, Karawang. Pesantren
ini didirikan oleh Syekh Hasanuddin, seorang ulama dari Campa sekarang Vietnam, pada tahun 1412 Saka atau 1491
Masehi. Karena pesantrennya yang bernama Quro, Syekh Hasanuddin belakangan
dikenal dengan nama Syekh Quro. Syekh Quro atau Syekh Hasanuddin adalah putra
Syekh Yusuf Sidik. Awalnya, Syekh Hasanuddin datang ke Pulau Jawa sebagai
utusan datang bersama rombongannya dengan menumpang kapal yang dipimpin Laksamana Cheng Ho dalam perjalanannya
menuju Majapahit. Dalam pelayarannya, suatu ketika armada Cheng Ho tiba di
daerah Tanjung Pura Karawang. Sementara rombongan lain meneruskan perjalanan,
Syekh Hasanuddin beserta para pengiringnya turun di Karawang dan menetap di
kota ini. Di Karawang, Syekh Hasanuddin menikah dengan gadis setempat yang bernama
Ratna Sondari yang merupakan puteri Ki
Gedeng Karawang. Di tempat inilah, Syekh Hasanuddin kemudian membuka
pesantren yang diberi nama Pesantren Quro
yang khusus mengajarkan Alquran. Inilah awal Syekh Hasanuddin digelari Syekh
Quro atau syekh yang mengajar Alquran. Dari sekian banyak santrinya, ada
beberapa nama besar yang ikut pesantrennya. Mereka antara lain Putri Subang Larang yang diberi gelar pesantren
sebagai Nyi Subang Karancang, anak Ki
Gedeng Tapa, penguasa kerajaan Sing Apura, sebuah kota pelabuhan di sebelah
utara Muarajati yang sekarang dinamakan Cirebon. Adapun kedudukan Ki Gedeng Tapa adalah sebagai Syahbandar
di Cirebon. menggantikan Ki Gedeng
Sindangkasih setelah wafat. Ki Gedeng Tapa dikenal pula dengan nama Ki
Gedeng Jumajan Jati. Persahabatan Ki Gedeng Tapa dengan Syekh Quro, menjadikan
putrinya, Subang Larang masantren di Pesantren Syekh Quro.
Di Cina Dinasti Ming (1363-1644)
memberikan kesempatan orang-orang Islam untuk duduk dalam pemerintahan.
Laksamana Muslim Cheng Ho ditugaskan oleh Kaisar Yung Lo memimpin misi muhibah
ke-36 negara. Antara lain ke Timur Tengah dan Nusantara (1405-1430). Membawa
pasukan muslim 27.000 dengan 62 kapal. Di Cirebon Laksamana Cheng Ho membangun
mercusuar. Di Semarang mendirikan Kelenteng Sam Po Kong. Misi muhibah Laksamana
Cheng Ho tidak melakukan perampokan atau penjajahan. bahkan memberikan bantuan
membangun sesuatu yang diperlukan oleh wilayah yang didatanginya. Seperti
Cirebon dengan mercusuarnya. Oleh karena itu, kedatangan Laksamana Cheng Ho
disambut gembira oleh Ki Gedeng Tapa sebagai Syahbandar Cirebon. Karena sangat
banyak kapal niaga muslim yang berlabuh di pelabuhan Cirebon, kapal niaga dari
India Islam, Timur Tengah Islam dan Cina Islam, pembangunan mercusuar di
pelabuhan Cirebon memungkinkan tumbuhnya rasa
simpati Ki Gedeng Tapa sebagai Syahbandar Cirebon terhadap Islam.
Kesuksesan Syekh Hasanuddin menyebarkan ajaran Islam adalah karena ia menyampaikan ajaran Islam dengan penuh kedamaian, tanpa paksaan dan kekerasan. Begitulah caranya mengajarkan Islam kepada masyarakat yang saat itu berada di bawah kekuasaan raja Pajajaran yang didominasi ajaran Hindu. Karena sifatnya yang damai inilah yang membuat Islam diminati oleh para penduduk sekitar. Tanpa waktu lama, Islam berkembang pesat sehingga pada tahun 1416, Syekh Hasanuddin mendirikan pesantren pertama di tempat ini.
Berdirinya pesantren ini menuai
reaksi keras dari para resi. Pesatnya perkembangan ajaran Islam membuat para resi
ketakutan agama mereka akan ditinggalkan. Berita tentang aktivitas dakwah Syekh
Quro di Tanjung Pura yang merupakan pelabuhan Karawang didengar Prabu Angga Larang yakni Prabu Dewa Niskala. Karena
kekhawatirannya ia pernah melarang Syekh Quro berdakwah ketika sang syekh
mengunjungi pelabuhan Muara Jati di Cirebon. Sebagai langkah antisipasi, Prabu Angga Larang kemudian mengirimkan
utusan untuk menutup pesantren ini. Utusan ini dipimpin oleh putera mahkotanya yang bernama Raden Pamanah Rasa atau Jayadewata. Namun baru saja tiba
ditempat tujuan, hati Raden Pamahan Rasa terpesona oleh suara merdu pembacaan
ayat-ayat suci Alquran yang dilantunkan Nyi
Subang Larang. Putra mahkota (yang
kemudiannya nanti setelah dilantik menjadi Raja
Pajajaran bergelar Prabu Siliwangi itu) dengan segera membatalkan niatnya
untuk menutup pesantren tersebut. Ia justru melamar Nyi Subang Larang yang
cantik. Lamaran tersebut diterima oleh Nyi Santri dengan syarat maskawinnya
haruslah Bintang Saketi, yaitu simbol "tasbih" yang ada di Mekah.
Pernikahan antara Raden Pamanah Rasa
dengan Nyi Subang Karancang atau Nyi Subang Larang pun kemudian dilakukan
di Pesantren Quro atau yang saat ini menjadi Masjid Agung Karawang. Syekh Quro
bertindak sebagai penghulunya.
Setelah Wastu Kancana wafat pada tahun 1475, kerajaan Sunda Galuh dibagi
dua dalam kedudukan sederajat:
1. Prabu Susuk Tunggal menjadi
Raja Sunda, dan
2. Prabu Dewa Niskala atau Prabu
Anggalarang menjadi Raja Galuh.
Prabu
Anggalarang mempunyai putra yang pada masa mudanya dikenal dengan nama Raden Pamanah Rasa. Sejak kecil beliau diasuh
oleh Ki Gedeng Sindangkasih, seorang penguasa pelabuhan Muara Jati di kerajaan
Sing Apura, Muara Jati (sebelum bernama kota Cirebon). Setelah Raden Pemanah
Rasa dewasa dan sudah cukup ilmu yang di ajarkan oleh Ki Gedeng Sindangkasih, beliau
kembali ke kerajaan Gajah atau Galuh untuk mengabdi kepada ayahandanya Prabu
Angga Larang/ Dewa Niskala.
Setelah itu Raden Pemanah Rasa menikahi Putri Ki Gedeng Sindangkasih, yang bernama Nyi Ambet Kasih.
Ketika itu Kerajaan gajah Galuh dalam pemerintahan Prabu Dewa Niskala atau Prabu Angga Larang sedang dalam masa keemasannya. Wilayahnya terbentang Luas dari Sungai Citarum di Karawang yang berbatasan langsung dengan kerajaan Sunda, sampai sungai Ci-pamali atau Kali Brebes berbatasan dengan Majapahit.
Setelah itu Raden Pemanah Rasa menikahi Putri Ki Gedeng Sindangkasih, yang bernama Nyi Ambet Kasih.
Ketika itu Kerajaan gajah Galuh dalam pemerintahan Prabu Dewa Niskala atau Prabu Angga Larang sedang dalam masa keemasannya. Wilayahnya terbentang Luas dari Sungai Citarum di Karawang yang berbatasan langsung dengan kerajaan Sunda, sampai sungai Ci-pamali atau Kali Brebes berbatasan dengan Majapahit.
Raden Pamanah
Rasa,
yang juga bernama Jayadewata menikahi
Subang Larang seorang wanita Muslimah putri
Ki Gedeng Tapa, Raja Sing Apura, penguasa Syahbandar Muarajati, Cirebon. Juga Jayadewata memperistri Nyi
Kentring Manik Mayang Sunda putri dari Prabu
Susuk Tunggal. Jadilah antara Raja
Sunda dan Raja Galuh yang se-ayah ini menjadi besan, karena Jayadewata dan
Kentring Manik adalah sama-sama cucu dari Wastu Kancana. Ada istri-istri
lainnya dari Jayadewata yaitu Nyai
Aciputih putri Ki Dampu Awang (Tuban) dan juga Nyi Ratu Buniwangi Ratu Ayu
Rambut Asih Sekar Arum Rutjiwati Kantjana (Limbangan) putri dari Prabu
Layaran Wangi atau Sunan Rumenggong.
Pada
tahun 1482 Prabu Dewa Niskala menyerahkan Tahta Kerajaan Galuh kepada Jayadewata, putranya. Demikian pula dengan Prabu Susuk Tunggal
menyerahkan Tahta Kerajaan Sunda kepada Jayadewata,
menantunya. Dengan demikian Kerajaan warisan Wastu Kencana kembali
berada pada satu tangan, di bawah Jayadewata yang diberi gelar Sri Baduga Maharaja dan dikenal sebagai
Prabu Siliwangi (1482-1521M). Jayadewata
memilih untuk berkedudukan di Pakuan sebagai “Susuhunan”, karena ia telah
lama tinggal di sini menjalankan pemerintahan sehari-hari, mewakili mertuanya.
Sekali lagi, Pakuan menjadi pusat pemerintahan. Zaman Pajajaran diawali oleh
pemerintahan Jayadewata yang bergelar Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi yang memerintah
selama 39 tahun. Prabu Siliwangi seorang raja besar pilih tanding sakti
Mandraguna, Arif dan Bijaksana memerintah
rakyatnya di Kerajaan Pakuan Pajajaran. Pada
masa Sri Baduga Maharaja tidak ada
satupun kerajaan2 daerah di Jawa Barat yang memberontak, karena Raja-raja
Daerah saat itu sangat kagum, cinta dan hormat pada beliau. Pada masa inilah Kerajaan
Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
DINASTI Sang Prabu Siliwangi pada
abad ke-15, menjadikan Islam sebagai agamanya secara aman dan damai, diawali
dengan sebab adanya pernikahan kedua Sang
Prabu Siliwangi dengan Subang Larang putri Ki Gedeng Tapa, Syah Bandar
Cirebon. Dinasti Sang Prabu Siliwangi dari pernikahannya dengan Subang Larang,
terlahirlah tiga orang putra putri. Pertama, Pangeran Walangsungsang, kedua Nyai Rara Santang dan ketiga Raja
Sangara. Ketiga-tiganya masuk Islam.
Proses masuknya Islam (Islamisasi)
di seluruh tanah Pasundan atau tatar Sunda Jawa Barat adalah tiga orang keturunan raja Pajajaran, yaitu Pangeran
Cakrabuana alias Pangeran Walangsungsang, Syarif Hidayatullah yang adalah anak
dari Rara Santang - Syarifah Mudha’im, jaitu
cucunya Prabu Siliwangi dan Raja Sangara
yang ada yang nyebut sebagai Prabu
Kian Santang barangkali ini salah satunya; Wallaho Alam.
Cerita legenda dongengeng tentang Prabu Kian
Santang itu ada banyak versinya
antara lain termasuk Sunan Rohmat Suci atau
Sunan Godog yang wafat pada tahun 1419 dimakamkan di Makam Karamat Godog Garut,
tidak jauh dari Mesjid Pusaka Karamat Godog.
Adalagi versi lain tentang seorang Putra Mahkota Raja Wisnuwarman
(434-455M) yang sakti mandraguna bernama Gagak
Lumayung yang pada tahun 450 M, mampu mengusir dan mengalahkan armada
pasukan Dinasti Tang yang hendak
menaklukkan Tarumanagara, sehingga ia
dijuluki Ki An San Tang atau
“Penaluk Pasukan Tang”.
Adapun Pangeran Walangsungsang atau Ki
Samadullah atau Abdullah Iman atau Pangeran
Cakrabuana atau Sri Mangana dilahirkan
sekitar tahun 1423 M, ia merupakan anak pertama dari tiga bersaudara hasil perkawinan
Prabu Siliwangi dengan Nyai Subang Larang atau Nyai Subang Karancang yang sudah
masuk Islam; anak yang kedua Nyai Rara
Santang atau Nyai Hajjah Syarifah Mudhaim lahir sekitar tahun 1426 M dan Raja Sangara lahir sekitar tahun 1428
M.
Subang Larang tidak mungkin
mengajari Islam putra-putrinya sendiri di istana Pakuan Pajajaran. Diizinkan
putra pertamanya Pangeran Walangsungsang dan juga putrinya Rara Santang untuk
berguru ke Syekh Dzatul / Datuk Kahfi di Gunung Amparan Jati, Sumedang. Di sini Pangeran
Walangsungsang diberi nama Samadullah. Atas anjuran Syekh Datuk Kahfi, Pangeran Walangsungsang dan Rara Santang pergi
Naik Haji. Ternyata dalam masa Ibadah Haji di Mekkah, Rara Santang dipersunting oleh Maulana Sultan
Mahmud yang disebut pula Maulana Ishaq Syarif Abdullah seorang penguasa Kota Ismailliyah Mesir. Rara Santang
setelah haji dikenal dengan nama Syarif ah Mudha’im. Dari pernikahannya dengan
Syarif Abdullah, lahir putranya, Syarif
Hidayatullah pada 12 Maulud/Rabiul Awwal 852H atau 15 Mei 1448 dan putra kedua
Syarif Nurullah, yang kemudian mengganti kedudukan
Syarif Abdullah di Mesir yang wafat
tidak lama kemudian, karena Syarif Hidayatullah memilih untuk ikut menyebarkan
Islam bersama ibunya di Cirebon. Syarif Hidayatullah dikenal pula setelah wafat
dengan nama Sunan Gunung Jati.
Walangsungsang setelah haji, dikenal
dengan nama Haji Abdullah Iman. Karena sebagai Kuwu di Pakungwati, dikenal
dengan nama Cakrabuana. Prestasi
Cakrabuana yang demikian menarik perhatian Sang Prabu Siliwangi, diberi gelar Sri Mangana. Pengakuan Sang Prabu
Siliwangi yang demikian ini, menjadikan adik Walangsungsang yakni Raja Sangara masuk Islam dan naik haji
kemudian berubah nama menjadi Haji Mansur.
Syekh Dzatul / Datuk Kahfi (dikenal juga dengan nama Syekh Idhofi atau Syekh Nurul Jati) adalah tokoh penyebar Islam di wilayah yang sekarang dikenal dengan Cirebon dan leluhur dari raja-raja Sumedang. Rombongannya datang di Muara Jati tahun 1420. Beliau pertama kali menyebarkan ajaran Islam di daerah Amparan Jati, Sumedang. Beliau adalah buyut dari Pangeran Santri (Ki Gedeng Sumedang), penguasa di Kerajaan Sumedang Larang, Jawa Barat. Syekh Datuk Kahfi bin Syekh Datuk Ahmad adalah keturunan dari Nabi Muhammad saw., dari putrinya Fatimah Az-Zahra yang menikah dengan Ali bin Abi Thalib yang berputra Imam Hussain cucu Nabi Muhammad SAW yang syahid terbunuh dalam pembantaian di Padang Karbala, Iraq. Syekh Datuk Kahfi merupakan guru dari Pangeran Walangsungsang dan Nyai Rara Santang (Syarifah Mudha'im), yaitu putera dan puteri dari Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi), raja Kerajaan Pajajaran, Jawa Barat. Syekh Datuk Kahfi wafat dan dimakamkan di Gunung Jati, bersamaan dengan makam Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), Pangeran Pasarean, dan raja-raja Kesultanan Cirebon lainnya.
Sunan Gunung Jati memiliki nama asli yaitu Syarif Hidayatullah putera Maulana Ishaq Syarif Abdillah seorang penguasa dari kota Ismailiah, Arab Saudi. Sunan Gunung Jati bukan Fatahilah atau Faletehan ulama dari Aceh sebagaimana sering dibahas dalam buku-buku sejarah Wali Sanga. Sunan Gunung Jati adalah Syarif Hidayatullah. Hal ini dapat dibuktikan bahwa di samping makam Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah terdapat makam Tubagus Pasai Fathullah yang tidak lain adalah Faletehan. Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah hidup pada zaman Adipati Raden Patah Sultan Demak pertama (1500-1518M), sedangkan Fatahilah datang dari Aceh pada masa pemerintahan Sultan Trenggono (1521-1546M), Raja / Sultan ketiga dari Kesultanan Demak.
Sunan Gunung Jati adalah putra Nyi Ratu Rara Santang atau
Syarifah Mudha’im dengan Maulana Ishaq Syarif Abdillah penguasa kota
Isma’iliyah. Maulana Ishaq Syarif
Abdillah dikaruniai dua putera, yaitu Syarif
Hidayatullah yang lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati dan Syarif Nurullah. Keduanya diperintah
ayahnya untuk menimba ilmu seperti ilmu agama, ilmu sosial, dan ilmu tasauf
dari ulama Baghdad. Pada saat Syarif Hidayatullah berumur 20 tahun ayahnya
meninggal dunia maka ia ditunjuk untuk menggantikan memerintah Kota
Isma’iliyah. Syarif Hidayatullah tidak bersedia karena sudah bertekad untuk
melaksanakan harapan ibunya menjadi mubaligh di Caruban (Cirebon). Pemerintahan
kota Isma’iliyah dilimpahkan kepada adiknya Syarif Nurullah.
Setelah pengangkatan Syarif Nurullah sebagai penguasa Kota Isma’iliyah maka ibunda Syarifah Muda’im beserta Syarif
Hidayatullah untuk pulang ke tanah Jawa dan singgah dibeberapa tempat dan baru
pada tahun 1475 sampai di Caruban. Syarif Hidayatullah ingin dekat dengan
tempat makam gurunya yaitu Syekh Dzatul
Kahfi. Ia meminta ijin kepada Pangeran Cakrabuana dan diijinkannya untuk
tinggal bersama anaknya di Pertamanan Gunung Sembung sambil mengajarkan agama
Islam sebagai penerus Paguron Islam Gunung Jati. Pangeran Cakrabuana kemudian menikahkan putrinya Nyi Ratu Pakungwati
dengan Pangeran Syarif Hidayatullah, dan pada tahun 1479 Pangeran
Cakrabuana menyerahkan kekua/saan atas negeri Caruban ke menantunya yaitu
Syarif Hidayatullah dengan gelar Sunan Gunung Jati. Dengan dinobatkannya Syarif Hidayatullah sebagai pemimpin
tertinggi Nagari Caruban di Istana atau Keraton Pakungwati ini menambah besarnya nama Caruban serta
pesatnya penyebaran agama Islam.
Selanjutnya Syarif Hidayatullah ingin menyebarkan agama Islam di sekitar Cirebon, seperti Talaga dan
Rajagaluh. Dan ia kembali lagi ke Gunung Sembung guna menata agama Islam di
Pasambangan, yaitu menjadi guru Agama Islam di Paguron Pasambangan. Pada tahun
1568 warga kesultanan Cirebon berduka atas wafatnya Syarif Hidayahtullah (Sunan
Gunung Jati). Ketika meninggal Sunan Gunung Jati berusia 120 tahun. Bersama ibunya
Syarifah Mudha’im dan Pangeran Cakrabuana, beliau dikebumikan di Pertamanan
Gunung Sembung.
Tadi, dengan dipersatukannya kembali Kerajaan Sunda dan Galuh oleh Jayadewata,
membuat beliau dipandang mewarisi kebesaran kakeknya, Prabu Wastukancana alias
Prabu Wangi. Maka, pemberian gelar Siliwangi bagi Prabu Jayadewata memiliki
arti pengganti atau pewaris Prabu Wangi. Jadi, Raja Sunda Pajajaran yang
dimaksud dalam sejarah sebagai Prabu Siliwangi adalah Prabu Jayadewata yang
berkuasa dari tahun 1482-1521.
Adapun
dari istrinya Prabu Siliwangi yang bernama Nyi Ratu
Buniwangi Ratu Ayu Rambut Asih Sekar
Arum Rutjiwati Kantjana putri dari Prabu Layaran Wangi atau Sunan Rumenggong
Limbangan, berputra amtara lain Raden Prabu Hande Limansenjaya, yang
selanjutnya beliau berputra Raden Wijaya
Kusumah atau Prabu Adipati Djaja –
Sunan Cipancar; inilah cucunya Prabu Siliwangi yang masuk Islam pada tahun 1525M. Pangeran Papak Wangsa Muhammad Da'i Islam di Cinunuk, Wanaraja Garut (W: 26-6-1899) adalah keturunan ke-X dari Sunan Cipancar.
Setelah meninggalnya Prabu Siliwangi, ternyata, masih ada lima raja lagi
yang memerintah sepeninggal Prabu Jayadewata, sebelum benar-benar Kerajaan
Pajajaran runtuh 58 tahun kemudian yaitu pada tahun 1579M:
1.) Prabu Surawisesa (1521-1535)
2.) Prabu Ratu Dewata (1535-1543)
3.) Ratu Sakti (1543-1551)
4.) Prabu Nilakendra (1551-1567)
5.) Prabu Raga Mulya (1567-1579)
Pada masa pemerintahan Raga Mulya inilah, tepatnya pada tanggal 8 Mei
1579 M, Kerajaan Pajajaran mengalami kehancuran akibat serangan pasukan Kesultanan
Banten yang dipimpin Maulana Yusuf. Prabu Raga Mulya beserta para
pengikutnya yang setia tewas dalam pertempuran mempertahankan ibukota Pajajaran
yang ketika itu telah berpindah ke Pulasari, kawasan Pandeglang sekarang.
Adapun bekas istana Kerajaan Pajajaran di kawasan Pakuan, daerah
Batutulis Bogor sekarang, terutama sekali bekas tempat duduk yang ditinggikan
untuk Raja Pajajaran itu kemudian menjadi sarang sejumlah besar harimau.