Sabtu, 15 Februari 2014

DUA (2) AHMADIYAH: QADIAN dan LAHORE



DUA  AHMADIYAH : QADIAN  dan  LAHORE (yang memisahkan diri dari Khilafat)
1)      Khwaja Kamaluddin (Lahir di Punjab India 1870 – December 28, 1932) seorang Ahli Hukum keluaran Forman Christian College, Lahore. Pada tahun 1893 ia masuk Ahmadiyah dan menjadi teman dekat Mirza Ghulam Ahmad Pendiri Jemaat Ahmadiyah. Sebelum masuk Jemaat ia tadinya ingin dibaptis masuk Kristiani tetapi ia dapat diyakinkan oleh Mirza Ghulam Ahmad untuk tidak masuk Kristiani. Sementara itu, di Eropa Barat ada sebuah Mesjid Shah Jahan di Woking, terletak 30 Mil di luar kota London yang dibangun pada tahun 1889 oleh Shah Jahan Begum dari Bhopal, India. Mesjid ini ditinggalkan dan terkunci antara tahun 1900 – 1912. Khwaja Kamal-ud-Din, yang tiba di London pada tahun 1913 di-instruksikan oleh Maulvi Nuruddin Khalifatul Masih I untuk meng-akusisi mesjid Woking tsb. dan mendirikan Woking Muslim Mission.
2)      Maulana Muhammad Ali dan Khwaja Kamaluddin sebagai ulama Ahmadiyah yang pintar, tersohor pernah tinggal dan berkhidmat di Qadian; beliau pun bai’at kepada Khalifatul Masih I Hazrat Maulana Al-Haj Nuruddin. Namun sehubungan wafatnya Maulana Nuruddin (13 Maret 1914), kemudian dengan terpilihnya Hazrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad – umur 25 tahun, lahir 12 Januari 1889 -  putra Pendiri Jemaat Ahmadiyah Mirza Ghulam Ahmad a.s. sebagai Khalifatul Masih II, mereka merasa kecewa dimana Muhammad Ali, Khawaja Kamaluddin dan kelompoknya a.l. Dr. Jacub Baig dan Dr. Mohammad Hussein memilih memisahkan diri dari Nizam Khilafat Jemaat Ahmadiyah Qadian dan pindah ke Lahore dengan mendirikan organisasi non-Khilafat yang dinamakan “Ahmadiyya Anjuman Isya’ati Islam” Lahore atau yang dikenal dengan “Ahmadiyah Lahore”.
3)      Ahmadiyah Lahore, karena organisasinya hanya merupakan “Anjuman” yang keluar atau memisahkan diri dari “Nizam Khilafat”, maka mereka perlu mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad hanyalah seorang Mujjadid atau Pembaharu / Reformer. Barangkali dengan beritikad demikian, mereka pikir,  mereka bisa lebih mudah beradaptasi dengan mayoritas Islam Mainstream, dan yang tidak terikat dengan aturan Jemaat atau Nizam Khilafat.
4)      Perselisihan dan perpecahan dalam agama selalu ada. Agama suci Islam ketika baru saja Nabi Muhammad Rasulullah saw. wafat terjadi perselisihan besar di antara kaum Syi’ah Rafidhah (rafidah “yang meninggalkan” kata kaum Sunni) dan mazhab “Ahli Sunnah wal Jama’ah” atau kaum “Sunni”; perselisihan dan bahkan saling bunuh atau peperangan terus berlangsung sampai sekarang, terutama di Iraq, Iran, Afghanistan dan Pakistan. Perpecahan dalam Islam ni tidak berarti bahwa agama Islam dan Rasulullah saw. itu na’udzubillah min dzalik tidak benar, dan dipakai alasan untuk menolak kebenaran Nabi Muhammad saw. Perselisihan dan/ atau perpecahan hanyalah merupakan ujian atau trial bagi para pemgikutnya, untuk memilih mazhab atau partai mana yang benar-benar mengikuti keinginan dan wasiyat dari Nabi yang Utusan Allah tersebut. Perselisihan terjadi juga dalam pengikut Nabi Isa a.s. antara Katolik Roma, Katolik Yunani, Protestan, Protestan lawan Katolik terutama di Irlandia Utara dan Scotlandia, ada juga Sekte Unitarian (Ketuhanan yang Esa) dll.
5)      Perbandingan persentase pengikut Syi’ah dan Sunni di dunia saat ini adalah 10% berbanding 90%. Pada hakikatnya, Jemaat Ahmadiyah yang memiliki seorang Imam dan/atau seorang Khalifah  Islam untuk seluruh dunia serta mengamalkan secara konsekwen 100% Sunnah (Tradisi dan Hadits) Nabi saw. dan mengamalkan Ajaran Alqur’an-ul Karim, adalah secara hakiki merupakan Mazhab “Ahli Sunnah wal Jama’ah”, yang tidak terdapat pada golongan Islam manapun  atau Sekte Islam lainnya, yang sekarang menamakan dirinya sebagai “Islam Mainstream”.  Jemaat Ahmadiyah pada tahun 2013 sudah ada di 204 negara di dunia yang jumlahnya setiap saat terus bertambah.
6)      Tahun 1924 dua pendakwah Ahmadiyah Lahore Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad Berkat Rahmatullah, datang ke Yogyakarta. Minhadjurrahman Djojosoegito, seorang sekretaris di organisasi Muhammadiyah, mengundang Mirza dan Maulana untuk berpidato dalam Muktamar ke-13 Muhammadiyah, dan menyebut Ahmadiyah sebagai "Organisasi Saudara Muhammadiyah". Djojosoegito dikeluarkan dari Muhammadyah dan mendirikan “Gerakan Ahmadiyah Lahore”; yang bergerak di bidang pendidikan dengan mendirikan Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI) di Yogja dan menerbitkan terjemahan buku-buku Ahmadiyah ke dalam Bahasa Indonesia. Sebelumnya tahun 1960 Djojosoegito pun sudah menterjemahkan Alqur’an Ahmadiyah ke dalam Bahasa Belanda, yang banyak dipakai sebagai rujukan oleh orang2 tua dulu di sini.
7)      Pada tahun 1935 Pak Nanie Sudarma sebagai wartawan “Sipatahunan”, ketika akan keluar pintu rumah koppel ditanya oleh tetangga sebelah mau kemana dan dijawab akan meliput Muktamar Ahmadiyah (Lahore )  di Naripan Bandung, tetangga tadi mengatakan bahwa dalam menghadapi orang Ahmadiyah sih harus pakai bedog / golok. Perkataan tetangganya itu membuat Nanie Sudarma penasaran dan terheran-heran. Selanjutnya beliau mendapat kiriman satu peti buku2 Ahmadiyah (Lahore) dan dibaca siang malam sehingga bai’at masuk Ahmadiyah Lahore. Ketika Nanie Sudarma (Pemimpin Majalah Sunda “WARGA” Bogor) kemudian menjadi mertua penulis di Bogor (1961) Pak Sudarma sudah menjadi pengikut Jemaat Ahmadiyah Indonesia (Qadian) yang pada tahun 1940-an sering berhubungan dengan Maulana Rahmat Ali HA OT (Gelar Sarjana “Honour in Arabic & Oriental Training”) dan Kartaatmaja di Petojo Udik Jakarta dan Bahrum Rangkuti juga, yang pengikut Ahmadiyah Qadian.
8)      Maulana Rahmat Ali HAOT tiba di Tapaktuan Aceh Barat pada tanggal 2 Oktober 1925, naik kapal dari Calcutta menuju Penang kemudian turun di Pelabuhan Sabang. Beliau berangkat dari Qadian tanggal 17 Agustus 1925 atas perintah Khalifatul Masih II Mirza Bashiruddin  Mahmud Ahmad memenuhi permohonan 19 orang pelajar asal Sumatra yang sedang belajar di Qadian  - yang nama-namanya tersebut pada butir 12 di bawah - untuk mengirimkan Muballigh Ahmadiyah ke Sumatra dst. 
9)      Kisah sebelumnya ialah: Pada tahun 1922 banyak murid-murid  lulusan “Sumatra Thawalib”  Padang Panjang pimpinan Dr. H. Karim Amarullah (Ayahanda Buya Hamka) yang berangkat ke luar negeri untuk melanjutkan pelajaran agama Islam di Perguruan Tinggi “Al-Azhar” di Kairo, Mesir.  Tetapi dua orang lulusan Sumatra Thawalib, yakni Abubakar Ayyub dan Ahmad Nuruddin mengikuti nasihat guru mereka, Zainuddin El Yunusi Labai dan Syeikh Ibrahim Parabek, yang mengatakan bahwa di Hindustan  banyak perguruan yang tinggi mutunya, lagipula ke Mesir sudah banyak orang yang pergi kesana.
10)  Tujuan 2 pelajar itu pertamanya adalah kota Lucknow, mereka hanya minta kepada kusir delman untuk ditunjukkan tempat Ulama atau Madrasah yang paling terkenal, maka diturunkanlah di Madrasah Nizhamiyah “Darun Nadwah”; sementara itu teman mereka Zaini Dahlan menyusul sehingga mereka menjadi bertiga. Karena merasa kurang puas, mereka tinggal di sana hanya selama 3 bulan dan mencari tempat lainnya.  Ketika di Sumatra mereka pernah membaca dari “Cahaya Sumatra” tentang  Khawaja Kamalud Din yang pernah menjadi Imam Mesjid di London (Woking) datang ke Jawa memberikan pidato tentang kebesaran dan ketinggian Islam. Seingat mereka Kamalud Din tinggal di Lahore, karena itu mereka berusaha mencari alamat dari Islamic College dekat kerumah-nya.  Karena Khwaja Kamalud Din sedang berada di London, ketiga pemuda ini diterima oleh Assistennya seorang Hafidz Qur’an bernama Maulana Abdussatar, yang ternyata diam2 adalah pengikut Ahmadiyah Qadian yang mencari nafkah sebagai korektor tulisan Muhammad Ali, Ahmadiyah Lahore.
11)  Walaupun dilarang oleh Pimpinan Ahmadiyah Lahore, ketiga pelajar Sumatra ini memaksa untuk berangkat berziarah ke tempat suci Qadian tempat kelahiran Imam Mahdi, Mirza Ghulam Ahmad  Pendiri Jema’at Ahmadiyah;  dan ternyata mereka langsung diterima untuk belajar di Madrasah Ahmadiyah Qadian, dengan belajar bahasa Urdu selama 6 bulan terlebih dahulu.
12)  Setelah beberapa saat lamanya belajar di Qadian, ketiga pelajar ini tampaknya sangat menikmati pengalaman belajarnya; mereka merasa betah dan mendapatkan kemantapan dalam hati. Lalu ketiganya mulai berkirim surat kepada teman-temannya di Sumatra. Ternyata, tidak disangka banyak teman2nya yang tertarik dan menyusul ke Qadian. Di antara yang berangkat ke Qadian adalah H. Mahmud (Padang Panjang), Muhammad Nur (Lubuk Basung), Abdul Qayyum (Tapaktuan) Abdul Wahid juga, Muhammad Samin (Tapaktuan), Samsuddin (Rengat), Samsuddin Rao-rao (Batusangkar), Muhammad Jusyak (Sampur), Muhammad Ilyas (Padang Panjang), Hajiudin (Rengat), Abdul Aziz Shareef (Padang), Muhammad Idris dan Abdul Samik (Padang Panjang).

Kisah lebih rinci ada di “SEJARAH  MASUKNYA  AHMADIYAH  DI  INDONESIA” (Pipip Sumantri, Kawalu – Tasikmalaya;  Jum’at 14-2-2014; ketika Gunung Kelud di Jatim meletus;  yang abunya sampai juga di Tasik jam 9 pagi).

Tidak ada komentar: