Sabtu, 15 Februari 2014

SEJARAH MASUKNYA AHMADIYAH KE INDONESIA / NUSANTARA (1925)



Bismillahirahmanirrahiim
SEJARAH MASUKNYA AHMADIYAH  di INDONESIA (Nusantara)
Menyambut Seratus Tahun Ahmadiyah di Indonesia (1925 – 2025)

Pada tahun 1922 banyak murid-murid  lulusan “Sumatra Thawalib”  Padang Panjang pimpinan Dr. H. Karim Amarullah (Ayahanda Buya Hamka) yang berangkat ke luar negeri untuk melanjutkan pelajaran agama Islam di Perguruan Tinggi “Al-Azhar” di Kairo, Mesir.  Tetapi dua orang lulusan Sumatra Thawalib, yakni Abubakar Ayyub dan Ahmad Nuruddin mengikuti nasihat guru mereka, Zainuddin El Yunusi Labai dan Syeikh Ibrahim Parabek, yang mengatakan bahwa di Hindustan  banyak perguruan yang tinggi mutunya, lagipula ke Mesir sudah banyak orang yang pergi kesana.

Dari Padang mereka berangkat menuju Medan dan dari Pelabuhan Belawan menyeberang menuju Penang-Malaysia. Dari Penang belayar selama 6 hari – 6 malam tiba di Calcutta, India. Tujuan pertama mereka adalah Lucknow. Karena tidak tahu tempat ulama atau madrasah, oleh kusir delman mereka dibawa ke sebuah Madrasah di Faranggi Mahal, kemudian mereka tinggal dan belajar di Madrasah Nizhamiyah “Darun Nadwah”; sementara itu teman mereka Zaini Dahlan menyusul sehingga mereka menjadi bertiga. Karena merasa kurang puas, mereka tinggal di sana hanya selama 3 bulan dan mencari tempat lainnya.  Ketika di Sumatra mereka pernah membaca dari “Cahaya Sumatra” tentang  Khawaja Kamalud Din yang pernah menjadi Imam Mesjid di London (Woking) datang ke Jawa memberikan pidato tentang kebesaran dan ketinggian Islam. Seingat mereka Kamalud Din tinggal di Lahore, karena itu mereka berusaha mencari alamat dari Islamic College dekat kerumah-nya.  Karena Khwaja Kamalud Din sedang berada di London  (1), ketiga pemuda ini diterima oleh Assistennya seorang Hafidz Qur’an bernama Maulana Abdussatar.  Maulana memberikan pelajaran kepada mereka dengan tidak menggunakan kitab2 tafsir yang conventional seperti yang biasa mereka temukan, tetapi memberikan dalil-dalil dan agumentasi yang membuat pemuda2 ini terkesan dan membangkitkan rasa kekaguman mereka.
Ketika sampai pada ayat tentang Nabi Isa a.s., Mln. Abdussatar bertanya bagaimana pendapat guru2 mereka dan para ulama di Indonesia, yang mereka jawab bahwa ada dua pendapat yaitu 1) Nabi Isa masih hidup dengan badan kasarnya di langit, seperti pendapat  H.A. Karim Amarullah, tetapi kemudian berubah, seperti tercntum dalam “Al-Qaulus Shahih” yang menyatakan bahwa Nabi Isa telah wafat. Dan pendapat 2) Nabi Isa mungkin diangkat ke langit, dan mungkin juga pergi entah kemana  dan meninggal entah dimana; ini pendapat Zainuddin Labai Al-Yunusi. 
Abdussatar menerangkan bahwa sesungguhnya ada 3 pendapat, yaitu; 1) Orang Yahudi menganggap Isa ibnu Maryam, Jesus adalah seorang manusia biasa; 2) orang Muslim mengganggap  Jesus adalah seorang Nabi Utusan Tuhan dan  3)  Orang Kristiani mengganggap bahwa Jesus adalah Tuhan.  Mln. Abdussatar  selanjutnya Maulana menjelaskan bahwa (1) Nabi Isa telah wafat seperti semua Nabi-nabi lainnya dan (2) Keadaan dunia sekarang sudah rusak dan membutuhkan seorang dokter rohani. Dokter rohani itu ialah Imam Mahdi yang dijanjikan.
Pemuda2 Indonesia itu tidak menerima begitu saja pendapat Maulana Abdussatar tersebut, mereka mengirim surat kepada ulama-ulama di Sumatra meminta fatwa dan keterangan untuk menangkis pendapat Maulana tersebut dan ditekankan minta pandangannya agar jangan sampai terkecoh.  Tetapi surat2 mereka tidak berbalas, kecuali dari Syeikh Ibrahim Parabek yang menyatakan bahwa Nabi Isa telah wafat.  Oleh karena mereka tidak mempunyai senjata lagi untuk menangkis Maulana akhinya mereka bertekuk lutut dan membenarkan faham tersebut.
Ketiga pemuda ini yaitu Abubakar Ayyub, Ahmad Nuruddin dan Zaini Dahlan akhirnya bai’at bersama-sama di tangan Maulana Muhammad Ali, pemimpin Ahmadiyah Lahore  (2) (3) (4) (6) pada bulan Juli tahun 1923.
Pada suatu ketika timbul keinginan mereka untuk berziarah ke makam dan tempat kelahiran Hazrat  Imam Mahdi di Qadian. Abdussatar menasihatkan mereka agar minta izin terlebih dahulu kepada Sekretaris Jemaat Ahmadiyah Lahore  bernama Babu Manshuur. Ketika mereka menyatakan keinginannya, berubahlah air muka Sekretaris yang biasanya berseri-seri itu menjadi kecut. Ia mengatakan tidak baik kalau mereka pergi ke Qadian.  Sikap Sekretaris itu menjadi tanda tanya; mengapa tidak baik untuk mengunjungi tempat kelahiran Imam Mahdi? Apa salahnya berziarah ke tempat yang dianggap suci?
Hal ini disampaikan kepada gurunya, Maulana Abdussatar, dengan desakan supaya mereka diizinkan pergi; karena desakan itu Abdussatar  tidak dapat menyembunyikan lagi apa yang harus dirahasiakannya. Ia berkata:  Kalau kalian berhasrat betul-betul ingin belajar, tinggalkanlah Lahore dan pergilah ke Qadian, sebab di sanalah terdapat Pusat Ahmadiyah.”  Diakuinya bahwa ia hanya mencari nafkah bekerja pada Ahmadiyah Lahore sebagai korektor karangan2 Mln. Muhammad Ali. Ia sendiri bai’at di tangan Hazrat Khalifatul Masih II.
Sementara itu datanglah dari Qadian 10 orang pelajar Ahmadi yang akan ikut menempuh ujian gelar H.A. (Honour in Arabic) di Lahore. Mereka telah mendengar kedatangan Abubakar Ayyub dan kawan-kawan ke Lahore. Mereka datang menemui ketiga pemuda dari Sumatra itu di asramanya dan terjadi diskusi dan tanya-jawab antara lain mengnai fasilitas pendidikan di Qadian. Pemuda2 Sumatra ini semakin tertarik dan tidak sabar lagi untuk berangkat. Maka mereka meminta izin kepada pemimpin2 Ahmadiyah Lahore; umumnya mereka merasa sedih. Ketika mereka meminta izin kepada Dr. Mohammad Hussein, ia tampak marah dan melarang mereka pergi ke Qadian. Akan tetapi pemuda2 kita tetap pada pendiriannya, dengan alasan ingin belajar secara teratur. Diterangkan juga bahwa mereka tidak terikat dan bebas memilih tempat belajar.
Pada bulan Oktober 1923 berangkatlah mereka menuju Qadian. Dari Lahore naik kereta-api sampai Batala yang jaraknya 70 mil;  dan dari Batala ke Qadian mereka harus menempuh 11 mil lagi. Hujan menyebabkan jalan sangat becek, namun  ada suatu keanehan yang mereka rasakan; ada perasaan senang dan tenteram di dalam hati mereka. Yang mula-mula mereka lihat dari kejauhan adalah sebuah menara yang menjulang di atas sebuah bukit kecil, itulah yang dinamakan “Minaratul Masih”.
Kedatangan mereka diterima baik oleh keluarga Khalifatul Masih II dan keesokan harinya bisa bertemu langsung dengan Hazrat Khalifatul Masih II dan diberi izin untuk belajar di Madrasah Ahmadiyah, dengan harus terlebih dahulu belajar Bahasa Urdu selama 6 bulan, sebelum benar-benar memasuki Madrasah Ahmadiyah.
Setelah beberapa saat lamanya belajar di Qadian, ketiga pelajar ini tampaknya sangat menikmati pengalaman belajarnya; mereka merasa betah dan mendapatkan kemantapan dalam hati. Lalu ketiganya mulai berkirim surat kepada teman-temannya di Sumatra. Ternyata, tidak disangka banyak teman2nya yang tertarik dan menyusul ke Qadian. Di antara yang berangkat ke Qadian adalah H. Mahmud (Padang Panjang), Muhammad Nur (Lubuk Basung), Abdul Qayyum (Tapaktuan) dalam potret  ada pelajar Abdul Wahid duduk bersimpuh di depan Hazrat Khalifatul Masih dan M. Rahmat Ali, Muhammad Samin (Tapaktuan), Samsuddin (Rengat), Samsuddin Rao-rao (Batusangkar), Muhammad Jusyak (Sampur), Muhammad Ilyas (Padang Panjang), Hajiudin (Rengat), Abdul Aziz Shareef (Padang), Muhammad Idris dan Abdul Samik (Padang Panjang).
Singkat cerita, pada bulan Juli 1924 di masa studynya orang2 Sumatra di Qadian itu, Hazrat Khalifatul Masih II Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad mengadakan lawatan ke London, tepatnya di Wembley, beliau menghadiri konperensi keagamaan dan membawakan makalah “Ahmadiyyat or The True Islam”.  Khalifah kembali ke Qadian pada tanggal 24 Nopember 1924, seusai lawatannya di Inggris dan  ke beberapa Negara lainnya di Eropa Barat.
Seperti kebiasaan di Qadian, para pelajar Sumatra mengundang Hazrat Khalifah dalam suatu jamuan teh sambil mendengarkan oleh-oleh muhibahnya.  Para pelajar kita dengan permohonan dalam pidato seorang pelajar dengan suara yang amat memelas mengharapkan bahwa Huzur selain mengadakan kunjungan ke Barat, tetapi ke Timur juga. Ini direspon oleh Huzur dalam Bahasa Arab:   Bergembiralah dan janganlah berputus asa seperti mereka yang tidak beriman berputus asa. Sebagaimana wahyu Allah Taala  kepada Imam Mahdi a.s., Isa yang dijanjikan adalah personifikasi dari Dzulkarnain, saya adalah Khalifah dari Dzulkarnain. Sebagaimana Allah Taala telah memberi kekuatan rohani untuk menaklukkan Timur dan Barat, maka sebagai Khalifah berkewajiban untuk mewujudkannya. Yakinilah, dengan izin Allah Taala akan mengirimkan muballigh ke Negara Tuan-tuan”.
Sebagai realisasi dari pidato Huzur maka tidak lama kemudian diaturlah rencana pengiriman seorang muballigh muda –kelahiran tahun 1893- yang potensial bernama Rahmat Ali ke Sumatra. Rahmat Ali lulusan pertama Madrasah Ahmadiyah Qadian tahun 1917. Ia menjadi guru Bahasa Arab dan guru Agama di Ta’limul Islam High School di Qadian dan pada tahun 1924 dipindahkan ke Nizarat Da’wah Tabligh.  Sebelum berangkat, selama sebulan Rahmat Ali belajar bahasa Melayu dari buku “Empat Serangkai” yang dipesan oleh pelajar2 dari Sumatra.
Pada tanggal 15 Agustus 1925 berlangsung upacara pelepasan mujahid pertama untuk “Indonesia”, Maulvi Rahmat Ali H.A. O.T.  dengan wejangan yang tak ternilai harganya dari Imam Jema’at sebagai pegangan bagi Maulvi Rahmat Ali khususnya dan juga untuk mujahid-mujahid lainnya  Intinya  pidato wejangan itu adalah antara lain sebagai berikut:
1.      Jangan memakai cara-cara berdebat.
2.      Berbicaralah dengan ulama-ulama yang memiliki ilmu.
3.      Bicaralah dengan ulama-ulama yang memusuhi secara ber-empat mata.
4.      Bertablighlah kepada pemuka-pemuka masyarakat.
5.      Bertablighlah secara bertahap dan teratur. Pertama kepada golongan orang baik-baik dan kemudian kepada orang yang kurang / tidak baik.
6.      Setia dan taatlah pada kebijaksanaan pemerintah.
7.      Jangan mengambil muka kepada pemerintah, tetapi mintalah apa yang menjadi hak kamu.
8.      Dimana telah ada orang-orang Ahmadi bentuklah badan pengurus.
9.      Sibuklah berdoa setiap waktu.
10.   Kirimlah laporan secara teratur kepada ku (Khalifatul Masih) supaya situasi dapat dipantau.
11.  Ciptakanlah kebiasaan bertabligh pada orang-orang Ahmadi baru dan jadikanlah mereka contoh yang baik supaya orang-orang mengerti hakikat Ahmadiyah.
12.  Ciptakanlah perdamaian untuk keamanan umum dan pemerintah.
13.  Jauhilah politik supaya dapat berhubungan dengan masyarakat secara bebas.
14.  Bertablighlah dengan surat-menyurat. Tentukan tempat pertablighan.
15.  Jangan lalai dalam menjalankan tugas.
16.  Jagalah kewibawaan dan kehormatan diri sendiri dengan keagungan iman. Orang-orang akan masuk Ahmadiyah setelah melihat contoh yang baik.
17.  Majukan Jemaat dengan penuh keikhlasan.
Pada tanggal 17 Agustus 1925 Maulana Rahmat Ali dilepas oleh Hazrat Khalifatul Masih dan handai taulan dan semua para pelajar Sumatra.  Berangkat mulai dari Stasiun Kereta api Qadian yang baru selesai dibangun menuju Batala, kemudian dengan kereta-api ekspres menuju Calcutta, untuk selanjutnya menumpang kapal laut menuju Penang, Malaysia. Ketika menyeberang ke Sabang, Sumatra sempat ditahan oleh polisi untuk selama 15 hari karena banyak membaw buku-buku dalam Bahasa Arab dan Urdu, yang dicurigai bermuatan doktrin komunis. Setelah selesai diperiksa dan dibebaskan, Rahmat Ali melanjutkan perjalanan ke Tapaktuan Aceh Barat dan tiba di sana pada tanggal  2 Oktober 1925.  Demikianlah seorang mujahid muda Islam Ahmadiyah  memulai perjalanan pengembaraannya seorang diri di kepulauan Nusantara, yang sama sekali ia tidak kenal, meninggalkan istri, anak yang masih kecil, orang tuanya yang sudah renta dan meninggalkan sanak saudara.
Pendiri Jemaat Ahmadiyah berucap:
Aku datang selaku penebur benih, dan telah kusemaikan benih itu. Benih itu sekarang akan berkembang dan akan membesar, dan tiada seorang pun akan dapat mencegahnya.”

Keberadaan Ahmadiyah di dunia ini sudah lewat satu abad, bahkan  pada tahun 2014 ini sudah 125 tahun, satu jangka waktu yang cukup menjadi tolok ukur untuk menguji ke-absahannya menjadi suatu kekuatan yang mengukir sejarah, dan ternyata bisa berhasil menanggulangi tantangan zaman melalui evolusi dramatis dengan motto  Love for All and Hatred for None”.


Catatan kaki:
1)       Khwaja Kamaluddin (Punjab India 1870 – December 28, 1932) seorang Ahli Hukum keluaran Forman Christian College, Lahore. Pada tahun 1893 ia masuk Ahmadiyah dan menjadi teman dekat Mirza Ghulam Ahmad Pendiri Jemaat Ahmadiyah. Sebelum masuk Jemaat ia tadinya ingin dibaptis masuk Kristiani tetapi ia dapat diyakinkan oleh Mirza Ghulam Ahmad untuk tidak masuk Kristiani. Di Eropa Barat ada sebuah Mesjid Shah Jahan di Woking, 30 Mil di luar kota London dibangun pada tahun 1889 oleh Shah Jahan Begum dari Bhopal, India. Mesjid ini ditinggalkan dan terkunci antara tahun 1900 – 1912. Khwaja Kamal-ud-Din, yang tiba di London pada tahun 1913 di-instruksikan oleh Maulvi Nuruddin Khalifatul Masih I untuk meng-akusisi mesjid Woking tsb. dan mendirikan Woking Muslim Mission.
2)       Maulana Muhammad Ali dan Khwaja Kamaluddin sebagai ulama Ahmadiyah yang pintar, tersohor pernah tinggal dan berkhidmat di Qadian; beliau pun bai’at kepada Khalifatul Masih I Hazrat Maulana Al-Haj Nuruddin. Namun sehubungan wafatnya Maulana Nuruddin (13 Maret 1914), kemudian dengan terpilihnya Hazrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad – umur 25 tahun, lahir 12 Januari 1889 -  putra Pendiri Jemaat Ahmadiyah Mirza Ghulam Ahmad a.s. sebagai Khalifatul Masih II, mereka merasa kecewa dimana Muhammad Ali, Khawaja Kamaluddin dan kelompoknya a.l. Dr. Jacub Baig dan Dr. Mohammad Hussein memilih memisahkan diri dari Nizam Khilafat Jemaat Ahmadiyah Qadian dan pindah ke Lahore dengan mendirikan organisasi non-Khilafat yang dinamakan “Ahmadiyya Anjuman Isya’ati Islam” Lahore atau yang dikenal dengan “Ahmadiyah Lahore”.
3)       Ahmadiyah Lahore, karena organisasinya hanya merupakan “Anjuman” yang keluar atau memisahkan diri dari “Nizam Khilafat”, maka mereka perlu mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad hanyalah seorang Mujjadid atau Pembaharu atau  Reformer. Barangkali dengan beritikad demikian, merek pikir,  mereka bisa lebih mudah beradaptasi dengan mayoritas Islam Mainstream, dan tidak terikat dengan aturan Jemaat atau Nizam Khilafat.
4)       Perselisihan dan perpecahan dalam agama selalu ada. Agama suci Islam ketika baru saja Nabi Muhammad Rasulullah saw. wafat terjadi perselisihan besar di antara kaum Syi’ah Rafidhah atau “yang meninggalkan” dan mazhab “Ahli Sunnah wal Jama’ah” atau kaum “Sunni”; perselisihan dan bahkan sampai peperangan terus berlangsung sampai sekarang, terutama di Iraq, Iran, Afghanistan dan Pakistan. Perpecahan dalam Islam ni tidak berarti bahwa agama Islam dan Rasulullah saw. itu na’udzubillah min dzalik tidak benar, dan dipakai alasan untuk menolak kebenaran Nabi Muhammad saw. Perselisihan dan/ atau perpecahan hanyalah merupakan ujian atau trial bagi para pemgikutnya, untuk memilih mazhab atau partai mana yang benar-benar mengikuti keinginan dan wasiyat dari Nabi yang Utusan Allah tersebut. Perselisihan terjadi juga dalam pengikut Nabi Isa a.s. antara Katolik Roma, Katolik Yunani, Protestan, Protestan lawan Katolik terutama di Irlandia Utara dan Scotlandia, ada juga Sekte Unitarian (Ketuhanan yang Esa) dll.
5)       Perbandingan persentase pengikut Syi’ah dan Sunni di dunia saat ini adalah 10% berbanding 90%. Pada hakikatnya, Jemaat Ahmadiyah yang memiliki seorang Imam dan/atau seorang Khalifah dalam Islam untuk seluruh dunia  serta mengamalkan secara konsekwen 100% Sunnah (Tradisi dan Hadits) Nabi saw. dan mengamalkan Ajaran Alqur’an-ul Karim, adalah secara hakiki merupakan Mazhab “Ahli Sunnah wal Jama’ah”, yang tidak terdapat pada golongan Islam manapun Sekte Islam lainnya, yang sekarang menamakan dirinya sebagai “Islam Mainstream” itu.  Jemaat Ahmadiyah pada tahun 2013 sudah ada di 204 negara di dunia yang setiap saat senantiasa terus bertambah.
6)       Tahun 1924 dua pendakwah Ahmadiyah Lahore Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad Berkat Rahmatullah, datang ke Yogyakarta. Minhadjurrahman Djojosoegito, seorang sekretaris di organisasi Muhammadiyah, mengundang Mirza dan Maulana untuk berpidato dalam Muktamar ke-13 Muhammadiyah, dan menyebut Ahmadiyah sebagai "Organisasi Saudara Muhammadiyah". Djojosoegito dikeluarkan dari Muhammadyah dan mendirikan “Gerakan Ahmadiyah Lahore”; yang bergerak di bidang pendidikan dengan mendirikan Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI) di Yogja dan menerbitkan terjemahan buku-buku Ahmadiyah ke dalam Bahasa Indonesia. Sebelumnya tahun 1960 Djojosoegito pun sudah menterjemahkan Alqur’an Ahmadiyah ke dalam Bahasa Belanda, yang banyak dipakai sebagai rujukan oleh orang2 tua dulu di sini yang biasa ngomong Walanda.
7)       Pada tahun 1935 Pak Nanie Sudarma sebagai wartawan “Sipatahunan”, ketika akan keluar pintu rumah koppel ditanya oleh tetangga sebelah mau kemana dan dijawab akan meliput Muktamar Ahmadiyah (Lahore )  di Naripan Bandung, tetangga tadi mengatakan bahwa dalam menghadapi orang Ahmadiyah sih harus pakai bedog / golok. Perkataan tetangganya itu membuat Nanie Sudarma penasaran dan terheran-heran. Selanjutnya beliau mendapat kiriman satu peti buku2 Ahmadiyah (Lahore) dan dibaca siang malam sehingga bai’at masuk Ahmadiyah Lahore. Ketika Nanie Sudarma (Pemimpin Majalah Sunda “WARGA” Bogor) kemudian menjadi mertua penulis di Bogor (1961) Sudarma sudah menjadi pengikut Jemaat Ahmadiyah Indonesia (Qadian) yang pada tahun 1940-an sering berhubungan dengan Mln. Rahmat Ali HA OT dan Kartaatmaja di Petojo Udik Jakarta dan Bahrum Rangkuti juga.
8)       Daftar rujukan:  “Suvenir Peringatan Seabad Gerhana Bulan & Gerhana Matahari Ramadhan 1894-1994” – Bukti Tanda Samawi di Langit tentang kedatangan Imam Mahdi sesuai Hadits Nabi saw. , “Souvenir A Glimpse of Ahmadiyya in Indonesia” – 1995, “Syarif Ahmad Saitama Lubis DARI AHMADIYAH UNTUK BANGSA” – 2006. “KEBENARAN AL-MASIH AKHIR ZAMAN” M. Rahmat Ali H.A.O.T. 1947”, “Google - Wikipedia”

PPSi / Kawalu, Tasikmalaya – Jum’at 14 Februari 2014.  

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Ahmadiyah memang banyak dipertanyakan

Unknown mengatakan...

Keberadaan Ahmadiyah di Indonesia masih menjadi perdebatan, komentar balik ya ke blog saya www.goocap.com