Selasa, 06 Mei 2014

Perjuangan Jemaat Ahmadiyah Awwalin Kawalu - Tasikmalaya - updated 7 Mei 2014

Perjuangan Jemaat Awwalin Kawalu 1942 – 1950   (PPSi/Kawalu : 7-5-2014)
Ma  Enah, Nenah Hunaenah – Anggota Jemaat Kawalu:  Sabtu 29/4/1922 –  W Selasa  22/4/2014

Satu orang lagi Ma Enah,  Ny. Nenah Hunaenah anggota Jemaat Ahmadiyah awwalin Cabang Kawalu telah meninggalkan kita (di RS TMC 22 April 2014) Inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun. (1)  Almarhumah bersama suaminya – Maman Lukman Yudawinata (Wa Maman) yang keluaran Pesantren Sukamanah /Singaparna adalah orang Kawalu yang pertama kali bai’at pada akhir tahun 1941 setelah ditablighi oleh H. Zaenal - Sengkol Kawalu, yang masuk Ahmadiyah ditablighi oleh Syarif – Cisaat/ Sukapura/ Sukaraja , teman bisnisnya yang sudah baiat di Tasikmalaya. Seminggu kemudian disusul dengan bai’atnya Abdul Manan (Mang Enop) beserta istrinya Bi Edoh Jubaedah anak H.Djahuri dan Siti Eha Djulaeha.  Kedua pemuda tersebut adalah santri2 dari Pesantren Sukamanah yang ikut GP Gerakan Pemuda Ansor NU yang pada awalnya ditugaskan untuk menjegal perkembangannya Jemaat Ahmadiyah Tasik, Cabang No. 04 yang didirikan pada tanggal 1 Mei 1941 oleh Muballigh asal India Malik Aziz Ahmad Khan suami Tatan Hasanah – Garut (2), dengan Ketua Cabangnya Rasli. Tetapi justru keluarga Wa Maman dan Mang Enop inilah yang bai’at masuk Jemaat Ahmadiyah.  Sebulan kemudian ba’at pula Wa Guru Ibrahim –dan istrinya Wa Uwe Juwariah yang adalah kakaknya Wa Maman dan Surya Sujana  yang masih bujangan.

Maka gemparlah sekampung dan sekecamatan Kawalu dengan bai’atnya  keluarga Wa Maman dan Wa Uwe yang tinggal dirumah orang-tuanya di Tanjung-Kawalu dan Mang Enop di Pasanggrahan, dengan melihat bahwa mereka itu tidak lagi sembahyang Jum’at di mesjid setempat, tetapi Jum’atan-nya pergi ke Tasikmalaya.  Rumahnya dilemparin dan mereka akhirnya diusir dari rumah orang-tuanya, dan Wa Guru pun dipecat dari sekolahnya. Dengan ditolong oleh a.l. Pak Sadkar Garut yang kebetulan sedang ada di Tasik dan Jemaat dari Sukapura maka dengan 2 delman keluarga wa Maman dan wa Uwe diungsikan pertama-tama ke Sukapura, kemudian pindah ke Tasik kota.. Terjadilah pabetot-betot/ saling tarik tangan wa Uwe oleh keluarga Tanjung yang menahannya jangan pergi dan oleh wa Maman yang akan membawanya pergi, dan balita Endang Hidayath (“Nangnah” atau nama Undang-wa Enah 2 tahun,  25/2/1940 – W 30/3/1998) dipanggilnya kicik-kicik seperti terhandap seekor anak an....  Ketika delman berjalan disoraki orang-orang sekampung:  Mirza! Mirza! katanya.  Keluarga bi Edoh - Mang Enop pun mengungsi ke Cicariang.  Ketika beberapa hari kemudian Ma Enah, Wa Uwe dan Bi Edoh bertiga naik delman dengan seorang anak perempuan Aan Yohansah 3,5 tahun (Aan Yohansah, anak Ma Enah tetapi dipinjam atau dikukut oleh Wa Uwe sejak umur 1 tahun bahkan sampai dewasa, karena waktu itu Ma Enah akan melahirkan anak yang kedua Nangnah tersebut tadi. Aan yang punya Dewi Optik di Roxy dulu, 17/7/1938 – W 25/2/1977); mengambil barang-barangnya yang tertinggal, ketika meliwati mesjid umum  di Cipawela delmannya dilempari tahi kuda.  Sampai dirumah Aan dimandiin karena ada tahi kuda yang masuk ke telinga. Konon 5 tahun kemudian yaitu pada tahun 1947 tempat tersebut dibombardir oleh pesawat terbang Mustang Belanda rumah-rumah kayu terbakar dan rakyat yang meninggal ada 9 orang; sedangkan pejuang Republik masuk dilubang2 perlindungan.  Baca juga nanti sejarah perjuangan kemerdekaan R.I. seperti yang diceritakan oleh “Nangdoh” atau Undang Bi Edoh (3 tahun)  anak Mang Enop.  Undang Abdurrahman adalah anak balita ketiga yang mengalami pengusiran karena masuk Jemaat Ahmadiyah tadi.  Undang Abdurahman lahir 10/12/1939 sekarang anggota Jemaat Cabang Serua, Pamulang.

Walaupun terjadi perlawanan orang2 sekampung dan juga pengusiran tadi, tetapi Alhamdulillah banyak anggota2 keluarga Wa Maman / Ma Enah dan keluarga Mang Enop/ Bi Edoh yang masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah di Kawalu, seperti antara lain:  Encen Winata paman Edoh, Oyo Karyo polisi menantu Encen, Nenek Kayah istri Sulaeman, Momon Ahmad Makmun dan Kioh bin Sulaeman,  Obing / Pioh, Elon Dahlan dan istrinya Enok Kuraesin,  Enjum bai’at sedangkan suaminya Uca Musa hanya simpatisan – ortu Arif Dastaman Pusdik Parung, Makmur suami Atik Suwartika binti Uca Musa, Husen – Acin Kuraesin ortu Memet Rahmat Parung dan ortu Ema Rohimah istri Sulaeman Muhtar/ Sulaeman Dolar, M. Jaffar Mantri polisi Kawalu yang kemudian menjadi Pejabat Pemda Kab. Tasik; Didi Kantadireja Sukapura dan anaknya Adang Havid Kawalu, Lili Ramli, Djohan Kardjadinata Cisaat / Urug dan anak-anaknya Uwos Achmad Rosjadi dll.
Sebenarnya ada hikmahnya dengan bai’atnya masuk Ahmadiyah Wa Maman dan Mang Enop pada tahun 1942 yang tadinya santri Pesantren Sukamanah itu, karena seperti tercatat dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, K.H. Zaenal Mustafa (Pahlawan “HZ”) pemimpin Pesantren Sukamanah itu senantiasa menentang Penjajah Jepang yang datang menyerbu Penjajah Belanda di Pulau  Jawa pada tanggal 8 Maret 1942;  antara lain HZ menolak untuk “seikerei” penghormatan dengan membungkuk ke arah Tokyo – Jepang, yang dikatakannya sebagai musyrik. HZ terus menggalang kekuatan para santri untuk menentang dan melawan Jepang, sehingga berkali-kali HZ ditangkap dan dipenjarakan.  Gerakan HZ terakhir ialah pada tanggal 1 Maulud 1363 H mengadakan gerakan terhadap Jepang untuk memerdekakan Pulau Jawa terhitung tanggal 25 Februari 1944.  Pada peristiwa ini lebih kurang 800 orang yang ditangkap Jepang dan dipenjarakan, sedangkan 23 orang termasuk HZ dibawa ke Bandung terus ke Jakarta dan hilang tak tentu rimbanya.  Belakangan setelah diselidiki ternyata semuanya itu telah di-eksekusi di Erevel Belanda Ancol pada tanggal 25 Oktober 1944.  Pada tanggal 25 Agustus 1973 semua jasad almarhum dipindahkan ke Taman Pahlawan HZ di Sukamanah – Sukarame Tasikmalaya.

Penekanan dari orang-orang Islam keras yang sebenarnya masih orang sadulur / baraya juga terhadap orang-orang Ahmadi Kawalu itu masih terus berlanjut, tetapi orang-orang yang zalim ini umumnya umurnya hanya mencapai 30 tahunan saja.  Pengungsian orang Jemaat Kawalu terus berlanjut yaitu terutama dalam masa perjuangan mempertahankan Kemerdekaan R.I. tahun 1946 ketika Belanda datang menyerbu kembali ke Pulau Jawa, sedangkan di belakang S.M. Kartosoewiryo membuat gerakan Islam aliran ekstrim kanan Darul Islam dan Sabilillah, Hizbullah,  di mana Kartosoewiryo memberikan pesan “hapuskan Ahmadiyah”!  Tahun 1947 Mang Enop mengungsi ke Leuwikiara, menjahit tetap di Cicariang. Ini seperti diceritakan oleh Mang Enop kepada Nangdoh anaknya.  Orang mengatakan, menghadapi Belanda kita masih bisa bicara tetapi dengan D.I  satu kali berkata yang kedua kalinya golok yang melayang!  Sebelum terjadi Serangan Umum 1 Maret 1949, Jemaat mengadakan Sembahyang Jum’at di rumah H. Zaenal Abidin di Sengkol, dekat Kuwu Sahdi. Adapun Mang Enop katanya mendapat tugas dari Jenderal Soedirman dalam penyediaan logistik.  Ketika pejuang pulang menyebu tangsi Belanda yang menempati RSUD, mau ngasih makan tidak ada beras,  ada yang punya padi sedikit ditumbuk dahulu, untuk lauknya ada orang Jemaat tukang kerupuk. Pejuang Republik berjalan menyisir ke arah Barat melewati kampung2 menghindari Jalan Raya, baru 1 km lewat jalan besar di sesudahnya Cisumur menuju Saguling datang 2 tank baja bren carrier. Belanda masuk ke rumah H. Zaenal. Katanya, saya Nangdoh 10 tahun, bu Edoh gendong Idah 2 th., Liah 8 tahun dan Popon 6 th disuruh duduk berderet. Mang Enop,  H. Djunaedi dan seorang pemuda Jemaat dibawa oleh Belanda, disuruh menyingkirkan barikade dari pohon juar yang besar2 sambil dipukuli Belanda dengan pohpor bedil. Belanda tanya berapa orang pengacau, maksudnya pejuang Republik yang bergerak ke Yogya? Yang dijawab ada ribuan lah!

Pada saat TNI sedang sibuk bergerak meninggalkan Jawa Barat, Kartosoewiryo, yang lahir di Cepu 7 Januari 1907 bergerak untuk mendirikan Negara Islam Indonesia – NII, mereka menggerakkan Hizbullah dan Sabilillah (Gunung Cupu)  dan Masyumi juga untuk 3 Kabupaten:  Garut, Tasik dan Ciamis. Mereka mengadakan rapat pada tanggal 10-11 Februari 1948 di Cisayong. N I I diproklamirkan pada tanggal 7 Agustus 1949 di Tasikmalaya.  Kartosoewiyo dapat ditangkap di dalam gubuknya di Gunung Rakutak, Pacet Bandung Selatan tanggal 4 Juni  1962.  Pengadilan Mahadper (Mahkamah Darurat Perang) tanggal 16-8-1962 memutuskan bahwa perjuangan Kartosoewiryo untuk mendirikan NII adalah sebuah pemberontakan dan kepadanya dijatuhi hukuman mati.  Kartosoewiryo menganggap tidak perduli atas keputusan Mahadper tersebut;  seperti yang diceriterakan oleh petugas eksekusi di P. Ubi Kepulauan Seribu “mujahid Islam” – seperti yang mereka katakan –  3 hari sebelumnya di-eksekusi (5 Sept. 1962) Kartosoewiryo, masih bisa tidur nyenyak (merasa tidak akan bisa ditembus peluru, barangkali) ,  padahal petugas eksekusinya sama sekali tidak bisa tidur; demikian yang katanya tertulis dalam “Tempo” tahun 1983.

Perjuangan Jemaat Awwalin Kawalu masih terus berlanjut, tokoh2 Jemaat Ahmadiyah Kawalu, seperti Wa Maman dan Mang Enop itu terpaksa harus berkali-kali mengungsi dari rumahnya karena seperti di awal tulisan ini pertama kali (tahun 1942) diusir dari rumah orang tuanya oleh orang2 sekampung dikarenakan masuk Ahmadiyah yakni kalau salat Jum’at-nya pergi ke Mesjid Ahmadiyah di Nagarawangi Tasik, kemudian dengan datangnya Jepang ke Pulau Jawa mengalahkan Belanda harus sembunyi agar jangan sampai ditangkap oleh Kenpetai Jepang dan masuk penjara dikarenakan fitnah dari Masjumi yang merupakan bagian dari gerakan D.I. / NII yang ingin menghapuskan Ahmadiyah, seperti yang terjadi pada beberapa tokoh-tokoh Jemaat dan Muballigh Ahmadiyah Singaparna dan Tasik saat itu, alhamdulillah semuanya dibebaskan kembali karena terbukti tidak bersalah. Setelah Jepang kalah dan Belanda masuk kembali (tahun 1946) harus mengungsi karena Belanda melakukan serangan dan serbuan terhadap TNI pejuang kemerdekaan  R.I.  Ketika pada tahun 1949 TNI hijrah ke Yogya, maka gerombolan D.I. merajalela di Kawalu dan Tasik; sehingga kalau malam hari tidak berani tidur di rumah sendiri dan mengungsi ke rumah orang lain, yang terus dicari karena orang2 D.I. ini berasal dari baraya sendiri yang anti Ahmadiyah, jadi mereka tahu kemana harus mencarinya. Adalah karunia pertolongan dan perlindungan  Allah semata tokoh2 Ahmadi ini bisa lolos dari kejaran DI tersebut; contohnya mereka yang masih baraya ini tahu tokoh Wa Maman itu tidur di rumah siapa, tetapi ketika diterangi dengan batere satu persatu muka orang yang tidur itu, D I berkata bukan yang ini, enggak ada katanya.  Sekembalinya  dari Yogya TNI pun sibuk mengejar gerombolan D.I. tersebut, sehingga kalau terdengar ada yang sembunyi diloteng atap dari bilik langsung saja didreded,  ....., itulah Abidin tokoh DI,  yang kapi pamannya Bu Yuyu; hanya darahnya yang tampak ngucur ke bawah ..... 

Kembali cerita, setelah diusir dari Tanjung itu, wa Ibrahim dipecat dari guru, lalu ngungsi ke beberapa tempat diantaranya, ke Sukapura (rumah pak Syarif), Cicariang (rumah pak Abdul Manan atau mang Enop) dan ke Sengkol (rumah Haji Zenal). Lalu diangkat jadi guru di Rajapolah, namun setelah beberapa lama karena Kepala Sekolahnya tahu kalau wa Ibrahim itu Ahmadiyah, dia sangat takut diintimidasi oleh orang-orang yang anti Ahmadiyah. Lalu dipindahkan lagi ke Cigalontang di Singaparna, diajak oleh mang guru Jaya yang orang Jemaat juga. Saat itulah terjadi ancaman penculikan pertama dari DI/TII yang gagal karena terselamatkan oleh bentroknya dua kelompok gerombulan DI Hizbullah dan Sabilillah yang bermula dari saling ledek. Demi keamanan, lalu wa Ibrahim kembali pindah ke Kawalu saat agresi ke dua Belanda, dua kali pindah sewa rumah sampai membuat rumah panggung di tengah sawah di Kawalu itu. Uwa Ibrahim saat itu tidak bekerja, hanya sibuk ngurus sawah saja. Saat itulah terjadi lagi rencana penculikan akibat menolak tawaran mereka untuk dijadikan Bupati NII Tasilmalaya, karena melihat jumlah gerombolan D I  yang datang banyak untuk menculik dan terlihat dari jumlah obor yang mendatangi rumah panggung di tengah sawah itu, maka wa Ibrahim dengan memakai beberapa rangkap pakaian dan keperluan lain secukupnya, wa Ibrahim menyelusup ke belakang rumah yang kebetulan saat itu padi sudah tubuh tinggi. Dengan memotong jalan, sampailah di rumah mang Engkos Koswara yang kebetulan dia perwira TNI di Jajaway yang boleh dikatakan komplek militer saat itu. Mang Engkos adalah suami dari bi Engkar Tejaningsih adik dari uwa Ibrahim. Tidak berapa lama wa Ibrahim ditarik untuk bekerja di Dinas P&K Kabupaten Tasikmalaya, kemudian pindah ke Empang Sari, dan menyewa rumah untuk diisi bersama dengan mang Maman Lukman, Aki atau Mang Irin Sobirin yang terakhir jadi suaminya bi Yoyoh setelah pisah dengan mang Muhtar. Setelah mulai aman, maka merekapun berpisah, wa Ibrahim pindah ke Babakan Payung, mang Maman Lukman ke Cibaregbeg di depan Asia Plaza sekarang, aki Irin Sobirin, yang anaknya Enci Ulsi atau nenek dari Ma Enah itu, kembali ke Cicariang . Aki dan yang juga Emang Irin Sobirin ini ngungsi dari kejaran  gerombolan DI itu bukan karena masuk Ahmadiyah, tetapi karena bekerja dengan Walanda dan dianggap sebagai antek-antek Walanda.

Di zaman pemerintahan D.I. Kartosuwiryo  tidak berani berjalan jauh ke kota, beberapa kali sembahyang Jum’at di Sengkol. Imam Jemaat, Hudhur Khalifatul Tsani r.a. menasihati jangan ngungsi! Tetapi dekati mereka dan tablighi;  diantara keluarga yang masuk D I., contohnya Aki Udju menjadi simpati kepada Ahmadiyah, H. Mohammad Toha tokoh N.U. mengatakan “Ahmadiyah benar”;  cuma akang belum berani masuk Ahmadiyah, demikian dikatakannya kepada Mang Enop.

Catatan kaki:
1.        Nenah Hunaenah  (92 tahun) istri Maman Lukman Yudawinata (18 April 1917 – W 14 April 2000) adalah orang tua dari antara lain  Ny. Euis Herlina (istri Pipip Sumantri)  dan Ny. Uun Roswati  (istri Adang Suhendar)  - mantan anggota P.B. Jemaat Ahmadiyah Indonesia.

2.        Raffi Faridz Ahmad (actor/presenter) adalah anak dari Munawar Ahmad bin Malik Aziz Ahmad Khan dari ibunya Amy Qanita putra Brig.Jen Pol. Suriahaminata mantan Ketua atau Wakil Ketua PB Jemaat Ahmadiyah sampai tahun 1980.

Tidak ada komentar: