Perjuangan
Jemaat Awwalin Kawalu 1942 – 1950 (PPSi/Kawalu : 7-5-2014)
Ma
Enah, Nenah Hunaenah – Anggota Jemaat
Kawalu: Sabtu 29/4/1922 – W Selasa
22/4/2014
Satu orang lagi Ma Enah, Ny. Nenah Hunaenah anggota Jemaat Ahmadiyah
awwalin Cabang Kawalu telah meninggalkan kita (di RS TMC 22 April 2014) Inna
lillahi wa inna ilaihi raji’uun. (1)
Almarhumah bersama suaminya – Maman Lukman Yudawinata (Wa Maman) yang
keluaran Pesantren Sukamanah /Singaparna adalah orang Kawalu yang pertama kali
bai’at pada akhir tahun 1941 setelah ditablighi oleh H. Zaenal - Sengkol Kawalu,
yang masuk Ahmadiyah ditablighi oleh Syarif – Cisaat/ Sukapura/ Sukaraja ,
teman bisnisnya yang sudah baiat di Tasikmalaya. Seminggu kemudian disusul
dengan bai’atnya Abdul Manan (Mang Enop) beserta istrinya Bi Edoh Jubaedah anak
H.Djahuri dan Siti Eha Djulaeha. Kedua
pemuda tersebut adalah santri2 dari Pesantren Sukamanah yang ikut GP Gerakan
Pemuda Ansor NU yang pada awalnya ditugaskan untuk menjegal perkembangannya Jemaat
Ahmadiyah Tasik, Cabang No. 04 yang
didirikan pada tanggal 1 Mei 1941 oleh
Muballigh asal India Malik Aziz Ahmad
Khan suami Tatan Hasanah – Garut (2), dengan Ketua Cabangnya
Rasli. Tetapi justru keluarga Wa Maman dan Mang Enop inilah yang bai’at masuk Jemaat
Ahmadiyah. Sebulan kemudian ba’at pula Wa
Guru Ibrahim –dan istrinya Wa Uwe Juwariah yang adalah kakaknya Wa Maman dan
Surya Sujana yang masih bujangan.
Maka gemparlah sekampung dan sekecamatan Kawalu
dengan bai’atnya keluarga Wa Maman dan
Wa Uwe yang tinggal dirumah orang-tuanya di Tanjung-Kawalu dan Mang Enop di Pasanggrahan,
dengan melihat bahwa mereka itu tidak lagi sembahyang Jum’at di mesjid
setempat, tetapi Jum’atan-nya pergi ke Tasikmalaya. Rumahnya dilemparin dan mereka akhirnya
diusir dari rumah orang-tuanya, dan Wa Guru pun dipecat dari sekolahnya. Dengan
ditolong oleh a.l. Pak Sadkar Garut yang kebetulan sedang ada di Tasik dan
Jemaat dari Sukapura maka dengan 2 delman keluarga wa Maman dan wa Uwe
diungsikan pertama-tama ke Sukapura, kemudian pindah ke Tasik kota.. Terjadilah
pabetot-betot/ saling tarik tangan wa Uwe oleh keluarga Tanjung yang menahannya
jangan pergi dan oleh wa Maman yang akan membawanya pergi, dan balita Endang
Hidayath (“Nangnah” atau nama
Undang-wa Enah 2 tahun, 25/2/1940 – W
30/3/1998) dipanggilnya kicik-kicik seperti terhandap seekor anak an.... Ketika delman berjalan disoraki orang-orang
sekampung: Mirza! Mirza! katanya. Keluarga bi Edoh - Mang Enop pun mengungsi ke
Cicariang. Ketika beberapa hari kemudian
Ma Enah, Wa Uwe dan Bi Edoh bertiga naik delman dengan seorang anak perempuan Aan Yohansah 3,5 tahun (Aan Yohansah,
anak Ma Enah tetapi dipinjam atau dikukut oleh Wa Uwe sejak umur 1 tahun bahkan
sampai dewasa, karena waktu itu Ma Enah akan melahirkan anak yang kedua Nangnah tersebut tadi. Aan yang punya Dewi
Optik di Roxy dulu, 17/7/1938 – W 25/2/1977); mengambil barang-barangnya yang
tertinggal, ketika meliwati mesjid umum di Cipawela delmannya dilempari tahi
kuda. Sampai dirumah Aan dimandiin
karena ada tahi kuda yang masuk ke telinga. Konon 5 tahun kemudian yaitu pada
tahun 1947 tempat tersebut dibombardir oleh pesawat terbang Mustang Belanda
rumah-rumah kayu terbakar dan rakyat yang meninggal ada 9 orang; sedangkan
pejuang Republik masuk dilubang2 perlindungan. Baca juga nanti sejarah perjuangan kemerdekaan
R.I. seperti yang diceritakan oleh “Nangdoh”
atau Undang Bi Edoh (3 tahun) anak Mang
Enop. Undang Abdurrahman adalah anak
balita ketiga yang mengalami pengusiran karena masuk Jemaat Ahmadiyah
tadi. Undang Abdurahman lahir 10/12/1939
sekarang anggota Jemaat Cabang Serua, Pamulang.
Walaupun terjadi perlawanan orang2 sekampung dan
juga pengusiran tadi, tetapi Alhamdulillah banyak anggota2 keluarga Wa Maman /
Ma Enah dan keluarga Mang Enop/ Bi Edoh yang masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah di
Kawalu, seperti antara lain: Encen
Winata paman Edoh, Oyo Karyo polisi menantu Encen, Nenek Kayah istri Sulaeman,
Momon Ahmad Makmun dan Kioh bin Sulaeman, Obing / Pioh, Elon Dahlan dan istrinya Enok
Kuraesin, Enjum bai’at sedangkan
suaminya Uca Musa hanya simpatisan – ortu Arif Dastaman Pusdik Parung, Makmur
suami Atik Suwartika binti Uca Musa, Husen – Acin Kuraesin ortu Memet Rahmat
Parung dan ortu Ema Rohimah istri Sulaeman Muhtar/ Sulaeman Dolar, M. Jaffar
Mantri polisi Kawalu yang kemudian menjadi Pejabat Pemda Kab. Tasik; Didi
Kantadireja Sukapura dan anaknya Adang Havid Kawalu, Lili Ramli, Djohan
Kardjadinata Cisaat / Urug dan anak-anaknya Uwos Achmad Rosjadi dll.
Sebenarnya ada hikmahnya dengan bai’atnya masuk
Ahmadiyah Wa Maman dan Mang Enop pada tahun 1942 yang tadinya santri Pesantren
Sukamanah itu, karena seperti tercatat dalam sejarah perjuangan kemerdekaan
Indonesia, K.H. Zaenal Mustafa (Pahlawan
“HZ”) pemimpin Pesantren Sukamanah
itu senantiasa menentang Penjajah Jepang yang datang menyerbu Penjajah Belanda
di Pulau Jawa pada tanggal 8 Maret
1942; antara lain HZ menolak untuk
“seikerei” penghormatan dengan membungkuk ke arah Tokyo – Jepang, yang
dikatakannya sebagai musyrik. HZ terus menggalang kekuatan para santri untuk
menentang dan melawan Jepang, sehingga berkali-kali HZ ditangkap dan
dipenjarakan. Gerakan HZ terakhir ialah
pada tanggal 1 Maulud 1363 H mengadakan gerakan terhadap Jepang untuk
memerdekakan Pulau Jawa terhitung tanggal 25 Februari 1944. Pada peristiwa ini lebih kurang 800 orang
yang ditangkap Jepang dan dipenjarakan, sedangkan 23 orang termasuk HZ dibawa
ke Bandung terus ke Jakarta dan hilang tak tentu rimbanya. Belakangan setelah diselidiki ternyata
semuanya itu telah di-eksekusi di Erevel Belanda Ancol pada tanggal 25 Oktober 1944. Pada tanggal 25 Agustus 1973 semua jasad
almarhum dipindahkan ke Taman Pahlawan HZ di Sukamanah – Sukarame Tasikmalaya.
Pada saat TNI sedang sibuk bergerak meninggalkan
Jawa Barat, Kartosoewiryo, yang lahir di Cepu 7 Januari 1907 bergerak untuk
mendirikan Negara Islam Indonesia – NII, mereka menggerakkan Hizbullah dan
Sabilillah (Gunung Cupu) dan Masyumi
juga untuk 3 Kabupaten: Garut, Tasik dan
Ciamis. Mereka mengadakan rapat pada tanggal 10-11 Februari 1948 di Cisayong. N
I I diproklamirkan pada tanggal 7 Agustus 1949 di Tasikmalaya. Kartosoewiyo dapat ditangkap di dalam gubuknya
di Gunung Rakutak, Pacet Bandung Selatan tanggal 4 Juni 1962. Pengadilan Mahadper (Mahkamah Darurat Perang) tanggal
16-8-1962 memutuskan bahwa perjuangan Kartosoewiryo untuk mendirikan NII adalah
sebuah pemberontakan dan kepadanya dijatuhi hukuman mati. Kartosoewiryo menganggap tidak perduli atas
keputusan Mahadper tersebut; seperti
yang diceriterakan oleh petugas eksekusi di P. Ubi Kepulauan Seribu “mujahid
Islam” – seperti yang mereka katakan – 3
hari sebelumnya di-eksekusi (5 Sept. 1962) Kartosoewiryo, masih bisa tidur nyenyak (merasa tidak akan bisa ditembus peluru,
barangkali) , padahal petugas
eksekusinya sama sekali tidak bisa tidur; demikian yang katanya tertulis dalam
“Tempo” tahun 1983.
Perjuangan Jemaat Awwalin Kawalu masih terus
berlanjut, tokoh2 Jemaat Ahmadiyah Kawalu, seperti Wa Maman dan Mang Enop itu
terpaksa harus berkali-kali mengungsi dari rumahnya karena seperti di awal
tulisan ini pertama kali (tahun 1942) diusir dari rumah orang tuanya oleh
orang2 sekampung dikarenakan masuk Ahmadiyah yakni kalau salat Jum’at-nya pergi
ke Mesjid Ahmadiyah di Nagarawangi Tasik, kemudian dengan datangnya Jepang ke
Pulau Jawa mengalahkan Belanda harus sembunyi agar jangan sampai ditangkap oleh
Kenpetai Jepang dan masuk penjara dikarenakan fitnah dari Masjumi yang
merupakan bagian dari gerakan D.I. / NII yang ingin menghapuskan Ahmadiyah,
seperti yang terjadi pada beberapa tokoh-tokoh Jemaat dan Muballigh Ahmadiyah Singaparna
dan Tasik saat itu, alhamdulillah semuanya dibebaskan kembali karena terbukti
tidak bersalah. Setelah Jepang kalah dan Belanda masuk kembali (tahun 1946)
harus mengungsi karena Belanda melakukan serangan dan serbuan terhadap TNI
pejuang kemerdekaan R.I. Ketika pada tahun 1949 TNI hijrah ke Yogya,
maka gerombolan D.I. merajalela di Kawalu dan Tasik; sehingga kalau malam hari
tidak berani tidur di rumah sendiri dan mengungsi ke rumah orang lain, yang
terus dicari karena orang2 D.I. ini berasal dari baraya sendiri yang anti
Ahmadiyah, jadi mereka tahu kemana harus mencarinya. Adalah karunia pertolongan
dan perlindungan Allah semata tokoh2
Ahmadi ini bisa lolos dari kejaran DI tersebut; contohnya mereka yang masih
baraya ini tahu tokoh Wa Maman itu tidur di rumah siapa, tetapi ketika
diterangi dengan batere satu persatu muka orang yang tidur itu, D I berkata
bukan yang ini, enggak ada katanya. Sekembalinya
dari Yogya TNI pun sibuk mengejar gerombolan D.I. tersebut, sehingga
kalau terdengar ada yang sembunyi diloteng atap dari bilik langsung saja
didreded, ..... , itulah Abidin tokoh DI, yang kapi pamannya Bu Yuyu; hanya darahnya yang tampak
ngucur ke bawah .....
Kembali cerita, setelah diusir dari Tanjung itu, wa Ibrahim dipecat dari guru,
lalu ngungsi ke beberapa tempat diantaranya, ke Sukapura (rumah pak Syarif),
Cicariang (rumah pak Abdul Manan atau mang Enop) dan ke Sengkol (rumah Haji
Zenal). Lalu diangkat jadi guru di
Rajapolah, namun setelah beberapa lama karena Kepala Sekolahnya tahu kalau
wa Ibrahim itu Ahmadiyah, dia sangat takut diintimidasi oleh orang-orang yang
anti Ahmadiyah. Lalu dipindahkan lagi ke Cigalontang
di Singaparna, diajak oleh mang guru Jaya yang orang Jemaat juga. Saat
itulah terjadi ancaman penculikan pertama dari DI/TII yang gagal karena
terselamatkan oleh bentroknya dua kelompok gerombulan DI Hizbullah dan
Sabilillah yang bermula dari saling ledek. Demi keamanan, lalu wa Ibrahim
kembali pindah ke Kawalu saat agresi ke dua Belanda, dua kali pindah sewa rumah
sampai membuat rumah panggung di tengah sawah di Kawalu itu. Uwa Ibrahim saat
itu tidak bekerja, hanya sibuk ngurus sawah saja. Saat itulah terjadi lagi
rencana penculikan akibat menolak tawaran mereka untuk dijadikan Bupati NII
Tasilmalaya, karena melihat jumlah gerombolan D I yang datang banyak untuk menculik dan
terlihat dari jumlah obor yang mendatangi rumah panggung di tengah sawah itu,
maka wa Ibrahim dengan memakai beberapa rangkap pakaian dan keperluan lain
secukupnya, wa Ibrahim menyelusup ke belakang rumah yang kebetulan saat itu
padi sudah tubuh tinggi. Dengan memotong jalan, sampailah di rumah mang Engkos
Koswara yang kebetulan dia perwira TNI di Jajaway yang boleh dikatakan komplek
militer saat itu. Mang Engkos adalah suami dari bi Engkar Tejaningsih adik dari
uwa Ibrahim. Tidak berapa lama wa Ibrahim ditarik untuk bekerja di Dinas
P&K Kabupaten Tasikmalaya, kemudian pindah ke Empang Sari, dan menyewa
rumah untuk diisi bersama dengan mang Maman Lukman, Aki atau Mang Irin Sobirin
yang terakhir jadi suaminya bi Yoyoh setelah pisah dengan mang Muhtar. Setelah
mulai aman, maka merekapun berpisah, wa Ibrahim pindah ke Babakan Payung, mang
Maman Lukman ke Cibaregbeg di depan Asia Plaza sekarang, aki Irin Sobirin, yang
anaknya Enci Ulsi atau nenek dari Ma Enah itu, kembali ke Cicariang . Aki dan
yang juga Emang Irin Sobirin ini ngungsi dari kejaran gerombolan DI itu bukan karena masuk
Ahmadiyah, tetapi karena bekerja dengan Walanda dan dianggap sebagai antek-antek
Walanda.
Di zaman pemerintahan D.I. Kartosuwiryo tidak berani berjalan jauh ke kota, beberapa
kali sembahyang Jum’at di Sengkol. Imam Jemaat, Hudhur Khalifatul Tsani r.a.
menasihati jangan ngungsi! Tetapi dekati mereka dan tablighi; diantara keluarga yang masuk D I., contohnya
Aki Udju menjadi simpati kepada Ahmadiyah, H. Mohammad Toha tokoh N.U.
mengatakan “Ahmadiyah benar”; cuma akang
belum berani masuk Ahmadiyah, demikian dikatakannya kepada Mang Enop.
Catatan kaki:
1.
Nenah Hunaenah (92 tahun) istri Maman Lukman Yudawinata (18
April 1917 – W 14 April 2000) adalah orang tua dari antara lain Ny. Euis Herlina (istri Pipip Sumantri) dan Ny. Uun Roswati (istri Adang Suhendar) - mantan anggota P.B. Jemaat Ahmadiyah
Indonesia.
2.
Raffi Faridz Ahmad (actor/presenter)
adalah anak dari Munawar Ahmad bin Malik Aziz Ahmad Khan dari ibunya Amy Qanita
putra Brig.Jen Pol. Suriahaminata mantan Ketua atau Wakil Ketua PB Jemaat
Ahmadiyah sampai tahun 1980.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar