Sebagai Catatan : Sejarah
Perjuangan untuk Kemerdekaan R.I.:
Sungguh
miris, merasa uncomfortable dan ironis melihat apa yang ditayangkan oleh TV-TV
dalam bulan-bulan terakhir terutamanya, melihat betapa “HEBATnya” perjuangan
Bapak-bapak dan tokoh2 kita disaat-saat pemilu tahun 2014 ini; dan demikian
juga oleh Bapak-bapak yang telah sukses menduduki jabatan2 yang diincarnya,
walaupun akhirnya terpaksa harus berhadapan dengan KPK seperti yang diutarakan
oleh Pak Johan Budi jurubicara KPK. Walaupun sudah dihadapkan di Pengadilan
Tipikor dsb., “beliau2” itu tidak nampak menyesal bahkan merasakan nyaman dan
menampakkan ada kebangga-banggaan dengan segala keberhasilannya yang sampai ada
yang tega-teganya mengatakan ini pekerjaan yang “mulia” katanya.
Mengingat
banyak orang-orang masa kini yang tidak mengalami atau tidak mau mempelajari
sejarah betapa pahit getirnya dan pengorbanan tokoh bangsa dan semua rakyat
Indonesia di masa lalu yang bersatu-padu dalam usaha meraih kemerdekaan bangsa dan
mempertahankan Kemerdekaan Bangsa dan Negara R.I., maka bersama ini disampaikan
apa yang penulis ketahui, atau alami atau pun baca dari rujukan sejarah
perjuangan bangsa Indonesia. PPSi – Kawalu lahir tanggal 05-05-1936 jadi masih
dapat mengalami zaman Hindia Belanda yang biasa disebut kala itu sebagai zaman Walanda
atadu zaman “normal”.
Singkat
cerita ayah Waslim – Hadiwinata lahir di Jalaksana tahun 1912, pada usia
belasan tahun lulus S.R. atau Sekolah Rakyat sekarang S.D. dan terpilih ujian masuk
“Normaal School” di Serang. Aki, Sampir – Wartaperwata , lahir di Linggarjati
guru S.R. kelas 1 di Jalaksana dengan gaji f 10 (gulden), yang f 5 dikirimkan
untuk sekolah ayah di Serang. Di waktu itu di seluruh kecamatan Jalaksana,
hanya ada satu-satunya S.R., sehingga hampir semua orang di desa2 se kacamatan,
termasuk Manislor, Peusing, Sayana dan Japara yang jauh harus masuk S.R. di
Jalaksana. Maka tidak mengherankan kalau ada satu keturunan mulai dari
kakeknya, bapaknya dan cucunya juga pernah diajar oleh kakek saya itu, maklum
Aki Sampir mulai mengajar sebagai magang –jadi guru bantu dari umur 15-16
tahunan sampai pensiun umur 55 tahun pada tahun 1953. Ibu Epon Wiharsah lahir
1910 lulusan VDS Van Deventer School atau Sekolah Dewi Sartika Bandung
sekarang, dan mengajar di S.R. Cicalengka; demikian juga Pa Hadiwinata lulus N
S Serang terus di”benoem” atau di angkat menjadi guru S.R. di Cicalengka yang
akhirnya keduanya menikah di Jalaksana tahun 1935. Karena ibu dan bapak dua-duanya sibuk
mengajar, maka semenjak bayi 3 bulan PPSi diambil oleh Nenek dan kakek dikukut
dan terus sekolah di Jalaksana sampai SMP kelas 1 di Kuningan. Kedua ibu dan
bapak hampir setiap tahun mutasi ngajar
sekolahnya dan melahirkan anak-anaknya, seperti Ayi Kosasih lahir di Tangerang 13-2-1938,
Nan Neneng Sobariah di Cibodas Sukabumi, 28-9-1939; Mamay Komariah di Cisaat
Sukabumi - alm. di Cicurug –, Desa
Pondok Kaso Tengah Sukabumi. 4 anak lainnya Ucun Djuariah, Muhammad Ace Darojah, Nunung
Nuraeni dan Nani Choiruni Sulasmi lahir di Bogor, jumlah yang ada sampai
sekarang 7 anak, Alhamdulillah. Di Bogor waktu itu, Apa dan Ema menjadi Kepala
Sekolah S.R. berkeliling dari Batutulis, Bondongan, Empang, Tanjakan Empang dan
Jalan Bangka; tidak pernah naik jabatan.
Mengalami
sekolah S.R. kelas 1 di zaman “Normal” atau zaman Walanda akhir tahun 1941 Enin ngasih uang jajan 1 sen,
yang ½ sen atau sepeser dibelikan nasi
kuning dan ½ sen lagi beli gorengan.
Pada Mei 1940, awal Perang Dunia II, Belanda diduduki
oleh Jerman Nazi. Hindia Belanda mengumumkan keadaan
siaga dan pada Juli mengalihkan ekspor untuk Jepang ke Amerika Serikat dan Inggris. Jepang memulai penaklukan
Asia Tenggara di bulan Desember tahun itu. Bulan Oktober 1941, Jenderal Hideki Tojo menggantikan Konoe Fumimaro sebagai Perdana
Menteri Jepang. Sebenarnya, sampai akhir tahun 1940, pimpinan militer Jepang
tidak menghendaki melawan beberapa negara sekaligus, namun sejak pertengahan
tahun 1941 mereka melihat, bahwa Amerika
Serikat, Inggris dan Belanda harus dihadapi sekaligus, apabila mereka ingin
menguasai sumber daya alam di Asia Tenggara. Apalagi setelah Amerika melancarkan embargo minyak bumi,
yang sangat mereka butuhkan, baik untuk industri di Jepang, maupun untuk
keperluan perang.
Admiral Isoroku Yamamoto, Panglima
Angkatan Laut Jepang, mengembangkan strategi perang yang sangat berani, yaitu
mengerahkan seluruh kekuatan armadanya untuk dua operasi besar. Seluruh potensi
Angkatan Laut Jepang mencakup 6 kapal induk (pengangkut pesawat tempur), 10
kapal perang, 18 kapal penjelajah berat, 20 kapal penjelajah ringan, 4 kapal
pengangkut perlengkapan, 112 kapal perusak, 65 kapal selam serta 2.274 pesawat
tempur. Kekuatan pertama, yaitu 6 kapal induk, 2 kapal perang, 11 kapal perusak
serta lebih dari 1.400 pesawat tempur, pada tanggal 7 Desember 1941, menyerang
secara mendadak basis Armada Pasifik Amerika Serikat di Pearl Harbor di
kepulauan Hawaii. Sedangkan kekuatan kedua, sisa kekuatan Angkatan Laut yang mereka miliki,
mendukung Angkatan Darat dalam Operasi Selatan, yaitu penyerangan atas Filipina dan Malaya/Singapura, yang akan
dilanjutkan ke Jawa. Kekuatan yang dikerahkan ke Asia Tenggara adalah 11 Divisi Infantri yang
didukung oleh 7 resimen tank serta 795 pesawat tempur. Seluruh operasi direncanakan
selesai dalam 150 hari. Admiral Chuichi Nagumo memimpin armada yang ditugaskan
menyerang Pearl Harbor.
Hari minggu pagi tanggal 7 Desember 1941, 360 pesawat terbang yang terdiri dari
pembom pembawa torpedo serta sejumlah pesawat tempur diberangkatkan dalam dua
gelombang. Pengeboman Pearl Harbor ini berhasil menenggelamkan dua kapal perang
besar serta merusak 6 kapal perang lain. Selain itu pemboman Jepang tesebut
juga menghancurkan 180 pesawat tempur Amerika. Lebih dari 2.330 serdadu Amerika
tewas dan lebih dari 1.140 lainnya luka-luka. Tiga kapal induk Amerika selamat,
karena pada saat itu tidak berada di Pearl Harbor. Tanggal 8 Desember 1941, Kongres Amerika Serikat menyatakan
perang terhadap Jepang.
Perang Pasifik ini berpengaruh
besar terhadap gerakan kemerdekaan negara-negara di Asia Timur, termasuk
Indonesia. Tujuan Jepang menyerang dan menduduki Hindia Belanda adalah untuk
menguasai sumber-sumber alam, terutama minyak bumi, guna mendukung potensi
perang Jepang serta mendukung industrinya. Jawa dirancang sebagai pusat
penyediaan bagi seluruh operasi militer di Asia Tenggara, dan Sumatera sebagai
sumber minyak utama. Pada
tanggal tanggal 28 Februari 1942, Tentara Angkatan Darat ke-16 Jepang di bawah
pimpinan Letnan Jenderal Hitoshi Imamura mendarat di tiga
tempat di Jawa. Pertama adalah pasukan
Divisi ke-2 mendarat di Merak,Banten, kedua Resimen ke-230 di Eretan Wetan, dekat Indramayu dan yang ketiga
adalah Divisi ke-48 beserta Resimen ke-56 di Kragan. Ketiganya segera
menggempur pertahanan tentara Belanda. Setelah merebut Pangkalan Udara Kalijati Subang (sekarang Lanud Suryadarma), Letnan Jenderal
Imamura membuat markasnya di sana. Imamura memberikan ultimatum kepada Belanda,
bahwa apabila tidak menyerah, maka tentara Jepang akan menghancurkan tentara
Belanda. Setelah serbuan dan serangan Jepang ke setiap kota di Pulau Jawa, di
Sumatra dan lain-lainnya akhirnya pada tanggal 9
Maret 1942, Gubernur Jenderal Jonkheer Tjarda van Starkenborgh
Stachouwer bersama Letnan Jenderal Hein ter Poorten, Panglima Tertinggi Tentara
India-Belanda datang ke Kalijati dan dimulai perundingan antara
Pemerintah Hindia Belanda dengan pihak Tentara Jepang yang dipimpin langsung oleh
Letnan Jenderal Imamura. Imamura menyatakan, bahwa Belanda
harus menandatangani pernyataan
menyerah tanpa syarat. Letnan Jenderal ter Poorten, mewakili Gubernur
Jenderal menanda-tangani pernyataan menyerah tanpa syarat. Dengan demikian
secara de facto dan de jure, seluruh wilayah bekas
Hindia Belanda sejak itu berada di bawah kekuasaan dan administrasi Jepang.
Hari itu juga, tanggal 9 Maret 1942 Jenderal Hein ter poorten memerintahkan kepada seluruh
tentara Hindia Belanda untuk juga menyerahkan diri kepada balatentara
Kekaisaran Jepang.
Perlawanan rakyat terhadap Jepang; diantaranya:
Pemberontakan dipimpin seorang ulama
muda Tengku Abdul Jalil, guru mengaji di Cot Plieng, Lhokseumawe. Usaha Jepang untuk
membujuk sang ulama tidak berhasil, sehingga Jepang melakukan serangan mendadak
di pagi buta sewaktu rakyat sedang melaksanakan salat Subuh. Dengan
persenjataan sederhana/seadanya rakyat berusaha menahan serangan dan berhasil
memukul mundur pasukan Jepang untuk kembali ke Lhokseumawe. Begitu juga dengan
serangan kedua, berhasil digagalkan oleh rakyat. Baru pada serangan terakhir
(ketiga) Jepang berhasil membakar masjid sementara pemimpin pemberontakan
(Teuku Abdul Jalil) berhasil meloloskan diri dari kepungan musuh, namun
akhirnya tertembak saat sedang salat.
Perlawanan fisik terjadi di pesantren Sukamanah
Singaparna Tasikmalaya, Jawa
Barat di
bawah pimpinan KH. Zainal Mustafa, tahun 1943. Beliau menolak dengan tegas ajaran
yang berbau Jepang, khususnya kewajiban untuk melakukan Seikerei setiap pagi, yaitu memberi penghormatan kepada Kaisar
Jepang dengan cara membungkukkan badan ke arah matahari terbit. Kewajiban
Seikerei ini jelas menyinggung perasaan umat Islam Indonesia karena termasuk
perbuatan syirik/menyekutukan Tuhan. Selain itu beliaupun tidak tahan melihat
penderitaan rakyat akibat tanam paksa. Saat utusan
Jepang akan menangkap, KH. Zainal Mustafa telah mempersiapkan para santrinya
yang telah dibekali ilmu beladiri untuk mengepung dan mengeroyok tentara
Jepang, yang akhirnya mundur ke Tasikmalaya. Pada tanggal 25 Februari 1944, 1 Maulud 1363 H KH. Zainal Mustafa
mengumumkan dan meminta agar Jepang me-merdekakan Pulo Jawa. Maka terjadilah
pertempuran sengit antara rakyat dengan pasukan Jepang setelah salat Jumat. 800
orang santri ditangkap dipenjarakan dan disiksa diberbagai tempat, sedangkan KH.
Zainal Mustafa beserta 22 pejuangnya dibawa ke Jakarta untuk menerima
hukuman mati dan dimakamkan di Ereveld Belanda Ancol tanggal 25 Oktober 1944, yang
baru diketahui belakangan. Pada tanggal 25 Agustus 1973 semua jasad almarhum
dipindahkan ke Taman Pahlawan Sukamanah – Sukarame.
Perlawanan PETA (Organisasi “ Pembela Tanah Air” Prakarsa Jepang) di Blitar 29
Februari 1945
Dipimpin oleh Syodanco Supriyadi, Syodanco Muradi, dan Dr. Ismail, perlawanan ini disebabkan karena
persoalan pengumpulan padi, Romusha maupun Heiho yang dilakukan secara paksa
dan di luar batas perikemanusiaan. Sebagai putera rakyat para pejuang tidak
tega melihat penderitaan rakyat. Di samping itu sikap para pelatih militer
Jepang yang angkuh dan merendahkan prajurit-prajurit Indonesia. Perlawanan PETA di Blitar merupakan
perlawanan yang terbesar di Jawa. Tetapi dengan tipu muslihat Jepang
melalui Kolonel Katagiri (Komandan pasukan Jepang), pasukan PETA berhasil
ditipu dengan pura-pura diajak berunding. Empat perwira PETA dihukum mati dan
tiga lainnya disiksa sampai mati. Sedangkan Syodanco Supriyadi berhasil
meloloskan diri.
Gerakan bawah tanah
Bentuk perlawanan terhadap pemerintah Jepang yang
dilakukan rakyat Indonesia tidak hanya terbatas pada bentuk perlawanan fisik
saja tetapi Anda dapat pula melihat bentuk perlawanan lain yaitu gerakan bawah
tanah seperti yang dilakukan oleh:
Kelompok Sutan Syahrir di daerah Jakarta
dan Jawa Barat dengan cara menyamar sebagai pedagang nanas di Sindanglaya. Kelompok Sukarni, Adam Malik dan Pandu Wiguna.
Mereka berhasil menyusup sebagai pegawai kantor pusat propaganda Jepang
Sendenbu (sekarang kantor berita Antara). Kelompok Syarif Thayeb, Eri Sudewo dan Chairul Saleh. Mereka adalah
kelompok mahasiswa dan pelajar. Kelompok Mr. Achmad Subardjo, Sudiro dan Wikana.
Mereka adalah kelompok gerakan Kaigun (AL) Jepang. Mereka yang tergabung dalam
kelompok di bawah tanah, berusaha untuk mencari informasi dan peluang untuk
bisa melihat kelemahan pasukan militer Jepang dan usaha mereka terlihat
hasilnya pada saat Jepang telah kalah dari Sekutu, kelompok pemudalah yang
lebih cepat dapat informasi tersebut serta merekalah yang akhirnya mendesak golongan tua untuk secepatnya
melakukan proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Periode menjelang Kemerdekaan RI
6 Agustus 1945,
2 bom atom dijatuhkan ke dua kota di Jepang, Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat. Ini menyebabkan
Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun
dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.
Sementara
itu, di Indonesia, Sutan Syahrir telah mendengar
berita lewat radio pada tanggal 10 Agustus 1945,
bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah
bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang.
Saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air pada tanggal 14 Agustus 1945, Syahrir mendesak agar Soekarno
segera memproklamasikan kemerdekaan. Namun Soekarno belum
yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat
itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat
fatal jika para pejuang Indonesia belum siap.
15 Agustus - Jepang menyerah
kepada Sekutu.
Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan
kekuasaan di Indonesia ke tangan Belanda.
Para
pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, yang tergabung dalam
gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16 Agustus1945 mereka
menculik Soekarno dan Hatta, dan membawanya ke Rengasdengklok,
yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok.
Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan
para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.
Malam
harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta, bertemu dengan Jenderal Moichiro Yamamoto dan bermalam di
kediaman Laksamana Muda Maeda Tadashi. Dari komunikasi
antara Hatta dan tangan kanan komandan Jepang di Jawa ini, Soekarno dan Hatta
menjadi yakin bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu, dan tidak memiliki
wewenang lagi untuk memberikan kemerdekaan.
Mengetahui
bahwa proklamasi tanpa pertumpahan darah telah tidak mungkin lagi, Soekarno,
Hatta dan anggota PPKI lainnya malam itu juga rapat
dan menyiapkan teks Proklamasi yang kemudian dibacakan pada
pagi hari tanggal 17 Agustus 1945.
Tentara Pembela
Tanah Air, kelompok muda radikal, dan rakyat Jakarta
mengorganisasi pertahanan di kediaman Soekarno. Selebaran kemudian
dibagi-bagikan berisi tentang pengumuman proklamasi kemerdekaan. Adam Malik
juga mengirim pesan singkat pengumuman Proklamasi ke luar negeri.
18 Agustus - PPKI membentuk sebuah
pemerintahan sementara dengan Soekarno sebagai Presiden dan Hatta sebagai Wakil
Presiden. Piagam Jakarta yang memasukkan kata "Islam" di dalam sila
Pancasila, dihilangkan dari mukadimah konstitusi yang baru.
Pada 22 Agustus Jepang mengumumkan mereka menyerah
di depan umum di Jakarta. Jepang melucuti senjata mereka dan membubarkan PETA
Dan Heiho. Banyak anggota kelompok ini yang belum mendengar tentang
kemerdekaan.
23 Agustus - Soekarno mengirimkan pesan
radio pertama ke seluruh negeri Indonesia. Badan Keamanan Rakyat, angkatan bersenjata Indonesia yang pertama mulai dibentuk dari bekas
anggota PETA dan Heiho. Beberapa hari sebelumnya, beberapa batalion PETA telah
diberitahu untuk membubarkan diri.
29 Agustus - Rancangan konstitusi
bentukan PPKI yang telah diumumkan pada 18
Agustus, ditetapkan sebagai UUD 45. Soekarno dan Hatta secara resmi
diangkat menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
PPKI kemudian berubah nama menjadi KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat). KNIP ini adalah lembaga sementara
yang bertugas sampai pemilu dilaksanakan. Pemerintahan Republik Indonesia yang
baru, Kabinet Presidensial, mulai bertugas pada 31 Agustus.
Sesuai dengan perjanjian Wina pada tahun 1942, bahwa negara-negara sekutu bersepakat untuk mengembalikan
wilayah-wilayah yang kini diduduki Jepang pada pemilik koloninya masing-masing
bila Jepang berhasil diusir dari daerah pendudukannya.
Menurut Sekutu sebagai pihak yang memenangkan Perang Dunia II, Lord Mountbatten sebagai Komandan Tertinggi
Sekutu di Asia Tenggara adalah orang yang diserahi tanggung jawab kekuasaan
atas Sumatra dan Jawa. Tentara Australia diberi tanggung jawab terhadap
Kalimantan dan Indonesia bagian Timur.
15 September 1945,
tentara sekutu tiba di Jakarta, ia didampingi Dr Charles van der
Plas, wakil Belanda pada Sekutu.
Kehadiran tentara sekutu ini, diboncengi NICA (Netherland Indies Civil
Administration - pemerintahan sipil Hindia Belanda) yang dipimpin oleh Dr Hubertus J van Mook.
Kedatangan Tentara Inggris & Belanda
Setelah kekalahan pihak Jepang, rakyat dan
pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang
memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan
Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di
Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945. Tentara Inggris
datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East
Indies) atas keputusan dan atas nama Blok Sekutu, dengan tugas untuk melucuti
tentara Jepang, membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang, serta
memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Namun selain itu tentara Inggris yang
datang juga membawa misi mengembali-kan
Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan
Hindia Belanda. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut
membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut. Hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia dan
memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana melawan tentara
AFNEI dan pemerintahan NICA.
Insiden di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya
Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan
bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan
terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut
makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran
bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru /
Hotel Yamato (Oranje Hotel zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di
Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch
Ploegman pada sore hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00,
mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI
Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah
utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah
karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak
mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran
bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya. Tak lama setelah mengumpulnya
massa di Hotel Yamato, Residen Sudirman, pejuang dan diplomat yang saat itu
menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui
pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya
Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato
dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr.
Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan
dari gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk
mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman
mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan.
Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian Sidik juga tewas oleh tentara
Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara
Sudirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda
berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang
semula bersama Sudirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan
tiang bendera dan bersama Kusno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda,
merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai
bendera Merah Putih.
Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah
pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris .
Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum
yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris,
sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk
meredakan situasi.
Kematian Brigadir Jenderal Mallaby
Setelah gencatan
senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani tanggal
29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja
terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di
Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan
terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur),
pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir
Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan
melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak menembak
yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol
seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya, dan
terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah
Mallaby sulit dikenali. Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah
kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor
Jenderal E.C. Mansergh untuk mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan
dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.
Sebelum itu, untuk
menggelorakan semangat perlawanan rakyat, Bung Tomo berinisiatif
mengadakan siaran radio, yang isinya agitasi mengingatkan rakyat
akan bahaya yang mengancam kemerdekaan
Indonesia.
Semula ide tersebut ditentang
Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin. Alasannya, siaran radio yang
bersifat agitasi bisa mengeruhkan suasana di dalam
negeri. Dan hal seperti itu tidak dikehendaki oleh
tentara Sekutu. Bung Tomo berkeras dengan rencananya tersebut. Buat dia,
justru dengan menunjukkan kepada tentara Sekutu (dia
menyebutnya Serikat) akan adanya rakyat yang berjiwa dan
berpendirian ekstrem dalam mempertahankan negaranya, tentara Sekutu
akan lebih menghargai Republik Indonesia yang bisa diajak
berunding. Pemerintah, kata Bung Tomo, bisa menggunakan rakyat yang
ekstrem itu sebagai kekuatan yang berdiri di belakang mereka dalam
perundingan. Menteri Amir Sjarifuddin akhirnya setuju. Namun dia meminta
agar tidak menggunakan siaran RRI, sebagai radio resmi pemerintah. Amir
mengusulkan agar siaran itu diberi nama Voice of the Indonesian
Revolt (Suara Revolusi Indonesia), yang menyiarkan pidato dalam bahasa
Inggris, Perancis, dan bahasa internasional lainnya.
Setelah mendapat lampu hijau dari
pemerintah pusat, Bung Tomo memanfaatkan pemancar Radio Surabaya
untuk dijadikan Radio Pemberontakan Rakyat Indonesia. Sejarah
mencatat, pidato Bung Tomo yang heroik dan legendaris, yang berhasil
membakar semangat rakyat untuk melawan tentara Sekutu dalam
peristiwa 10 Nobember, dipancarkan melalui radio tersebut.
Bermula dari kedatangan kapal-kapal perang
Sekutu di Surabaya pada 24 Oktober 1945 dengan misi melucuti tentara
Jepang, yang menjadi tawanan tentara Sekutu. Semula tercapai kata
sepakat antara pihak Indonesia dan Sekutu, dimana tentara Sekutu
mengakui kekuasaan pemerintah Republik Indonesia (RI), dan tentara Sekutu tidak
membawa tentara Belanda dan NICA.
Namun, tanpa mengindahkan
kesepakatan dan keberadaan pemerintah RI, Sekutu
menduduki gedung-gedung strategis dan tempat-tempat penting lainnya.
Sikap tersebut memancing kemarahan rakyat, dan pada 28
Oktober pecah pertempuran darat di Surabaya.
Untuk meredakan ketegangan, pihak
Sekutu meminta Presiden Sukarno datang ke Surabaya pada 29 Oktober.
Setelah berunding dengan Jenderal Hawthorn, Panglima Pasukan
Inggris di Jawa, dan Brigjen Mallaby, Komandan Tentara
Inggris di Jawa Timur, dicapai persetujuan untuk
menghentikan tembak-menembak, serta perawatan para korban, baik
yang gugur maupun luka, dari kedua belah pihak.
Gencatan senjata itu tak berlangsung lama.
Konflik kembali memanas setelah Brigjen Mallaby, salah seorang
anggota Badan Kontak (Contack Bureau), yang bertugas mendatangi
tempat-tempat yang masih terjadi pertempuran untuk
menyampaikan kesepakatan penghentian tembak-menembak, tewas.
Tewasnya Mallaby membuat Sekutu murka.
Komandan Angkatan Perang Inggris di Indonesia, Jenderal
Christison, menamakan peristiwa tersebut sebagai “foul
murder” (pembunuhan yang kejam). Dia mengancam akan mengerahkan
segenap kekuatan Sekutu untuk menghadapi orang-orang Indonesia yang
bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.
Sebelum pecah pertempuran 10
November 1945, Sekutu menyebarkan pamflet lewat udara pada 9
November. Isinya, antara lain, semua pemimpin Indonesia, termasuk pemimpin
gerakan pemuda, kepala polisi, dan kepala Radio Surabaya, harus
melaporkan diri di Bataviaweg (Jalan Batavia) pada 9 November jam
18.00. Mereka harus bersedia menandatangani suatu
pernyataan menyerah tanpa syarat. Selain itu, rakyat yang bersenjata
harus menyerahkan senjata dengan berjalan membawa
bendera putih tanda menyerah.
Ultimatum itu diabaikan rakyat, dan
mereka patuh menunggu instruksi dari pimpinannya. Hingga jam 9 tanggal 10
November 1945, belum ada satu butir peluru pun yang
dilepaskan para pejuang. Namun situasi mulai berubah setelah ada
informasi bahwa tentara Inggris sudah mulai menembak.
Bung Tomo segera menuju pemancar
Radio Pemberontakan. Sekitar jam 9.30, dia memberikan komando
kepada barisan rakyat untuk mulai memberikan perlawanan terhadap
tantangan tentara Sekutu.
Saat itu, seluruh rakyat melupakan segala -galanya,
kecuali Republik Indonesia harus tetap merdeka! Tidak penting lagi
arti golongan, tingkatan, perbedaan agama, dan paham. Negara
Proklamasi 17 Agustus 1945 sedang terancam bahaya. Kemerdekaan Tanah Air
sedang terganggu. Satu Indonesia yang terancam, satu bangsa
Indonesia yang akan membelanya. Satu pula tekad bangsa
Indonesia. Sekali merdeka tetap merdeka! Masih kata Bung Tomo, bukan satu dua
orang yang pada hari itu menunjukkan kepahlawanannya! Individual
tidak laku pada hari itu!
Pemerintah, tentara, rakyat, segenap golongan bangsa
Indonesialah yang pada hari itu membela Tanah Airnya! Segenap rakyat Indonesia
sama2 berjuang pada hari itu.
PERJANJIAN LINGGARJATI
(15 November 1946 – disahkan kedua negara 25 Maret 1947) :
1.
Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia,
yaitu Jawa, Sumatera dan Madura. 2.
Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949. 3.
Pihak Belanda dan Indonesia Sepakat membentuk negara RIS. 4. Dalam bentuk RIS
Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth /Persemakmuran Indonesia-Belanda
dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni.
Pro dan Kontra di kalangan masyarakat
Indonesia
Perjanjian Linggarjati menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat
Indonesia, contohnya beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat
Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata.
Partai-partai tersebut menyatakan bahwa perjanjian itu adalah bukti lemahnya
pemerintahan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia. Untuk
menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No.
6/1946, dimana bertujuan menambah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat agar
pemerintah mendapat suara untuk mendukung perundingan Linggarjati.
Pelanggaran Perjanjian
Pelaksanaan
hasil perundingan ini tidak berjalan mulus. Pada tanggal 20 Juli 1947, Gubernur Jendral H.J. van Mook akhirnya menyatakan bahwa
Belanda tidak terikat lagi dengan perjanjian ini, dan pada tanggal 21 Juli
1947, meletuslah Agresi
Militer Belanda ke - I.
Hal ini merupakan akibat dari perbedaan penafsiran antara Indonesia dan
Belanda. Dimulai pada 20 Juli 1947 tengah malam, Belanda melancarkan
agresi militer atau "aksi polisionil" yang pertama. Yang dialami oleh penulis sendiri adalah pada
tanggal 21 Juli 1947 itu sebuah pesawat terbang rendah sekali dari arah Cirebon
melewati Jalaksana dan menjatuhkan bom diatas penggilingan padi di Desa Ciloa, yang terletak antara Jalaksana dan
Kuningan.
Dimulailah
periode revolusi bersenjata melawan Belanda dalam mempertahankan Republik
dan mengusir penjajah Belanda untuk selama-lamanya dari bumi Indonesia. Pasukan-pasukan Belanda bergerak dari Jakarta dan
Bandung untuk menduduki Jawa Barat dan dari Surabaya untuk menduduki
Madura dan ujung timur Jawa. Demikian juga daerah sekitar Semarang
diamankan. Di Sumatera, perkebunan-perkebunan di sekitar Medan,
tambang-tambang dan kilang minyak serta tambang batu bara di sekitar
Palembang dan Padang diduduki. DI Jakarta pasukan Belanda menduduki
kantor-kantor Republik Indonesia dan menangkap anggota-anggota delegasi
yang sedang berunding dengan Belanda.
Pasukan Republik dalam keadaan bingung dan panik akibat aksi polisionil
Belanda yang tiba-tiba segera bergerak mundur ke pedalaman dan melakukan
taktik bumi hangus serta menghancurkan segala apa yang
dapat dihancurkan. Namun dalam keadaan
kacau dan tidak terkendali terjadi ekses terhadap orang-orang Tionghoa.
Di berbagai tempat di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur terjadi
perampokan, penjarahan dan pembakaran rumah-rumah, toko, bengkel,
perusahaan, pabrik, dan berbagai harta benda milik orang Tionghoa. Malahan
di beberapa tempat terjadi pembunuhan
terhadap orang-orang Tionghoa yang tak berdosa dengan tuduhan menjadi agen
atau mata-mata NICA. Di Medan terjadi gelombang pembunuhan, perampokan
dan penjarahan yang dilakukan para gangster dan kriminal yang bekerja sama
dengan oknum-oknum organisasi pemuda, malahan dengan oknum TKR. Di Desa Jalaksana semua rumah2 orang
Cina yang di pinggir jalan raya termasuk kelenteng / kereta matinya dan rumah2
yang 300 meter ke arah Gunung Ciremai dibakar dan dijarah; orang-orangnya semua
mengungsi ke Cirebon kota. Yang tersisa hanya satu rumah Cina yang persis
bertetangga dengan rumah Aki / Enin. Tetapi kemudian sengaja dibakar di satu
siang hari diamankan agar jangan sampai dibakar ketika tidak ada orang yang bisa
menolong. Tanah tersebut kemudian dibeli
oleh Aki dengan dibayar secara mencicil 3 kali; Enin dan penulis selalu ikut ke
Cirebon untuk pembelian tanah ini.
Kecuali rumah yang dipinggir jalan raya, kebanyakan rumah Cina lainnya
lantainya tidak pakai ubin.
Orang2 Cina itu menaruh uang logam perak / kencringnya
didalam guci yang dikubur dibawah lantai.
Ada banyak orang2 yang menggali dan menemukan guci uang tetapi nampaknya
tidak jadi maslahat.
Ini hanya salah satu contoh seperti yang dialami oleh
penulis PPSi; yang diyakini bahwa saat itu di seluruh negeri sama2 merasakan
keprihatinan, kekhawatiran dan ketakutan dalam suasana mempertahankan
Kemerdekaan R.I. ini. Setiap rumah di Jalaksana dan tentunya di semua desa2
lainnya juga disuruh menggali lubang perlindungan, biasanya digali dikolong
tempat tidur. Malam hari Belanda yang
markasnya berada di Kuningan kota suka “iseng” menembakkan mortir bom ke arah
Desa Jalaksana yang mereka ketahui dipakai tempat pejuang Republik
bersembunyi. Maka setelah terdengar
bunyi “tung-tung-tung” suara mortir dari Kuningan yang 7 Km jauhnya, kita langsung
tiarap dan masuk lubang perlindungan; Alhamdulillah walaupun seringkali dikirim
bom2 mortir dari Kuningan tersebut, tidak pernah ada rumah yang kena bom
walaupun bunyinya menggelegar ketika jatuhnya itu.
Kemudian, ini contoh saja yang dialami terjadi di Desa
Jalaksana, dan tentunya di tempat2 lain juga, tentara Belanda membuat tangsinya
di Desa Jalaksana, dengan mengisi bangunan gedung bekas Zending Gereja Keristen
dan gedung Habib, tidak jauh dari alun2. Berkali-kali di malam hari, markas Belanda ini
diserang oleh Pejuang Republik. Rame terdengar dar-der-dor dan kami pun masuk
di lubang perlindungan; namun tidak
diketahui berapa banyak korban dari kedua pihak. Siang harinya satu peleton tentara NICA Belanda
dan banyak orang Melayunya juga menyisir ke kampung2 mencari pejuang yang
bersembunyi. Seorang guru S.R. / S.D.,
salah satu dari 6 guru SR Jalaksana, bernama Pa Raden suka kelihatan ikut
berjalan di depan bersama tentara Belanda ini. Guru yang menjadi Agen NICA ini
pada suatu malam dibunuh pejuang dengan ditusuk lehernya.
ISI PERJANJIAN RENVILLE
(8 Desember 1947 - 17 Januari 1948) :
1.
Belanda hanya mengakui Jawa tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian
wilayah Republik Indonesia. 2. Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan
wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda. 3. TNI harus ditarik mundur
dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa
Timur Indonesia di Yogyakarta.
Sebagai hasil Persetujuan Renville, pihak Republik harus mengosongkan
wilayah-wilayah yang dikuasai TNI, dan pada bulan Februari 1948, Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah.
Perjanjian Renville ditandatangani pada tanggal 18
Desember 1948 oleh Pemerintah Belanda dan Indonesia. Dengan banyaknya pelanggaran yang dilakukan
Belanda terhadap Perjanjian Renville itu maka Komandan ALRI Corps Armada III Letnan Satu L.M Abdul Kadir bersama
Letnan Satu R. Soetedjo Ismail membuat rencana strategis yaitu : “
Menetapkan apabila perjanjian Renville gagal dan Belanda menyerbu maka kesatuan
ALRI Corps Armada III akan langsung menuju route yang telah ditentukan yakni ke
daerah Jawa Barat bersama pasukan Siliwangi di daerah Kuningan dan sekitarnya “
untuk menyusun strategi dan perang gerilya.
Di Kuningan pasukan L.M Abdul Kadir bertemu dengan pasukan Mayor Idma Kartadisastra (yang memang
asal dari Desa Jalaksana, yang masih saudara Bapaknya Enin) dan Letkol Tirta
Atmadja dan melanjutkan perjalanan ke daerah Jalaksana Kuningan. Selama perjalanan menuju ke daerah Jalaksana terjadi
beberapa pertempuran dengan pihak Belanda sehingga banyak anggota CA III Cirebon gugur.
Pengalaman
penulis di Jalaksana: ALRI dibawah
pimpinan Mayor Idma dan Letnan Abdul Kadir sebanyak l.k. dua ratus orang hijrah
dari Cirebon ke Desa Jalaksana, tempat ortunya Pak Idma di Kampung Babakan.
Mereka tinggal di rumah2 peduduk; di kamar depan rumah Aki-Enin ditempati oleh
seorang Sersan. Kendaraan yang dibawa hanya 2 buah yaitu sebuah sedan yang
dipakai oleh Mayor dan sebuah truk Dodge yang untuk urusan Logistiknya. ALRI
pun merekrut anggota A.L. yang baru, memang aneh jika ada ALRI muda yang tidak pernah
melihat laut. Sersan tadi setelah perjuangan selesai kawin dengan sdri. Mutm.,
baru keluar SR anak Jurutulis Desa yang rumahnya tetangg depan rumah dan masih
saudaranya Enin. Penulis bersama 2 adik pengantin perempuan ikut mengantar ke
Kandanghaur tempat ortu Sersan.
Saat operasi penumpasan
DI/TII awal tahun 1949 ALRI Corps Armada III mengirim satu Kompi pasukan
dibawah pimpinan Letnan Dua H.A Djazuli. Dalam melaksanakan tugas tersebut
Letnan Djazuli gugur tertembak peluru musuh. Awal tahun 1949 pasukan terakhir yang dikirim adalah
pasukan dibawah pimpinan Letnan Dua Soepardi.. Selanjutnya bersama-sama dengan
masyarakat di sekitar Desa Jalaksana, mereka membangun beberapa bangunan dan prasasti diantaranya Monumen Corps Armada III Kuningan. Dengan kata lain monumen ini
dibangun sebagai bentuk ucapan terima kasih kesatuan ALRI Corps Armada III
Cirebon kepada rakyat Kuningan yang telah membantu dan bekerja sama bahu
membahu selama perang gerilya melawan
Belanda tahun 1947-1949. Hal ini juga merupakan bukti kemanunggalan TNI dan
rakyat yang sudah ada semenjak jaman perang kemerdekaan. DI/TII biasa turun dari Gunung Ciremai untuk
menjarah mencari makanan dan Logistik. Alhamdulillah Desa Jalaksana tidak
pernah diganggu oleh gerombolan DI ini, hanya lewat saja menuju dan menjarah
Pasar Kurucuk tetangga desa diseberang sungai. Ketika lewat itu memang ada
insiden dua kali yaitu membunuh dua orang OKD Organisasi Keamanan Desa, atau
Hansip sekarang, yang ketiduran di gardu
posnya. Itu saja korban dari DI di Desa Jalaksana.
Lain halnya
dengan rumah Enin Nini/Aki yang di Pelag – Majalaya, yang hanya belasan Km dari
Paseh dekat Pacet tempat tertangkapnya Kartosuwiryo di Gn. Rakutak, 4 Juni
1962. DI/TII biasa menyatroni rumah Enin/Aki Pelag yang jualan warung sayur.
Enin biasa menyediakan uang recehan di dadasarnya sehingga DI biasa
mengambilnya. Penulis (SMP kls II di
Bogor) dan adik Ayi Kosasih baru tahun 1951 pertama kali mengunjungi rumah Aki Pelag,
yang harus berjalan kaki 1,5 Km lewat perbukitan pohon karet dari Wangisagara
ujung jalan delman dari Rancajigang - Majalaya, dengan menyeberangi jembatan
gantung Sungai Citarum. Kalau malam hari suasana sepi, tidur itu dengan
perasaan was-was, karena biasa gerombolan DI datang. Tetapi kalau terdengar ada
suara tembakan dar-der-dor malah merasa aman karena tahu ada TNI di sekitar
itu.
Kembali ke Jalaksana, pada Hari
Pahlawan 10 Nopember 1948, semua kerangka jasad pejuang TNI / ALRI yang ada di Kabupaten Kuningan, yang terjauh
adalah dari Desa Kadugede, dikumpulkan di Jalaksana dan dikuburkan kembali di
dekat pemandian Balong Dalem di Desa Jalaksana; yang di kemudian hari dibuatkan
Tugu Peringatan Pahlawan yang gugur
selama mempertahankan Kedaulatan RI.
Pada kaki monumen terdapat prasasti yang berbunyi “
Peringatan Angkatan Laut Corps Armada
III selama bergerilya mempertahankan kemerdekaan bersama dengan rakyat pada
bulan 8-47 (Agustus
1947) hingga bulan 8-49 (Agustus 1949) di daerah sini “. Di puncak monumen terdapat sebuah jangkar berdiri
tegak yang ditopang oleh sebuah segitiga dan diletakkan di atas kubus. Tugu
yang berdiri tegak ini mempunyai ketinggian keseluruhan 9 meter.
Masih teringat, mungkin saat
itu sekitar waktu Aksi Agresi Militer Belnda yang kedua; pada suatu pagi
seperti biasa dibunyikan terompet untuk apel pagi, tidak seperti terompet
panggilam waktu makan. Pagi itu memang kelihatan aneh. Tentara kita mencegat
sebuah pick up di dekat Alun2 Jalaksana berisikan 4 orang Tentara Belanda.
Belanda ini dibawa ke kuburan Bong Cina di kampung Babakan 1.5 km dari alun2
dan katanya dibunuh atau dikubur hidup2. Senjata dan mobilnya dirampas, semua
Tentara TNI / ALRI menghilang. Belanda
pun marah! Semua orang Desa
Jalaksana dewasa yang umur 15 tahun ke atas, yang ada di rumah, atau tidak
sempat sembunyi ke hutan atau ke sawah ditangkap dan dipenjarakan di Tangsi
Belanda di Linggarjati. Termasuk Aki (guru)
ikut ditangkap Belanda, penulis masih kecil baru umur 12 tahun. Enin, diantar
penulis mendatangi School Ofziender, sekarang Penilik Sekolah, di Cilimus dan
bersama-sama dengan berjalan kaki mengunjungi Tangsi Belanda di
Linggarjati. Alhamdulillah setelah
menghadap Belanda, entah apa yang dibicarakannya, Aki bisa dibawa pulang kembali ke rumah di
Jalaksana. Memang ada yang aneh, seorang
keponakan Enin namanya Ruslan dipanggil Cikong, 4 tahun lebih tua dari penulis
yang dipenjarakan di Linggarjati, tahu2 bisa pulang ke rumah, tapi ia tidak
menyadari bagaimana ia bisa keluar dari sana dan berjalan kaki ke Jalaksana.
SERANGAN
UMUM 1 MARET 1949
Sekitar awal Februari 1948 di perbatasan Jawa Timur,
Letkol. dr. Wiliater Hutagalung - yang sejak September1948 diangkat menjadi Perwira
Teritorial dan ditugaskan untuk membentuk jaringan persiapan gerilya di wilayah Divisi II dan III -
bertemu dengan Panglima Besar Sudirman guna melaporkan mengenai resolusi Dewan
Keamanan PBB dan penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut dan
melancarkan propaganda yang menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada
lagi. Melalui Radio Rimba Raya, Panglima Besar Sudirman juga telah mendengar berita
tersebut. Panglima Besar Sudirman menginstruksikan untuk
memikirkan langkah-langkah yang harus diambil guna meng-counter propaganda
Belanda.
Pemikiran yang dikembangkan oleh Hutagalung adalah, perlu meyakinkan dunia
internasional terutama Amerika Serikat dan Inggris, bahwa Negara Republik
Indonesia masih kuat, ada pemerintahan (Pemerintah Darurat Republik Indonesia
– PDRI), ada organisasi TNI dan ada tentaranya. Untuk membuktikan hal ini,
maka untuk menembus isolasi, harus diadakan serangan spektakuler, yang tidak
bisa disembunyikan oleh Belanda, dan harus diketahui oleh UNCI (United Nations Commission for Indonesia) dan
wartawan-wartawan asing untuk disebarluaskan ke seluruh dunia. Untuk
menyampaikan kepada UNCI dan para wartawan asing bahwa Negara Republik
Indonesia masih ada, diperlukan pemuda-pemuda berseragam Tentara Nasional
Indonesia, yang dapat berbahasa Inggris, Belanda atauPerancis.
Letkol. dr. Hutagalung masih tinggal
beberapa hari guna membantu merawat Panglima Besar Sudirman, sebelum kembali ke markasnya
di Gunung Sumbing. Sesuai
tugas yang diberikan oleh Panglima Besar Sudirman, dalam rapat Pimpinan Tertinggi
Militer dan Sipil di wilayah Gubernur Militer III, yang dilaksanakan pada
tanggal18 Februari 1949 di markas yang terletak di
lereng Gunung Sumbing. Selain Gubernur Militer/Panglima Divisi III Kol. Bambang Sugeng, dan Letkol Wiliater Hutagalung,
juga hadir Komandan Wehrkreis II, Letkol. Sarbini Martodiharjo, dan pucuk pimpinan pemerintahan
sipil, yaitu Gubernur Sipil, Mr. K.R.M.T. Wongsonegoro, Residen Banyumas R. Budiono, Residen Kedu Salamun, Bupati Banjarnegara R. A. Sumitro
Kolopaking dan
Bupati Sangidi.
Kurang lebih satu bulan setelah Agresi Militer
Belanda II yang dilancarkan pada
bulan Desember 1948, TNI mulai menyusun strategi guna
melakukan pukulan balik terhadap tentara Belanda yang dimulai dengan memutuskan
telepon, merusak jalan kereta api, menyerang konvoi Belanda, serta tindakan sabotase
lainnya.
Belanda terpaksa memperbanyak pos-pos disepanjang jalan-jalan besar yang
menghubungkan kota-kota yang telah diduduki. Hal ini berarti kekuatan pasukan
Belanda tersebar pada pos-pos kecil diseluruh daerah republik yang kini merupakan medan gerilya. Dalam keadaaan pasukan Belanda
yang sudah terpencar-pencar, mulailah TNI melakukan serangan terhadap Belanda.
Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dilaksanakan terhadap
kotaYogyakarta secara besar-besaran yang
direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi
III/GM III dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil
setempat berdasarkan instruksi dari Panglima Divisi III, Kol. Bambang Sugeng,] untuk membuktikan
kepada dunia internasional bahwa TNI - berarti juga Republik Indonesia - masih
ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia
dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan tujuan
utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada
dunia internasional bahwaTentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan
untuk mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai
komandan brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana
lapangan di wilayahYogyakarta.
Setelah dilakukan pembahasan yang mendalam, grand design yang
diajukan oleh Hutagalung disetujui,
dan khusus mengenai "serangan spektakuler" terhadap satu kota besar,
Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng bersikukuh, bahwa yang harus
diserang secara spektakuler adalah Yogyakarta. Alasan penting untuk memilih
Yogyakarta sebagai sasaran utama adalah Yogyakarta adalah Ibukota RI, sehingga bila dapat direbut walau
hanya untuk beberapa jam, akan berpengaruh besar terhadap perjuangan Indonesia
melawan Belanda. Keberadaan banyak wartawan asing di Hotel Merdeka Yogyakarta, serta masih adanya anggota
delegasi UNCI (KTN) serta pengamat militer dari
PBB.
Sejak dikeluarkan Perintah Siasat 1 Januari 1949 dari Panglima Divisi
III/Gubernur Militer III,, telah dilancarkan beberapa serangan umum di wilayah
Divisi III/GM III. Seluruh Divisi III terlatih dalam menyerang
tentara Belanda. Dalam perang gerilya, pimpinan pemerintah
sipil dari mulai Gubernur Wongsonegoro serta para
Residen dan Bupati, selalu diikutsertakan dalam rapat dan pengambilan keputusan
yang penting. Oleh karena itu, dapat dipastikan dukungan terutama untuk
logistik dari seluruh rakyat.
Dicari pemuda berbadan tinggi dan tegap, yang lancar bahasa Belanda, Inggris atau Prancis dan akan dilengkapi dengan
seragam perwira TNI. Mereka sudah harus siap di dalam kota, dan pada waktu
penyerangan telah dimulai, mereka harus masuk ke Hotel Merdeka guna menunjukkan
diri kepada anggota-anggota UNCIserta wartawan-wartawan asing yang berada di hotel
tersebut. Hal penting adalah, dunia internasional
harus mengetahui adanya Serangan Tentara Nasional Indonesia terhadap tentara Belanda, terutama terhadapYogyakarta, Ibukota Republik. Dalam menyebarluaskan berita ini
ke dunia internasional maka dibantu oleh Kol. T.B. Simatupang yang bermarkas di Pedukuhan Banaran, desa Banjarsari, untuk menghubungi pemancar radio
Angkatan Udara RI (AURI) di Playen, dekat Wonosari, agar setelah serangan dilancarkan
berita mengenai penyerangan besar-besaran oleh TNI atas Yogyakarta segera disiarkan.
Sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, TB Simatupang lebih kompeten
menyampaikan hal ini kepada pihak AURI. Diperkirakan apabila Belanda melihat bahwa Yogyakarta diserang secara besar-besaran,
dipastikan mereka akan mendatangkan bantuan dari kota-kota lain di Jawa Tengah,
dimana terdapat pasukan Belanda yang kuat seperti Magelang, Semarang dan Solo. Jarak tempuh (waktu itu) Magelang - Yogya hanya sekitar 3 - 4 jam saja; Solo - Yogya, sekitar 4 - 5 jam, dan Semarang - Yogya, sekitar 6 - 7 jam. Magelang dan Semarang (bagian Barat) berada di
wilayah kewenangan Divisi III GM III, namun Solo, di bawah wewenang Panglima Divisi
II/GM II Kolonel Gatot Subroto. Oleh karena itu, serangan di
wilayah Divisi II dan III harus dikoordinasikan dengan baik sehingga dapat
dilakukan operasi militer bersama dalam kurun waktu yang ditentukan, sehingga
bantuan Belanda dari Solo dapat diperlambat.
Selama perang gerilya, bahkan Camat, Lurah serta Kepala Desa sangat
berperan dalam menyiapkan dan memasok perbekalan (makanan dan minuman) bagi
para gerilyawan. Ini semua telah diatur dan ditetapkan oleh pemerintah militer
setempat. Untuk pertolongan dan perawatan medis, diserahkan kepada PMI. Peran PMI sendiri juga telah dipersiapkan sejak menyusun
konsep Perintah Siasat Panglima Besar. Dalam konsep Pertahanan Rakyat
Total -
sebagai pelengkap Perintah Siasat No. 1 - yang dikeluarkan oleh Staf Operatif
(Stop) tanggal 3 Juni 1948, butir 8 menyebutkan: Kesehatan
terutama tergantung kepada Kesehatan Rakyat dan P.M.I. karena itu evakuasi para
dokter dan rumah obat mesti
menjadi perhatian.
Walaupun dengan risiko besar, Sutarjo Kartohadikusumo, Ketua DPA yang juga adalah Ketua PMI (Palang Merah Indonesia), mengatur pengiriman
obat-obatan bagi gerilyawan di front. Beberapa dokter dan staf PMI kemudian
banyak yang ditangkap oleh Belanda dan ada juga yang mati tertembak
sewaktu bertugas. Setelah rapat selesai, Komandan Wehrkreise II
dan para pejabat sipil pulang ke tempat masing-masing guna mempersiapkan segala
sesuatu, sesuai dengan tugas masing-masing. Kurir segera dikirim untuk
menyampaikan keputusan rapat di Gunung Sumbing pada 18 Februari 1949 kepada Panglima Besar Sudirman dan Komandan Divisi
II/Gubernur Militer II Kolonel Gatot Subroto.
Maka rencana penyerangan atas Yogyakarta yang ada di wilayah Wehrkreise I di bawah pimpinan
Letkol. Suharto, akan
disampaikan langsung oleh Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng. Ikut dalam rombongan Panglima
Divisi selain Letkol. dr. Hutagalung, antara lain juga dr. Kusen (dokter pribadi Bambang Sugeng), Bambang Surono (adik Bambang Sugeng), seorang mantri kesehatan, seorang
sopir dari dr. Kusen, Letnan Amron Tanjung(ajudan Letkol Hutagalung) dan
beberapa anggota staf Gubernur Militer (GM).
Simatupang pada saat itu dimohonkan untuk mengkoordinasi pemberitaan ke
luar negeri melaui pemancar radio AURI di Playen dan di Wiladek, yang ditangani oleh Koordinator
Pemerintah Pusat. Setelah Simatupang menyetujui rencana grand design tersebut,
Panglima Divisi segera mengeluarkan instruksi rahasia yang ditujukan kepada
Komandan Wehrkreise I Kolonel Bachrun, yang akan disampaikan sendiri oleh
Kol. Sarbini.
Brigade IX di bawah komando Letkol Achmad Yani, diperintahkan melakukan
penghadangan terhadap bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tanggal 19 Februari 1949. Panglima Divisi dan rombongan
meneruskan perjalanan, yang selalu dilakukan pada malam hari dan beristirahat
pada siang hari, untuk menghindari patroli Belanda. Penunjuk jalan juga selalu
berganti di setiap desa. Dari Banaran rombongan menuju wilayah Wehrkreise III melalui pegunungan Menoreh untuk menyampaikan perintah
kepada Komandan Wehrkreis III Letkol. Suharto. Pertemuan dengan
Letkol. Suharto berlangsung
di Brosot, dekat Wates. Semula pertemuan akan dilakukan di
dalam satu gedung sekolah, namun karena kuatir telah dibocorkan, maka pertemuan
dilakukan di dalam sebuah gubug di tengah sawah. Hadir dalam pertemuan tersebut
lima orang, yaitu Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kol. Bambang Sugeng, Perwira Teritorial Letkol.
dr. Wiliater Hutagalung beserta ajudan Letnan Amron Tanjung, Komandan Wehrkreise III/Brigade X Letkol. Suharto beserta ajudan. Puncak
serangan dilakukan dengan serangan umum terhadap kota Yogyakarta (ibu kota negara) pada
tanggal 1 Maret 1949, dibawah pimpinan Letnan Kolonel Suharto, Komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III, setelah terlebih dahulu mendapat
persetujuan dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tanggal 1 Maret 1949, pagi hari, serangan secara
besar-besaran yang serentak dilakukan di seluruh wilayah Divisi III/GM III
dimulai, dengan fokus serangan adalah Ibukota Republik, Yogyakarta, oleh pasukan Brigade X yang diperkuat dengan satu
Batalyon dari Brigade IX, sedangkan serangan terhadap Belanda di Magelang dan penghadangan di jalur Magelta-kota
di sekitar Yogyakarta, terutama Magelang. Pada saat yang bersamaan, serangan
juga dilakukan di wilayah Divisi II/GM II, dengan fokus penyerangan adalah
kota Solo, guna mengikat tentara Belanda
dalam pertempuran agar tidak dapat mengirimkan bantuan ke Yogyakarta.
Pada malam hari menjelang serangan umum itu, pasukan telah merayap
mendekati kota dan dalam jumlah kecil mulai disusupkan ke dalam kota. Pagi hari
sekitar pukul 06.00, sewaktu sirene dibunyikan serangan segera dilancarkan ke
segala penjuru kota. Dalam penyerangan ini Letkol Soeharto langsung memimpin pasukan dari
sektor barat sampai ke batas Malioboro. Sektor Timur dipimpin Ventje Sumual, sektor selatan dan timur dipimpim
Mayor Sardjono, sektor utara oleh Mayor Kusno. Sedangkan untuk sektor kota
sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki sebagai pimpinan. TNI berhasil
menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam. Tepat pukul 12.00 siang, sebagaimana
yang telah ditentukan semula,seluruh pasukan TNI mundur.
Serangan terhadap kota Solo yang juga dilakukan secara
besar-besaran, sehingga Belanda tidak
dapat mengirim bantuan dari Solo keYogyakarta, yang sedang diserang secara
besar-besaran. Yang dilakukan oleh Brigade IX, hanya dapat memperlambat gerak
pasukan bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tentara Belanda dari Magelang dapat menerobos hadangan
gerilyawan Republik, dan sampai di Yogyakarta sekitar pukul 11.00.
Dari pihak Belanda, tercatat 6
orang tewas, dan diantaranya adalah 3 orang anggota polisi; selain itu 14 orang
mendapat luka-luka. Segera setelah pasukanBelanda melumpuhkan serangan terebut,
keadaan di dalam kota menjadi tenteram kembali. Kesibukan lalu-lintas dan pasar
kembali seperti biasa, malam harinya dan hari-hari berikutnya keadaan tetap
tenteram.
Pada hari Selasa siang pukul 12.00 Jenderal Meier (Komandan teritorial merangkap
komandan pasukan di Jawa Tengah), Dr. Angent (Teritoriaal
Bestuurs-Adviseur), Kolonel van Langen (komandan pasukan di Yogya) dan Residen Stock (Bestuurs-Adviseur untuk
Yogya) telah mengunjungi kraton guna membicarakan keadaan dengan Sri Sultan.
Dalam serangan terhadap Yogya, pihak Indonesia mencatat korban sebagai
berikut: 300 prajurit tewas, 53 anggota polisi tewas, rakyat yang tewas tidak
dapat dihitung dengan pasti. Menurut majalah Belanda De Wappen Broeder terbitan Maret 1949, korban di pihak Belanda selama
bulan Maret 1949 tercatat 200 orang tewas dan luka-luka.
Serangan Umum 1 Maret mampu menguatkan posisi tawar dari Republik
Indonesia, mempermalukan Belanda yang telah mengklaim bahwa RI sudah lemah. Tak
lama setelah Serangan Umum 1 Maret terjadi Serangan Umum Surakarta yang menjadi salah satu keberhasilan pejuang RI yang paling gemilang
karena membuktikan kepada Belanda, bahwa gerilya bukan saja mampu melakukan
penyergapan atau sabotase, tetapi juga mampu melakukan serangan secara frontal
ke tengah kota Solo yang dipertahankan dengan pasukan kavelerie,
persenjataan berat - artileri, pasukan infantri dan komando yang tangguh.
Serangan umum Solo inilah yang menyegel nasib Hindia Belanda untuk selamanya.
Tidak
semua pejuang Republik yang tergabung dalam berbagai laskar, seperti Barisan
Bambu Runcing dan Laskar Hizbullah/Sabillilah di bawah pimpinan Sekarmaji
Marijan Kartosuwiryo, mematuhi hasil Persetujuan Renville tersebut. Mereka
terus melakukan perlawanan bersenjata terhadap tentara Belanda.
Setelah Soekarno dan Hatta ditangkap di Yogyakarta, S.M. Kartosuwiryo, yang menolak jabatan Menteri Muda Pertahanan
dalam Kabinet Amir Syarifuddin, Menganggap Negara Indonesia telah Kalah dan
Bubar, kemudian ia mendirikan Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Demikianlah di Tasikmalaya, pada 7
Agustus 1949, di wilayah yang masih dikuasai Belanda waktu itu, Kartosuwiryo
(atas nama umat Islam Indonesia) menyatakan
berdirinya Negara Islam Indonesia (NII).
ISI PERJANJIAN ROEM-ROIJEN (14 April
1949 - 7 Mei 1949) :
1.
Angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas gerilya. 2. Pemerintah
Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja Bundar. 3. Pemerintah
Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta.
4. Angkatan bersenjata Belanda akan menghentikan semua operasi militer dan membebaskan
semua tawanan perang.
ISI KONFERENSI MEJA BUNDAR (23
Agustus 1949 - 2 November 1949) :
1.
Serah terima kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik
Indonesia Serikat, kecuali Papua bagian barat. Indonesia ingin agar semua bekas
daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin
menjadikan Papua bagian barat negara terpisah karena perbedaan etnis.
Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai hal ini. Karena itu pasal 2 menyebutkan
bahwa Papua bagian barat bukan bagian dari serah terima, dan bahwa masalah ini
akan diselesaikan dalam waktu satu tahun.
2. Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan monarch Belanda sebagai kepala
negara
3. Pengambil alihan hutang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat.
Pembentukan Negara RIS
Tanggal
27 Desember 1949, pemerintahan sementara negara dilantik. Soekarno menjadi
Presidennya, dengan Hatta sebagai Perdana Menteri membentuk Kabinet Republik
Indonesia Serikat. Indonesia Serikat telah dibentuk seperti republik federasi berdaulat yang terdiri
dari 16 negara yang memiliki persamaan persekutuan dengan Kerajaan Belanda.
Sekian
dulu, sebagian catatan dari kisah Perjuangan seluruh rakyat dan bangsa
Indonesia dalam mempertahankan Kemerdekaan R.I. Salaam PPSi – Kawalu – Sabtu 10 Mei 2014.