Perlukah kita belajar dari Baduy?
Selama 50 tahun lebih mereka terbukti bisa tetap mempertahankan kelestarian lingkungan.
Prinsip: “Love for All and Hatred for None” sudah ada di Tatar Sunda ini.
Contoh dari orang-orang yang mengaku keturunan Prabu Siliwangi dari Pakuan Bogor dapat dilihat di Kanekes – Leuwi Damar Kabupaten Lebak, yang sedang berulangkali ditayangkan TV, yang hidupnya makmur untuk ukuran standar mereka dan ayem tenteram dalam lingkungan yang sejahtera. Semenjak tahun 1957 – waktu itu masih duduk di tingkat 2 Fakultas Teknik yang lalu menjadi ITB – masih menampakkan suasana yang sama dengan yang ditayangkan tahun tahun 2010 ini, kecuali sekarang dari Leuwi Damar mobil sudah bisa sampai ke dekat Cikeusik sehingga hanya perlu jalan 15 menit saja untuk sampai ke Baduy Dalam. Bayangkan 53 tahun yang lalu, kami bertiga dari Bandung, termasuk seorang Sastrawan Sunda Edi Tarmidi, yang waktu itu umurnya baru 20 tahunan dan seorang anak dokter di Cimahi, dengan ditemani seorang Jawara petunjuk jalan yang diberikan oleh Bapak Wedana Leuwi Damar, karena malamnya menginap dan dihormati di rumah beliau, kami harus berjalan cepat selama 12 jam naik bukit turun bukit dengan berlari kalau jalannya menurun. Satu hal yang dapat menjadi ciri, ialah bahwa anak-anak di Kanekes ini walaupun hidupnya di kampung dan amat bersahaja, tanpa alas kaki, sederhana, tidak sekolah, namun bisa diperhatikan bahwa wajah dan parasnya boleh dikatakan cakep-cakep atau tampan, sebagaimana keturunan dari Raja-raja.
Bilamana di semua belahan dunia sedang rusuh rebutan pangkat, rebutan jabatan, rebutan kedudukan, rebutan lahan, rebutan jatah, rebutan bola, yang selalu berekor pada keributan, kerusuhan dan pengrusakan, maka bolehlah sejenak kita menyimak sebagian orang dan golongan yang di dalam kehidupannya mengamalkan prinsip: “Love for All and Hatred for None”, yang nyata-nyata masih eksis di dunia ini …..
Akur-akur-akur, Hidup Rukun, Damai dan Makmur Sejahtera, itulah yang ada pada mereka.
Suku Baduy konon adalah keturunan pengikut Raja Pajajaran, yang mengikuti aturan adat berdasarkan nilai-nilai adat nenek moyang mereka, yaitu tradisi Sunda Wiwitan, yang hingga saat ini adat tersebut masih mereka jaga. Mereka berada di punggung Gunung Kendeng, termasuk Desa Kanekes, Kecamatan Leuwi Damar, Kabupaten Lebak, Banten. Baduy Dalam, yang berpakaian putih-putih tinggal di tiga Kampung, yaitu Kampung Cikeusik (yang terjauh dan yang paling dalam), Cikertawana dan kampung Cibeo yang paling dekat ke Leuwi Damar. Baduy Luar (dengan ciri khas berpakaian hitam) menempati 56 kampng-kampung di sekitarnya yaitu Kaduketug, Gajeboh, Cisagu dan Cikadu. Jumlah penduduk Baduy di Kanekes pada bulan Maret 2010 ada kira-kira 11.000 jiwa.
Masyarakat Baduy tidak ada yang terlihat kaya dan juga tidak ada yang miskin. Tidak ada istilah pengangguran dan tidak ada warga Baduy yang kelaparan. Warga Baduy selalu menganggap bahwa berladang adalah pekerjaan utama dan merupakan kewajiban, walaupun ada yang punya kerja lain seperti wanitanya menenun sendiri pakaiannya, membuat gula aren dan menjual hasil kebun kepada pengumpul, tetapi tabu untuk menjual padi yang harus mereka simpan di leuit-leuit mereka sampai bertahun-tahun lamanya. Komunitas mereka dikenal sebagai komunitas mandiri, yang mampu menghidupi diri sendiri dan juga melimpahkan rezeki dan manfaat bagi warga sekitar mereka, dengan kegiatan perdagangan dll.
Warga Baduy sangat peduli terhadap lingkungan, dari 5.200 HA kawasan Baduy, ada 3000 HA yang dipertahankan sebagai hutan untuk menjaga 120 titik mata air; dengan berkembangnya penduduk mereka mencari lahan, membeli atau bekerja sama mengolah lahan di luar kawasan mereka; sekarang ada sekitar 700 HA ladang di luar kawasan Baduy yang dimiliki warga Baduy, dan yang disewa pun lebih luas lagi. Mereka mengolah ladang yang setelahnya tiga kali masa panen, kemudian ladang ini dibeura atau ditinggalkan dahulu, supaya subur kembali secara alamiah.
Pimpinan adat tertinggi dipegang oleh seorang Puun dan dibantu oleh beberapa orang Jaro-jaro dengan bermacam urusannya masing-masing, termasuk Jaro Pamarentah yang mengurus hubungan dengan pemerintahan R.I. Rumah puun-nya pun sangat sederhana, sama dengan rumah warga lainnya yaitu rumah panggung yang tingginya 50 cm di atas tanah, dengan dinding bambu dan atap anyaman daun kelapa; bahkan rumah puun itu adalah yang paling sederhana. Dalam kehidupan sehari-hari dan tingkah laku puun-pun diatur secara ketat. Puun harus mengayomi masyarakat dan harus mampu melayani masyarakat dengan baik, yang merupakan penghargaan terbesar dari seorang puun; inilah figure pemimpin yang sebenarnya; masyarakat adat Baduy adalah ibaratnya Negara sejahtera yang ideal, menurut kata orang. Walaupun masa kekuasaan seorang Puun itu tidak dibatasi aturan adat, tetapi kalau seorang puun merasa sudah tidak sanggup menjalankan amanahnya, bisa meminta untuk segera diganti. Atau pergantian puun pun bisa tergantung dari kondisi alam, yaitu jika sering muncul bencana alam atau panen rakyat gagal terus-terusan, maka hal ini akan menjadi alasan bagi puun untuk turun dan diganti.
Kemandirian Baduy antara lain:
1. Tidak menggunakan penerangan listrik (tidak akan ada istilah global warming)
2. Warga Baduy tidak menggunakan pupuk kimia buatan pabrik dan insektisida kimia (yang dapat menimbulkan hama lebih berat). Dengan pupuk organic maka padi hasil panenan bisa bertahan sampai bertahun-tahun disimpan dalam leuit / lumbung padi mereka.
3. Tidak menggunakan sabun mandi dan sabun cuci atau detergen yang merusak kelestarian air sungai. Mereka biasa membersihkan dan menggosok badan dengan bahan daun-daunan dan batu.
4. Warga Baduy Dalam pantang naik kendaraan bermotor (global warming).
5. Warga Baduy menenun sendiri kain yang mereka pakai.
6. Warga Baduy membangun sendiri jalan dan kawasan pemukiman mereka.
7. Warga Baduy tidak menjual padi hasil yang mereka tanam; walaupun Bapaknya yang menaruh hasil panen padi di atas atau di dalam leuit, tetapi hanya ibunya-lah yang diperbolehkan naik dan mengambil padi untuk ditumbuk dan dimasak untuk dimakan. Anak-anak sama sekali tidak boleh naik dan masuk ke dalam leuit apalagi mengambil padi.
Warga Baduy membuktikan bahwa ada korelasi antara alam yang terjaga dan kehdupan yang sejahtera bagi mereka dan warga sekitarnya, demikian komentar dalam satu Surat Kabar Sabtu 27 Maret 2010.
Kita menilai apa yang ada dalam adat dan tradisi Baduy ini:
· Orang Baduy mengatakan kami tidak sekolah, tetapi kami jangan menjadi orang yang bodoh.
· Dalam mensejahterakan masyarakat, tidak membuat musuh atau permusuhan dengan siapa pun.
· Tidak ada kegiatan yang mubadzir dan yang merugikan, seperti adat tradisi Pasola di NTB yang saling melempar lembing bamboo sambil naik kuda untuk menjatuhkan pihak lawan, antar mereka, seolah-olah mereka itu berlatih dan bersiap untuk berperang satu sama lain.
· Tidak ada kegiatan mubadzir yang seperti dilakukan di Bali dan Sulawesi dengan upacara pemakaman dan pembakaran mayat orang meninggal, yang perlu mengeluarkan biaya yang besar. Di Baduy orang meninggal hanyalah dikuburkan dengan acara yang sederhana saja.
· Musik juga punya seperti angklung, dengan nada dan syair yang menyejukkan hati; tidak ada musik abrag-abragan yang biasa menimbulkan kerusuhan dan keributan,
Mersela – Jak. Bar. 26 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar